Asila Angelica, merutuki kebodohannya setelah berurusan dengan pemuda asing yang ditemuinya malam itu. Siapa sangka, niatnya ingin menolong malah membuatnya terjebak dalam cinta satu malam hingga membuatnya mengandung bayi kembar.
Akankah Asila mencari pemuda itu dan meminta pertanggungjawabannya? Atau sebaliknya, dia putuskan untuk merawat bayinya secara diam-diam tanpa status?
Penasaran dengan kisahnya? Yuk, simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Pelayan Bar
"Em..., Tuan Edgar, terimakasih banyak atas bantuannya? Anda sangat berjasa sudi menyelamatkan putri saya. Saya sangat berhutang budi pada anda. Sekiranya dengan cara apa saya harus membalasnya?"
Mendapatkan desakan dari orang tuanya Asila terpaksa menurunkan egonya untuk menemui Edgar di ruang perawatan. Pria itu nampak begitu lemas setelah berhasil mendonorkan darahnya sebanyak dua kantong. Ia tak masalah kalaupun harus menyumbangkan sepuluh kantong sebagai penebusan dosa, dua kantong baginya tak sebanding dengan penderitaan yang dialami oleh dua anaknya selama ini.
"Dengan cara apa aku harus membalasnya? Jika aku memintamu untuk menjadi asisten pribadiku. Bagaimana menurutmu?"
Refleks Asila mendelik. "Apa? Asisten? Keterlaluan!" Asila mendengus dengan mukanya tertekuk. Niatnya ingin membalas budi karena sudah dibantu tapi malah ia diminta untuk menjadi asisten pribadinya? Apa itu tidak keterlaluan namanya? "Niatmu menolong anakku ternyata tidaklah tulus Tuan! Anda hanya ingin memanfaatkan orang yang lemah seperti saya!"
"Siapa juga yang memanfaatkan? Tanpa bantuanku apa jadinya dengan anakmu! Bahkan pihak rumah sakit tak menyediakan pendonor untuknya. Kau itu benar-benar payah! Sudah dibantu tapi masih juga nggak tahu caranya berterimakasih!"
Edgar sengaja memancing emosi Asila biar dia sadar selama ini telah dibodohi oleh wanita itu. Selama enam tahun ia hidup dipenuhi dengan dosa. Ia sampai tak sadar selama ini memiliki tanggung jawab yang besar yang ia tinggalkan. Ia penuh sesal, memiliki anak tapi tak pernah tahu, bahkan sudah ada di depan matanya ia masih juga tak mengetahuinya.
"Nggak makasih gimana? Kan tadi aku udah bilang, bagaimana caranya aku membalas budi padamu! Tapi bukan berarti aku harus menjadi asisten pribadimu! Aku punya kesibukan mengurus anak-anakku! Aku nggak punya waktu untuk bekerja seharian. Tolong jangan egois! Aku rasa masih banyak cara untuk berbalas budi kan?"
"Kalau begitu menikahlah denganku! Kurasa itu cara yang lebih bijaksana. Dengan kau menjadi istriku, kau tak perlu bekerja keras. Tugasmu hanya menemani anak-anak dan melayaniku. Kurasa itu tak memberatkanmu kan?"
"Apa? Menikah? Tapi~~
"Sekarang terserah kamu saja! Pilihan ada dua, mau menikah denganku, atau menjadi asisten pribadiku. Pikirkan baik-baik sebelum memutuskan. Keputusan ada di tanganmu!"
Asila mengepalkan tangannya, 'sial! Pria ini benar-benar menguji kesabaranku! Bagaimana aku bisa memilih diantara dua pilihan? Sedangkan kedua pilihan itu tak pernah terpikirkan olehku. Haruskah aku menerima ajakannya untuk menikah? Bagaimana kalau kedepannya nanti aku tak mendapatkan kebahagiaan? Pria itu sulit untuk ditebak. Kadang dua peduli, kadang pula menjengkelkan. Huft...., kenapa aku jadi terjebak seperti ini?'
Kriet... Suara pintu ruang rawat terbuka. Datanglah Wijaya beserta Aruna untuk membesuk Edgar. Biar bagaimanapun juga Edgar telah menyelamatkan cucunya. Mereka harus berterimakasih atas pengorbanannya.
"Nak Edgar, bagaimana dengan kondisimu? Apa kamu sudah baikan?" tanya Wijaya.
"Alhamdulillah saya sudah agak baikan Om, tapi masih agak lemas. Bagaimana dengan si kembar? Maksudnya~~
"Sheila? Dia masih dirawat oleh suster. Semoga saja dia lekas sadar. Kami benar-benar sangat berterima kasih padamu. Kamu sudah menyelamatkan cucu kami. Kami benar-benar tidak bisa berpikir apa jadinya jika kamu tidak datang untuk menyelamatkannya."
