NovelToon NovelToon
Harem Sang Putri

Harem Sang Putri

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Reinkarnasi / Transmigrasi ke Dalam Novel / Romansa / Cinta Istana/Kuno / Satu wanita banyak pria
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: miaomiao26

Seharusnya, dengan seorang Kakak Kaisar sebagai pendukung dan empat suami yang melayani, Chunhua menjadi pemenang dalam hidup. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.

Tubuh barunya ini telah dirusak oleh racun sejak bertahun-tahun lalu dan telah ditakdirkan mati di bawah pedang salah satu suaminya, An Changyi.

Mati lagi?

Tidak, terima kasih!

Dia sudah pernah mati dua kali dan tidak ingin mati lagi!
Tapi, oh!

Kenapa An Changyi ini memiliki penampilan yang sama dengan orang yang membunuhnya di kehidupan lalu?!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon miaomiao26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

1. Tirai Merah, Tubuh yang Terbakar

Kematian.

Itu seharusnya akhir dari segalanya.

Chunhua mengingat jelas saat napas terakhirnya direbut dengan kejam.

Pisau berlapis api ungu Sang Pemburu menembus dadanya, cahaya hitam ungu membakar daging yang telah membusuk, tulang-tulangnya terbelah.

Ia bisa mendengar raungannya sendiri—bukan suara manusia, melainkan lolongan seorang mayat hidup serak dan kering, seolah tidak pernah berbicara.

Sangat cepat, tubuhnya hancur, tercerai-berai, lenyap tanpa sisa.

Akan tetapi, sekarang…

Mengapa matanya masih terbuka?

Meski yang ia lihat hanya satu warna, Merah yang buram.

Tidak pekat seperti darah, melainkan lembut, berlapis, bergoyang perlahan seolah menari bersama napas dunia.

Ia menatap dalam bingung.

Apakah ini neraka? Atau ilusi terakhir sebelum lenyap?

Butuh waktu baginya untuk menyadari bahwa merah itu bukan darah, bukan nyala api, melainkan tirai sutra tipis yang menggantung di sekeliling ranjang. Tirai itu bergetar pelan, seakan mengikuti irama napas seseorang.

Napas…?

Telinganya menangkap suara lain. Bukan napasnya sendiri, melainkan napas berat, terputus-putus, nyaris tercekik.

Bersamaan dengan itu, terdengar detak jantung cepat, menghantam udara seperti genderang perang.

Chunhua mengernyit—ia sudah lama mati, jantungnya telah berhenti sejak ia menjadi zombi dua dekade lalu. Namun, sekarang ia bisa mendengar detak itu, kuat dan mendesak.

Dan ada aroma… samar, menyesakkan.

Seperti wangi dupa mewah dan mawar yang biasa memenuhi rumah tua keluarganya di masa lalu, tetapi bercampur sesuatu yang lebih pekat, lebih primal, sesuatu yang menusuk indera. Aroma itu membuat Chunhua mual sekaligus terseret.

Aroma seperti itu tidak akan muncul setelah akhir dunia, apalagi di medan perang yang penuh mayat membusuk.

Kepalanya mendadak diremas rasa sakit. Nyeri yang begitu hebat, seperti ribuan jarum menusuk ke otaknya. Ia mengerang pelan, tubuhnya menggeliat tak berdaya. Ada sesuatu yang dipaksa masuk ke dalam dirinya, menjejali ruang yang seharusnya kosong.

Lalu, di tengah derita itu, sebuah suara lirih menembus kesadarannya.

“… Yang… Mulia…”

Chunhua menegang. Suara itu asing, namun begitu dekat. Ada nada bingung bercampur antisipasi, seperti seseorang yang menunggu kekasih merangkulnya.

Suara itu, terdengar penuh kerinduan.

Ia berusaha menoleh, tetapi pandangannya masih buram.

Saat sakit kepala itu mereda dan dia hendak mencerna ingatan yang dijejalkan ke dalam otaknya, tubuhnya mendadak terasa panas. Api merambat dari perut, naik ke dada, lalu mengalir ke seluruh tubuh. Bukan api biasa—ini adalah kobaran yang menelan kesadarannya, membuatnya ingin merobek kulitnya sendiri.

