"Itu hukuman buat kamu! Jangan sampai kau melanggar lagi aturan sudah yang aku buat. Kalau tidak …." Kalimatnya menggantung.
"Kalau tidak apa, Kak?" tanya Lyana mulai berani.
"Sesuatu yang lebih buruk dari ini akan terjadi." Anggara berlalu dari hadapan Lyana. Aliran darahnya mulai memanas.
"Hah, sesuatu yang buruk? Bahkan kakak sudah mencuri ciuman pertamaku, menyebalkan." Kini giliran Lyana yang marah. Dia membuka dan menutup pintu kamar dengan keras. Sirkuasi udara di dalam kamar seolah berhenti seketika.
"Ciuman Pertama? Hah, pandai sekali dia berbohong."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon My Starlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mie instan
Kak, aku ... " Lyana mencoba melepaskan pelukan itu.
"Diamlah, aku takut." Anggara menghirup banyak-banyak aroma tubuh Lyana, detak jantung itu kembali normal.
''Rasanya tenang sekali memelukmu seperti ini." ucap Anggara, suaranya terdengar lirih.
Suara ketukan pintu mengendurkan pelukan Anggara, kepalanya terangkat. Namun tanganya masih melingkar di pinggang Lyana.
"Mbak Ly, pesenanya udah dateng." suara Mbak Marni terdengar setengah berteriak. Pasalnya di luar hujan deras, takut suaranya tak terdengar dari dalam.
"Eh iya Bi, sebentar," Lyana berusaha melepaskan tangan Anggara yang masih menempel di pinggangnya.
"Masuk aja Bi, taruh di meja dekat pintu." ucap Anggara keras, Ia enggan melepaskan pelukanya walaupun cuma sebentar.
"Kak awas dulu ih, aku malu." Lyana memutar badanya. sekarang mereka berhadapan saat Bi Marni masuk meletakan satu kantong plastik putih ke atas meja. Semoga saja Bi Marni hanya melihat adegan mesra tadi tanpa menoleh ke arah lain, bakal lain cerita kalau dia melihat koper itu. Sementara Anggara semakin merpererat pelukanya.
"Kak, aku capek." Lyana berusaha melepaskan diri dari dekapan Anggara. Mereka sudah berdiri hampir sepuluh menit.
"Maaf," katanya sambil mengendurkan pelukan. Tangan itu terulur mengusap lembut pipi Lyana.
"Jujur, saat itu nggak baca detail surat perjanjian itu Ly, semua murni kemauan Ayah. Saat itu Aku sudah males berdebat lagi denganya, jadi langsung aku tanda tangani."
"Aku yang menolak keras perjodohan kita waktu itu benar-benar di buat heran dengan sikapmu yang diam tanpa perlawanan. Aku pikir kamu wanita rendahan yang cuma gila harta." kali ini Lyana mendelik, satu alis terangkat. Ia tak menyangka Anggara mengatakan itu.
"Hah, Kak Gara nggak tahu kan, itu karena aku di ancam. Kaka lihat orang-orang di restoran waktu itu yang pakai baju hitam? Bukanya itu orang-orang Om Atmojo, eh maksudku... Ayahmu." tutur Lyana, sekarang mereka sudah duduk di ranjang.
"Mereka menakutkan sekali,"
"Maaf," suara Anggara parau, dia turun dari ranjang dan menarik tangan Lyana.
"Kak ngapain, sini naik duduk sini." Lyana menggoyangkan tangan mereka yang saling bertaut.
"Tetep di sini ya ... Aku yang akan pergi dari rumah ini," padangan mereka beradu, mata Lyana berkaca-kaca sementara Anggara dia hanya takut kehilangan perempuan di hadapanya ini. Kali ini dia nggak akan gegabah.
"Kak," Lyana terisak.
"Kenapa jadi Kakak yang pergi." dadanya terasa sesak, harusnya dari awal dia nggak berharap lebih.
"Aku udah ngehancurin hidup kamu Ly, biar aku yang akan menebusnya. Aku akan bilang sama Ayah untuk batalin surat perjanjian itu. Kamu sini aja ya?" Jemari anggara mengusap air mata Lyana, hatinya semakin sakit melihat perempuan di hadapanya ini menangis.
"Tunggu aku sebentar, nanti aku pulang lagi. Aku mau ngomong dulu sama Ayah. Sini aja ya? Reno juga pasti sedih kalau kamu tiba-tiba pergi."
"Kak, lepasin aku... sekarang udah waktunya kan?"
Lyana mengusap pipi Anggara. "Bulu-bulu halus itu, ijinkan sebentar saja aku menyentuhnya." batin Lyana.
"Ly, aku nggak bisa ngelepasin kamu gitu aja. Nggak bisa!" sudut mata Anggara sudah berair.
"Kenapa?" tanya Lyana.
"Katakan Kak, apa Kak Gara udah sayang sama aku?" sayangnya, kata-kata itu cuma keluar di batin Lyana.