Edgar mengulas senyuman tipis menanggapi celotehan Wijaya. Ternyata pria itu juga tak pernah tahu bahwa ia adalah ayah dari dua cucunya. Bisa-bisanya Asila membohongi orang tuanya sendiri, andai saja Asila jujur mungkin pernikahan itu akan disegerakan.
"Om..., sudah kewajiban saya menolongnya. Mana mungkin saya tega membiarkan anak saya hidup menderita bahkan bertaruh nyawa sendirian."
Wijaya maupun Aruna terkejut dengan penjelasan Edgar, begitupun juga dengan Asila, dia juga tak kalah terkejut mendengarnya. Dari mana Edgar tahu bahwa si kembar anak kandungnya? Siapa yang sudah memberitahunya? Bahkan tak satupun ada yang mengetahui rahasia terbesarnya.
"Apa maksud kamu bicara seperti itu Edgar?" tanya Wijaya dengan nada tinggi.
"Sebaiknya om tanya langsung sama putri kesayangan Om, karena dia yang tahu semuanya," bantah Edgar.
Wijaya mengalihkan tatapannya pada Asila yang berdiri di belakang ibunya. Begitupun juga dengan Aruna, dia berbalik badan dan meminta penjelasan padanya.
"Asila! Bisa dijelaskan pada kami?"
"Pa! Ma! Aku—
"Bersikaplah tegas! Jangan membuat Papa marah! Kenapa Edgar bicara seperti itu? Apa yang sudah terjadi? Kalian sudah saling mengenal? Atau jangan-jangan pria yang sudah ~~
"Iya, itu benar. Maafkan aku yang tidak memiliki keberanian untuk menjelaskannya. Aku membesarkan anak-anakku sendirian tanpa bantuan siapapun, aku nggak rela kalau dia mengambilnya," bantah Asila.
Akhirnya Asila memberanikan diri untuk klarifikasi. Ia masih berpikir, siapa orang yang sudah memberitahu Edgar? Pantasan pria itu mau membantunya, kalau bukan anaknya mungkin untuk menoleh pun tak sudi.
"Kalau kamu tahu mereka anakmu terus kenapa kamu diam saja? Bahkan kamu sempat menuduh anakmu sebagai maling! Apa kau masih ingat kata-katamu itu?"
Wijaya emosi setelah tahu kebenarannya. Kedatangannya berniat untuk mengucapkan terima kasih malah tersulut emosi saat tahu ternyata cucunya memiliki hubungan dengan Edgar. Ia cukup kecewa karena Edgar tak ada itikad baik untuk bertanggungjawab terhadap anak dan juga cucunya.
"Om..., saat kejadian itu saya masih belum mengetahui kalau si kembar itu anak kandung saya sendiri. Kalau saja saya tahu, mana mungkin saya akan mengatai diri saya sendiri sebagai maling. Saya bahkan baru mengetahui tadi siang. Saat saya datang ke sini untuk mengambil hasil tes DNA, saya baru tahu bahwa mereka itu anak kandung saya, dan selama ini Asila sudah membodohi saya."
Wijaya mengerutkan keningnya. "Tes DNA? Jadi kamu habis melakukan tes DNA dengan cucuku? Kenapa kamu diam saja? Kenapa nggak memberitahu kami? Bagaimana bisa kamu melakukannya tanpa seizin dari kami?"
Wijaya cukup bersyukur saat tahu ayah dari cucunya, tapi ia juga tidak membenarkan tindakan Edgar, tanpa mendapatkan izin dari pihak keluarganya pria itu diam-diam melakukan tes DNA dengan cucunya. Bagaimana ia bisa kecolongan? Sedangkan si kecil selalu ketat dalam penjagaan, terkecuali saat berada di sekolah.
"Om...., sebelumnya saya minta maaf atas tindakannya saya yang sangat ceroboh, sudah melakukan tes DNA dengan si kembar tanpa sepengetahuan dari kalian. Saya tidak ada niatan buruk terhadap mereka. Saya hanya ingin tahu kebenarannya, siapa Ayah dari mereka. Setiap saya tanya mengenai mereka, Asila selalu bilang ini tidak ada hubungannya denganmu! Mereka itu anak-anakku, sedangkan kami dulu pernah melakukan hal-hal yang memungkinkannya untuk hamil. Sebenarnya dulu saya berniat untuk bertanggungjawab, tapi dia malah kabur tanpa jejak. Saya sendiri juga tidak pernah tahu kalau Asila ternyata putrinya Om. Saya pikir dia itu hanyalah pelayan bar."
Di situ Asila hanya diam tak bisa membela diri. Sudah diketahui kesalahannya tentu tidak ada orang yang mendukungnya, sekalipun itu orang tuanya.
"Pelayan bar? Apa maksudmu?"
Wijaya kembali mengalihkan tatapannya pada sang putri yang tertunduk di belakang istrinya. Ia terkejut, ternyata kepergiannya dari rumah bukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik, ternyata malah menjerumuskan dirinya ke dalam pergaulan bebas.
"Asila! Bisa dijelaskan padaku?"