NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.2k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Dipaksa

Beberapa siswa terdiam, sebagian pura-pura tak peduli, tapi jelas telinga mereka menangkap hinaan itu.

Kevia tetap menunduk, tak berhenti menulis. Seolah kata-kata itu tak pernah ada. Jemarinya hanya bergerak lebih cepat, menekankan pena lebih dalam ke kertasnya.

Kevin menoleh sedikit, ekspresinya datar. Diam sejenak, seolah menimbang reaksi, lalu ia sama sekali tidak menatap Riri maupun Ani. Tanpa menanggapi, ia justru bersandar santai ke bangku, mencondongkan wajahnya sedikit ke arah Kevia.

“Kamu tadi nyatet soal struktur teks anekdot ya?” suaranya tenang, namun cukup jelas untuk membuat Riri dan Ani membeku di tempatnya.

Kevia terkejut, ujung penanya sempat berhenti. Ia menoleh perlahan. “Hm? Iya.”

“Aku masih agak bingung sama bagian krisis sama reaksi,” Kevin berkata datar, seolah benar-benar hanya ingin belajar. “Maksudnya gimana, ya? Apa sama kayak konflik di cerita?”

Kevia menggigit bibir bawahnya, lalu mengangguk pelan. “Kurang lebih begitu. Krisis itu masalah puncak, bagian yang bikin cerita jadi lucu atau absurd. Kalau reaksi, itu tanggapan tokohnya setelah krisis muncul.”

“Jadi… kayak punchline gitu, ya?” Kevin menatapnya dalam, seolah tak ada orang lain di sekitar.

Kevia hampir gugup, tapi buru-buru menjawab, “Iya, semacam itu.”

Kevin tersenyum samar, mengangguk. “Oke. Berarti tadi aku nggak salah nangkep.”

Riri yang sejak tadi berdiri di samping bangku langsung mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ani mendengus, wajahnya memerah menahan kesal. Mereka berdua… dicuekin habis-habisan.

Sementara itu, Kevin kembali menunduk, pura-pura menulis di bukunya. Namun dalam hatinya ia berkata, "Gadis ini beda. Mereka bisa merendahkannya sesuka hati, tapi dia tetap diam dan fokus dengan dirinya. Itu… menarik."

Waktu terus berlalu. Bel istirahat kedua berdentang, menggema hingga ke lorong-lorong sekolah. Siswa-siswi serentak berhamburan keluar, sebagian menuju kantin, sebagian lain mencari tempat teduh untuk sekadar mengobrol.

Riri dan Ani tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Mereka melangkah ke bangku Kevin dengan senyum dibuat semanis mungkin.

“Kevin, ayo kita ke kantin bareng,” ujar Riri, suara dibuat genit.

“Iya, kamu pasti lapar, 'kan? Kita traktir deh,” sambung Ani cepat, melirik sinis pada Kevia.

Namun Kevin tetap duduk tenang, membuka botol minum dan meneguk sedikit. Pandangannya tak beranjak dari meja. Ia bahkan tidak melirik dua gadis itu.

Suasana kelas mendadak canggung. Beberapa siswa yang masih bertahan di kelas menahan tawa, sebagian lainnya pura-pura sibuk dengan ponsel. Riri dan Ani saling pandang, wajah mereka memerah. Dengan dengusan kesal, mereka akhirnya berbalik dan meninggalkan kelas, tumit sepatu menghentak lantai dengan kasar.

Kevia sempat melirik kepergian mereka, lalu buru-buru membereskan bukunya. Ia ragu-ragu menoleh ke samping, ke arah Kevin yang masih duduk. “Kamu nggak istirahat di luar? Kamu… nggak lapar?” tanyanya hati-hati.

Kevin mengangkat wajah, menatapnya dengan sorot yang sulit dibaca. “Aku belum tahu letak kantin,” ucapnya tenang. Lalu, tiba-tiba, ia meraih pergelangan tangan Kevia. “Ayo, tunjukkan padaku.”