"Kamu pikir aku laki-laki macam apa Ly? Nanti kalau kamu hamil gimana? Aku nggak mungkin nutup mata gitu aja kan? Aku akan tanggung jawab, tolong jangan pergi." Anggara menggenggam tangan Lyana.
"Ah, jadi ... Kak Gara takut aku hamil ya? Aku minum pil KB Kak. Jadi kakak nggak usah khawatir kalau ... "
"Apa? Pil KB? Jangan becanda, Ly." Anggara menghapus air matanya sendiri, kali ini ia bangkit setengah berdiri meremas kedua bahu Lyana. Sorot matanya berubah kecewa.
"Iya, bahkan aku masih minum sampai sekarang." jawab Lyana dengan jujur, kedua tanganya saling meremas. Namun ia takut membalas tatapan suaminya.
"Segitunya kamu, Ly." sungut Anggara. Dia berdiri menatap jendela dari balik tirai.
"Kenapa? Apa aku salah kak?" Lyana masih diam di tempatnya.
"Aku pikir ... "
"Kak Gara pikir aku bodoh? Punya anak dari orang yang bahkan selama ini nggak anggap aku ada?"
"Sudahlah, Kak. Emang udah waktunya aku pergi kok. Kakak tenang aja, aku nggak bakalan hamil." Lyana beranjak, mengambil kopernya lagi. Menambahkan beberapa pakaian lalu menutupnya.
Lyana menghembuskan nafasnya kasar, meraih kantong plastik diatas meja lalu turun ke bawah. Ia menuruni tangga sambil mengusap ujung matanya yang basah. Kenapa rasanya justru menyakitkan, padahal keluar dari rumah ini adalah keinginanya dari lama.
Ayo bikin mie yang pedas, ayo lupakan sedihmu, semua akan baik-baik saja.
Dapur sudah sepi, Lyana berdiri di depan kompor sambil melamun. Kira-kira mau pulang kemana nanti setelah ini. Apa cari apartemen aja y, gadis itu akhirnya punya ide juga. Ia bisa pake hasil dari penjualan gamisnya selama ini.
Busa telur meluap melewati bibir panci, Lyana buru-buru mengecilkan bara api. Lalu dengan segera ia memasukan mienya ke dalam rebusan telur dan sayuran hijau itu. Sambil menunggu mienya matang, Lyana menyiapkan bumbunya.
Aroma mie instan membaur membius indera penciuman Lyana. Kangenya sama makanan ini akhirnya terobati. Mangkok berisikan mie itu sudah di atas meja makan. Lyana beranjak mengambil meminuman dingin, lalu duduk lagi.
"Slruppp,"
"Hemm, nikmatnya." Rasa pedas gurih dan hangatnya kuah bercampur jadi satu. Sambil memutar playlist lagu favoritenya Lyana menikmati semangkok mie instan itu. Melupakan sejenak sesak di dadanya. Mood perempuan itu perlahan kembali baik. Ia meneguk air dingin dari gelasnya sampai kandas.
Setelah menunggu lama, Anggara akhirnya menyusul juga turun ke lantai bawah. Tepat di ujung tangga, ia bisa melihat sosok Lyana seolah kembali bersinar. Ada perasaan lega yang menyelimuti hatinya. Perempuan itu duduk dengan satu kaki yang naik keatas kursi sambil ikut bernyanyi mengikuti alunan lagu yang bersenandung riang. Kalau dari alunan musik dan bahasanya sepertinya lagu KPOP.
Lagi asyik-asyiknya sing alone, tiba-tiba suara air yang keluar dari dispenser terdengar. Lyana menoleh ke arah dapur, entah dari kapan Anggara sudah disana.
"Mau minum kopi nggak?" tanyanya kemudian.
"Enggak deh, Kak. Aku kenyang." jawab Lyana.
"Baru makan?" Anggara mendekat. Ia menarik kursi yang ada di depan Lyana.
Lyana buru-buru beranjak meraih mangkok yang kosong itu, mau menaruhnya di wastafel. Rupanya perempuan itu masih ada rasa takutnya sedikit habis makan mie instan.
"Duduklah, aku nggak marah kok." ucap Anggara.
"Kak,"
"Nggak apa-apa, beli kapan? Masih ada sisanya nggak?" tanya Anggara.
"Tadi sore, waktu lagi kesel nungguin orang nggak pulang-pulang." dengus Lyana. Ia melanjutkan langkahnya ke wastafel.
"Masih marah soal yang tadi? Aku kan udah bilang tadi kalau Reno minta makan dulu pulangnya." Anggara mengulangi lagi alasanya pulang larut malam.
"Bukan itu," Lyana kembali duduk.
"Terus?" Anggara penasaran.
"Udah nggak penting sekarang, Kak." Lyana meraih ponselnya, mencari lagu yang ingin ia dengar lagi. Anggara mendekat, ia sudah duduk di samping Lyana.
"Ly, kamu beneran mau pulang?"
.
.
.
.