Erina (29th) dipaksa Ayahnya bercerai dari suaminya. Erina dipaksa menikah lagi untuk menebus kesalahan Ayahnya yang terbukti telah menggelapkan uang perusahaan.
Agar terbebas dari hukuman penjara, Erina dipaksa menikah dengan Berry, seorang CEO dari perusahaan ternama tempat Ayahnya bekerja.
"Tolong Nak. Ayah tidak ada pilihan lain. Bercerai lah dengan Arsyad. Ini jalan satu-satunya agar ayahmu ini tidak masuk penjara," Wangsa sangat berharap, Erina menerima keputusannya,
"Tinggalkan suamimu dan menikahlah denganku! Aku akan memberimu keturunan dan kebahagiaan yang tidak kau peroleh dari suamimu." pinta Berry tanpa peduli dengan perasaan Erina saat itu.
Bagaimana Erina menghadapi polemik ini? Bagaimana pula reaksi suami Erina ketika dipaksa bercerai oleh mertuanya sebagai syarat agar Erina bisa menikah lagi?
Yuk baca kisah selengkapnya, seru dan menegangkan! Happy reading!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23 Razan Diculik
Sesuai dugaan Razan, guru cantiknya akan memanggilnya. Razan mengangkat bibirnya ke atas lantas membalikkan badannya.
"Siapa bilang Ibu tidak suka Raz di sini. Ibu suka kok. Tapi kamu tahu sendiri kan Ibu tinggal dengan seorang anak kecil tanpa suami. Ibu khawatir ada kesalahpahaman dari para tetangga kalau Raz tetap di sini. Raz tolong kalau Raz masih menganggap Ibu sebagai gurunya Razan, pulanglah walaupun Papamu tidak menghendaki kepulanganmu! Sebisa mungkin Ibu ingin bertemu dengan Papamu, tapi tidak sekarang," jelas Erina berharap Razan mengerti.
"Benarkah Bu?" tetiba wajah Razan berbinar.
Ucapan Erina membuat hati Razan bahagia.
"Lho kenapa Raz jadi senang begitu?"
"Ada deh...pokoknya Raz mau Ibu dan Papa secepatnya bertemu,"
Erina memicingkan matanya, sepertinya ada sesuatu dalam pikiran Raz saat itu. Tapi Erina anggap hal itu suatu kewajaran. Anak seusia Razan memang masih labil.
"Iya sekarang kamu pulang, tidak boleh kemana-mana lagi!" titahnya tanpa bisa dibantah.
"Ibu janji dulu!" titah Razan minta kesepakatan.
"Janji apa?" tanya Erina bingung sendiri.
"Janji ketemu Papa," jawab Razan penuh harap.
"Oooh, iya Ibu janji," Erina mengangkat dua jarinya.
Yes!
"Terima kasih Bu....terima kasih," Razan meraih punggung tangan Erina, menciumnya dengan takzim.
Raz tersenyum senang. Ada secercah harapan yang ingin ia wujudkan untuk segera mempersatukan Papanya dengan Erina. Saat dia mengetahui kenyataan yang terjadi, dia ingin secepatnya memiliki Erina sebagai ibu sambungnya.
"Siap Bu guru cantikku. Sampai jumpa besok!"
Erina tersenyum sambil memperhatikan kepergian Raz yang terlihat bahagia setelah dirinya memberikan nasihat yang menurutnya tidak seberapa.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Razan, yang jelas Erina sedikit lega karena bisa membuat Razan pulang malam itu juga.
Erina masuk ke rumah dengan langkah gontai. Kejadian yang dialaminya sungguh miris. Dia menatap langit-langit dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bang Arsyad jika kau tahu siapa Rasti yang sebenarnya pasti kau tidak bakalan mau menikahinya. Tapi ya sudahlah itu pilihan hidupmu, aku bisa apa?" ucapnya menatap nanar amplop berwarna coklat.
Tidak ada kesempatan untuk membela diri saat itu. Arsyad begitu menggebu untuk mengakhiri pernikahannya. Biarlah, karena itu sudah pilihan hidup yang sudah ia pilih. Erina hanya bisa pasrah.
Keesokan harinya, Erina masuk sekolah seperti biasanya. Suasana terlihat lebih ramai membicarakan sesuatu yang sedang hangat-hangatnya di sekolah tersebut. Ada yang berbisik-bisik, ada juga yang secara terang-terangan sambil tertawa senang.
"Rasain tuh si Razan, sok kecakepan tuh cowok. Makanya jadi orang tuh jangan sombong, jadi gitu deh ditangkap polisi tau rasa tuh orang!" ujar salah seorang siswa yang penampilannya seperti tante-tante karena make-upnya tebal cetar membahana.
Erina membuka telinganya lebar-lebar mendengar percakapan mereka. Erina menghentikan langkahnya tepat di hadapan mereka.
"Pagi Bu!" Sapa mereka hampir bersamaan.
"Pagi. Ibu dengar kalian membicarakan Razan. Memangnya kenapa dia?" tanya Erina ingin tahu, seraya memicingkan matanya.