Kevia terperanjat. “Eh, kamu tanya aja sama murid lain. Jangan aku!” sergahnya, buru-buru mencoba menarik tangannya.

Kevin berhenti, menatapnya lekat-lekat, namun belum melepas genggamannya. “Kenapa? Kamu nggak mau bantu aku?”

Kevia menggeleng cepat, wajahnya panik. “Bukan begitu. Aku cuma… nggak nyaman berdekatan sama kamu. Fans kamu itu kayak mau nelen aku hidup-hidup. Aku nggak mau cari masalah. Lagi pula aku nggak pernah jajan di kantin. Aku… bawa bekal dari rumah.”

Kevin menatapnya beberapa detik. Lalu sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tenang saja. Kalau ada yang macam-macam sama kamu, bilang sama aku. Dan biar aku yang bayar makananmu. Simpan saja bekalmu.” Ia kembali menarik pelan tangan Kevia, seolah tak ingin memberi pilihan.

Namun Kevia menahan diri, menancapkan kaki di lantai. “Serius, aku nggak mau cari masalah. Aku cuma ingin belajar,” suaranya lirih, tapi tegas.

Tatapan Kevin mengeras. “Jadi kamu menganggap dekat denganku adalah masalah?”

Kevia menggertakkan giginya, lalu menunduk, menahan getir di hatinya. Perlahan ia menghela napas panjang. “Bukan kamu masalahnya… tapi aku.” Suaranya nyaris pecah. “Sudahlah, kamu nggak bakal mengerti.”

Keheningan menutup ruang. Kevin tak segera melepaskan tangannya, tapi sorot matanya berubah. Bukan marah, bukan kecewa, melainkan rasa ingin tahu yang lebih dalam. Ada misteri yang ingin ia bongkar dari gadis ini.

"Gadis ini… kenapa terus menolak, padahal aku bahkan belum melakukan apa-apa? Apa sebenarnya yang dia sembunyikan?" batin Kevin, menatap Kevia lama.

Akhirnya, ia perlahan melepas genggamannya. “Baik. Aku nggak akan memaksa.” Suaranya pelan, namun mengandung janji samar. “Tapi aku nggak akan berhenti sampai tahu kenapa kamu begitu takut dekat denganku.”

Usai menyantap bekalnya dengan tenang di kelas yang sepi, Kevia berjalan menuju toilet. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya tetap fokus, seolah ia berusaha menyingkirkan segala kegaduhan pikiran.

Namun begitu pintu toilet ditutup dari belakangnya, sebuah firasat buruk menyergap. Dan benar saja, saat ia melangkah keluar, Riri dan Ani sudah berdiri di lorong, menunggunya dengan tatapan setajam pisau.

Sebelum sempat menghindar, tangan Ani mencengkeram lengan Kevia kasar, menyeretnya ke sudut sepi di balik gedung.

Brugh!

Tubuh Kevia terdorong hingga membentur dinding dingin.

“Jangan sok cantik,” desis Ani, wajahnya dekat sekali dengan wajah Kevia.

“Jauhi Kevin,” sambung Riri, tatapannya penuh kebencian. “Orang miskin yang hidup numpang sepertimu… nggak pantas ada di dekat dia.”

Kevia menarik napas dalam, mencoba tetap tegak meski sakit menjalar dari punggungnya yang membentur dinding. Suaranya tenang, bahkan terdengar dingin, “Kalau aku pindah bangku… gimana kalau Kevin malah mengikutiku?”

Kalimat itu membuat wajah Riri mengeras, sedangkan Ani mendengus. “Sok pede lo!” hardik Ani, lalu--

Plak!

Ia menoyor kepala Kevia hingga kembali membentur dinding. Kevia meringis, tapi matanya tetap menatap lurus tanpa gentar. Ia sudah terbiasa.

“Begini saja,” Riri menyeringai licik. “Kita tukaran tempat duduk.”

“Eh, mana bisa gitu?” protes Ani.

