Update setiap hari!
Leon Vargas, jenderal perang berusia 25 tahun, berdiri di medan tempur dengan tangan berlumur darah dan tatapan tanpa ampun. Lima belas tahun ia bertarung demi negara, hingga ingatan kelam tentang keluarganya yang dihancurkan kembali terkuak. Kini, ia pulang bukan untuk bernostalgia—melainkan untuk menuntut, merebut, dan menghancurkan siapa pun yang pernah merampas kejayaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23 Angeline
Edward tersenyum tipis, kepalanya sedikit dimiringkan seolah-olah sedang menikmati permainan kata yang ia ciptakan sendiri.
"Tidak banyak,” katanya pelan, hampir seperti bisikan yang lembut.
Leon tidak bergerak, matanya tetap menekan pria di hadapannya.
Edward melanjutkan, suaranya jernih dan tenang.
“Leon Vargas, seorang pria yang dianggap mati bertahun-tahun lalu, tiba-tiba muncul pertama kali di pesta ulang tahun Djin D’Arvenne dan dengan lantang menyatakan perang pada mereka. Hanya itu saja sudah membuat banyak orang kehilangan akal sehat mereka.”
Edward meletakkan kedua tangannya di atas meja, saling mengatup dengan tenang.
“Tidak lama setelah itu, kau berhasil menyeret June D’Arvenne keluar dari tempat kekuasaannya, memperlihatkan wajah aslinya pada publik. Kau juga membangun relasi dengan Komandan Gerald Volbrecht—seorang pria yang dikenal dingin dan sulit mempercayai siapapun. Itu… luar biasa.”
Edward berhenti sejenak, lalu tersenyum lebih lebar.
“Dan yang paling menarik bagiku adalah fakta jika kau menghamburkan uang seolah tidak ada batasnya. Membayar denda, membantu N'Kosi pulang ke tempat asalnya, biaya rumah sakit Lira, hingga merenovasi bar milik Garka menjadi sesuatu yang baru. Jika aku tidak salah menghitung, kau menghabiskan lebih dari 100 juta dollar untuk itu semua, jumlah yang bahkan membuat para miliarder enggan mengeluarkannya."
Leon mengangkat alisnya, wajahnya datar. “Lucu juga, kau mengatakan tidak tahu banyak tentangku? Padahal setiap pergerakanku di kota ini sudah kau awasi.”
Edward mengangguk ringan, senyumnya tetap menempel seperti ukiran topeng. “Itu hanya sedikit dari yang aku tahu. Di balik semua itu, aku yakin ada lapisan yang jauh lebih dalam. Rahasia yang bahkan tak tersentuh oleh gosip maupun catatan intelijen.”
Keheningan turun di antara mereka, hanya terdengar suara halus pendingin udara yang berputar.
Entah kenapa, Leon merasakan ketidaknyamanan yang jarang ia rasakan. Senyum lembut Edward bukan sekadar basa-basi—tatapan matanya tenang, nyaris teduh, namun di baliknya seperti ada jarum-jarum halus yang mencoba menusuk masuk ke dalam pikirannya.
Leon menyipitkan mata. Dalam benaknya, satu kesimpulan terbentuk: Edward Vellor adalah pria yang licik. Ia mungkin belum tahu pasti identitas Leon yang sebenarnya, namun insting bisnis dan nalurinya membuatnya paham bahwa Leon adalah sosok dengan status yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Edward sedang mengambil risiko.
Ia sedang berjudi.
Dan taruhannya adalah nyawa—karena jika ia salah membaca Leon, maka kata-kata Leon sebelumnya bukan sekadar ancaman kosong.
Edward akhirnya mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya rendah namun tetap hangat.
“Itulah alasan aku ingin menjalin kesepakatan denganmu. Aku tidak ingin menunggu sampai kau memperlihatkan taringmu pada dunia… aku ingin berada di sisimu sebelum itu terjadi.”
Senyum itu lagi—senyum yang menenangkan sekaligus berbahaya.
Leon terdiam, jari-jarinya mengetuk pelan meja marmer, seolah menimbang apakah pria di depannya ini benar-benar bernilai… atau hanya bidak licik yang menunggu untuk disingkirkan.