"Wah Ibu kurang update nih. Barusan ada dua orang polisi datang mau menangkap Razan Bu!"
"Menangkap? Memang Razan salah apa?" tanyanya pura-pura tidak tahu.
"Katanya sih kasus narkoba. Iiish ganteng-ganteng tapi punya kasus berbahaya. Gimana itu orang tuanya pastinya ga bisa mendidik anaknya dengan baik," ujar salah satu mereka yang konon pernah jadi korban ditolak Razan saat nembak buat pacaran.
Erina tidak menggubris ucapan mereka. Dia langsung melangkahkan kakinya menuju ruang kepala sekolah. Benar saja di sana terlihat lebih menegangkan. Dia melihat beberapa polisi sedang mengintrogasi beberapa anak termasuk Razan.
"Ada apa ini?" tanya Erina pada Rekan kerjanya, Bu Emi.
"Ada yang melaporkan Razan ke polisi,"
Erina terhenyak. Dia tidak menyangka kasus ini jadi semakin rumit.
Pak Umar yang baru menyadari Erina datang, segera menghampirinya yang masih tampak bingung. Dia meminta Erina menjauh dari tempat tersebut, menuju ruangan lainnya.
"Bu saya sudah bilang, ibu tidak usah lapor polisi dulu, kenapa jadi seperti ini? Polisi datang tiba-tiba dan membawa surat penangkapan Razan. Ini suratnya!"
Erina menerima surat penangkapan Razan dari pak Umar. Dia langsung membacanya. Di sana tertera nama pelapor. Erina Pramesti.
Erina menatap tidak percaya dengan surat yang sudah dibacanya secara berulang-ulang.
"Mana mungkin pak? Saya tidak pernah melaporkan kasus tersebut kepada siapa pun, apalagi polisi. Bukankah kemarin Bapak melarang tidak melaporkannya pada polisi sebelum terbukti kebenarannya?"
"Iya tapi kenapa nama Ibu yang tercantum di surat ini?"
Erina terpekur, dia masih memikirkan isi surat tersebut. Dia merasa ada yang aneh dengan surat penangkapan tersebut.
"Pak kok surat ini terlihat aneh ya?"
"Aneh bagaimana Bu?"
"Seharusnya dalam surat penangkapan hanya nama tersangka dan beberapa polisi yang diberi tugas menangkap pelaku yang tertera dalam surat ini. Tapi ini malah nama pelaku dan pelapor saja yang ada. Sementara petugas yang diperintahkan untuk menangkap Razan Tidak tertera di sini. Apa jangan-jangan..." Erina menatap pak Umar dengan mulut terbuka.
"Kita ke ruangan Bapak!" ujar Erina cepat.
Erina langsung menuju ruang kepala sekolah sementara Pak Umar mengikutinya dari belakang.
Pak Umar belum mengerti maksud Erina.
"Mana polisi tadi?" tanya Erina pada beberapa guru yang masih di dalam ruangan tersebut.
Mereka sedang asik berbincang. Sementara dua polisi yang tadi sedang mengintrogasi Razan dan dua anak lainnya pun tidak ada di tempat.
"Mereka sudah pergi membawa Razan, Bu," jawab Bu Emi.
"Apa!"
Erina terbelalak, perasaannya sudah tidak tenang. Dia merasa cemas dengan kondisi saat ini.
"Ada apa sih?" tanya Bu Emi.
"Iya ada apa?" tanya guru lainnya mengerutkan dahinya.
"Polisi tadi polisi gadungan. Mereka menangkap Razan dengan membawa surat palsu. Saya khawatir mereka sengaja melakukan ini untuk menculik Razan. Entah apa motif mereka," jelas Erina panjang lebar.
"Tapi mereka terlihat polisi beneran. Lihat bajunya saja menyakinkan banget. Mereka segera pamit karena mereka masih ada tugas lain yang harus dikerjakan jadi mereka buru-buru pergi tadi," jelas Bu Emi benar adanya.
Erina menggelengkan kepalanya. Dia menyerahkan surat penangkapan palsu pada rekan kerjanya.
"Ini surat palsu. Tolong pak Umar dan Pak Dimas ke kantor polisi sambil membawa bukti surat ini. Saya akan susul mereka!" titah Erina tanpa peduli ia sudah memerintahkan langsung atasannya tersebut.
"Aku ikut," ujar pak Roy yang merasa sudah bertindak gegabah membiarkan polisi gadungan itu membawa Razan dengan lihainya.
Pak Umar yang baru menyadari kejadian tersebut ikut merasa cemas, karena yang diculik adalah anak pemilik sekolah. Dia merasa terancam karena sudah lalai dan gegabah dalam memperoleh informasi.
"Ya Allah lindungi Razan, jangan sampai Razan disakiti mereka!" doanya dalam hati.
nahh lohh Bu Emmi ... bersiap lahh
Tenang Bu gurumu ngk kan biarkan mu pergii
gimana dia bisa di atur kalau papanya aja ngk ngertii
Byk yg gk suka ma razan apalg guru” pdhl mereka bs aja dipecat dan dikluarkan sm papa razan