“Kita suit aja. Yang menang duduk sama Kevin, yang kalah duduk sama si miskin ini.” Riri tertawa kecil, penuh keangkuhan.

Ani melirik ragu, tapi akhirnya mengangkat tangan. “Ya sudah. Suit.”

“Gunting… batu… kertas!” seru keduanya hampir bersamaan.

Riri melompat kecil begitu menang. “Ha! Aku yang menang!” serunya puas, menoleh pada Kevia dengan sorot mata penuh kemenangan. “Cepetan. Bereskan barang-barangmu.”

Tatapan tajamnya menusuk, tapi Kevia tidak membalas. Tanpa kata, ia berjalan kembali ke kelas, langkahnya mantap meski hatinya remuk. Ia mengambil tas, menunduk, dan berpindah ke bangku yang sebelumnya diduduki Riri.

Riri segera duduk di bangku Kevia, bangku di samping Kevin, tersenyum puas, seolah telah menaklukkan sesuatu. Ia menoleh sekilas ke arah bangku Kevin, lalu memperbaiki duduknya dengan anggun, mencoba terlihat pantas di sana.

Ani hanya menghela napas kasar, merasa jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Keheningan sesaat menyelimuti kelas, hingga suara langkah berat terdengar dari koridor.

Kevin masuk.

Dan dalam sekejap, atmosfir ruangan berubah.

Kevin melangkah dengan mantap. Suasana kelas mendadak menegang. Ani menghentakkan kakinya dengan jengkel, Riri tersenyum manis penuh kemenangan, sementara Kevia diam, sibuk menyiapkan buku pelajaran di mejanya, berusaha tak menatap ke arah siapapun.

Saat tiba di bangku yang seharusnya ia duduki, Kevin berhenti. Ia tak langsung duduk, hanya berdiri tegap dengan tatapan dingin menancap pada Riri. Empat orang siswa yang baru masuk memerhatikan mereka.

“Pindah,” ucapnya pendek, datar, tapi tegas.

Riri sempat terkejut. Senyumnya sempat buyar, namun buru-buru ia pulihkan. Ia merapikan rambutnya, berusaha tampak anggun. “Aku tukaran tempat duduk dengan Kevia. Dia itu grogi karena duduk sama cowok sekeren kamu,” ucapnya manja, seolah yakin Kevin akan luluh.

Kevin mendecak kesal. Ia mengalihkan pandangan, lalu tanpa sepatah kata pun, mengambil tasnya. Ani yang sejak tadi memerhatikan, menahan napas. Ia ingin tahu apa langkah Kevin berikutnya.

Semua mata kini tertuju padanya. Kevin berjalan melewati Riri begitu saja, menuju Kevia.

Kevia yang sedang menunduk kaget, buru-buru merapikan bukunya, tapi gerakannya canggung. Beberapa murid lain yang baru masuk ke kelas menghentikan langkah mereka, memandangi keanehan itu. Bisik-bisik mulai terdengar, menambah riuh suasana.

“Ayo pindah ke bangku sana,” ucap Kevin, suaranya tenang tapi mengandung nada tak terbantahkan. Ia menunjuk sebuah bangku kosong tak jauh dari mereka.

“A-aku di sini aja,” sahut Kevia cepat, berusaha meraih tasnya yang sudah lebih dulu diambil Kevin.

Namun sebelum sempat ia tarik, Kevin menyampirkan tas Kevia di bahunya, menumpuk dengan tasnya sendiri. Tegap, seakan tak peduli dengan tatapan sekelas.

“Mau pindah, apa aku paksa pindah?” suara Kevin rendah, namun setiap katanya menancap di udara, membuat bulu kuduk Kevia meremang.

“A--aku tetap di sini!” Kevia memberanikan diri menatapnya, suaranya tegas meski hatinya bergetar.

Kevin mendengus, menunduk sekilas. Dan tanpa aba-aba—

“Kevin!!” pekik Kevia kaget.

...🌸❤️🌸...

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!