Akhirnya, Leon menghela nafas panjang. "Baiklah... Aku akan menyepakati kontrak apapun yang kau berikan tergantung apakah aku menganggap informasi yang kau berikan itu berguna atau tidak."
"Itu sudah cukup..." ucap Edward, ia terdiam sejenak sebelum berkata. "Informasi yang ingin aku sampaikan... Tentang kakak kandungmu, Julius Vargas..."
...
Sementara itu, di tempat yang sama yaitu Imperial Grand Hotel, terlihat seorang wanita muda berjalan tertatih-tatih—Angeline.
Ia bagaikan lukisan hidup: wajah oval dengan hidung mancung, bibir ranum berwarna alami, dan mata biru keperakan yang biasanya memancarkan pesona menawan di layar kaca.
Tubuhnya sempurna—proporsi ideal yang membuat para fotografer internasional selalu berlomba-lomba mengabadikannya. Gaun malam berkilau biru tua yang membalut lekuk tubuhnya menambah daya tariknya, membuatnya tampak seperti dewi panggung.
Namun malam ini, pesonanya ternodai oleh mabuk yang aneh. Pipinya merah padam, napasnya tersengal, kulitnya basah oleh keringat yang menetes di pelipisnya. Tatapannya kabur, langkahnya goyah seperti boneka yang hampir kehilangan kendali.
“A-apa… minumanku…?” gumamnya dengan suara serak. “Mereka… mereka mencampurnya dengan sesuatu…”
“Bajingan itu…” Ia mengumpat, kata-katanya terselip di antara desahan napas berat.
Belum sempat ia meraih pegangan dinding, sebuah tangan kasar menggenggam lengannya.
Tiga pria berjas hitam—pengawal pribadi dengan tubuh kekar—menghentikan langkahnya. Tatapan mereka dingin, penuh perintah.
“Kemana kau pergi, Nona?” ucap salah satunya. “Tuan Alric belum selesai denganmu.”
Mata Angeline membelalak ketakutan. “Lepaskan aku! Kau tidak tahu siapa aku!?” serunya serak, berusaha menarik diri.
Namun tubuhnya sangatlah lemah, semakin lama kepalanya kian memberat, dunia di sekelilingnya berputar. Pandangannya mulai berbayang-bayang, kakinya hampir menyerah menopang tubuhnya.
Di dalam hatinya, ia meraung: 'Aku tidak mau ini terjadi… aku tidak mau!'
Ia tahu betul jebakan licik ini—Alric D'Arvenne, pria busuk yang selama ini berusaha mendekatinya, akhirnya menjebaknya dengan cara paling keji.
Ia tidak ingin kesuciannya dicuri dalam keadaan seperti ini, oleh seseorang yang tidak ia cintai.
Tiba-tiba—
BUGH!
Suara hantaman keras memenuhi lorong. Salah satu pengawal terpelanting ke dinding, roboh seketika tanpa sempat menjerit.
“Siapa kau!?” bentak pengawal lain.
Namun hanya sekejap kemudian, suara tulang berderak menyusul. Dua buah pukulan menghantam rahang dan ulu hati, membuat kedua pengawal yang tersisa jatuh tak sadarkan diri.
Angeline, yang pandangannya kabur, hanya mampu melihat sosok tinggi berjas gelap berdiri di hadapannya.
Leon. Wajah dingin tanpa emosi, matanya setajam pisau, tangannya masih mengepal setelah melayangkan pukulan.
Ia baru saja keluar dari ruang VIP Edward beberapa menit lalu—dan pemandangan ini langsung membuat hatinya yang kesal menjadi lebih kesal. Ia hanya ingin memukul seseorang untuk melampiaskan kekesalannya setelah mendengar informasi dari Edward.
Angeline hampir tidak percaya. Di tengah kabut mabuk yang menghancurkan kesadarannya, ia melihat sosok penyelamat muncul bagaikan mimpi.
Sebelum tubuhnya benar-benar roboh, ia hanya sempat berbisik lirih: “…tolong…”
Dan tubuhnya pun ambruk—tepat saat Leon meraih dan menahannya agar tidak jatuh ke lantai.
ayooo muncullah!!!
gmn malu'a klu tau angeline anak si komandan🤭😄
ternyata sang komandan telah mengenal leon
ah, leon akhir'a dpt sekutu