Napas berat itu masih terdengar. Detak jantung cepat semakin keras, seolah menyatu dengan kepalanya yang mulai berdenyut nyeri.

Dengan susah payah, Chunhua menunduk. Mengikuti arah napas berat itu.

Dan di sanalah ia melihatnya.

Itu adalah seorang pria. Berambut panjang, hitam berkilau meski kusut di bantal. Wajahnya pucat namun rupawan, dahi dipenuhi peluh. Kedua tangannya terikat erat di sisi ranjang, tubuhnya tegang seperti busur yang ditarik penuh. Sedangkan matanya, berkilau penuh pemujaan.

Chunhua tertegun sejenak. Dari sudut pandang ini, dan gesekan ambigu di bawah tubuhnya, sudah pasti posisinya kini duduk di atas tubuh pria itu.

Chunhua membeku.

Ia tidak butuh penglihatan jelas untuk memahami.

Meski ia telah lama menjadi makhluk mati, meski ia telah kehilangan banyak ingatan manusiawinya, Chunhua tahu gerakan itu. Ia tahu bentuk persatuan yang begitu intim ini.

Tubuh yang kini ia tempati sedang bersenggama dengan pria itu.

Sial! Adakah yang lebih canggung dari ini?

Mengingat kamatiannya, ingatan bukan miliknya yang dijejalkan dan situasi saat ini. Tampaknya dia telah mengalami peristiwa legendaris yang biasa tertulis dalam novel.

Transmigrasi.

Akan tetapi, adakah yang mengawali petualangan dunia lain seaneh yang dia alami?

Mungkin tidak!

Jantungnya—atau mungkin jantung tubuh barunya—berdebar kencang. Panik, ngeri, dan… anehnya, ada denyut lain yang tak bisa ia kendalikan.

"Brengsek!” umpatnya, lirih.

Ia ingin berhenti. Ingin melompat turun, menjauh. Namun begitu ia mencoba mundur, rasa panas dalam dirinya meledak lebih hebat. Dadanya seolah diremas, jantungnya terhimpit, membuatnya nyaris pingsan. Tubuhnya memberontak, menolak dengan keras kepala.

Sial! Apakah tubuhnya ini diracun?

Benar-benar tercela! Tidak hanya dia datang dalam posisi absurd, tetapi juga sekarat?

Sungguh! Rasanya di manapun tidak terasa nyaman, kecuali kulitnya yang bersentuhan dengan kulit pria itu.

Dingin dan sejuk.

Kontras dengan api yang membakar tubuhnya.

Sentuhan itu seperti embun musim dingin di tengah padang pasir. Sejuk, menenangkan, membuatnya bisa bernapas meski hanya sebentar.

Chunhua meraih lengan pria itu dan sentuhan yang menggetarkan jiwa segera menghantam.

"Engh...." Tanpa dia sadari erangan meluncur dari bibirnya.

Chunhua tahu situasi ini tidak benar, tetapi meski otaknya berusaha menolak, naluri dan tubuhnya mendesak.

Ia tersentak saat mendengar suara lirih itu lagi.

“… Yang Mulia…”

Kali ini lebih jelas, meski masih terputus-putus. Ada kebingungan dalam suaranya, tetapi juga pengharapan. Seakan ia menunggu Chunhua untuk melanjutkan.

Chunhua terpaku. Yang Mulia? Mungkinkah tubuh yang di tempatinya saat ini adalah keturunan bangsawan di era tertentu?

Atau apakah ini kebiasaan di kamar tidur diantara pasangan? Jenis yang suka mengikat pasangannya dan memanggil dengan gelar kehormatan, seperti budak yang memanggil tuannya?

Mungkinkah pria ini kekasih tubuh barunya? Mengingat meski diikat, dia masih melihatnya dengan penyerahan dan kepatuhan.

Apapun jawabannya, yang pasti adalah pemilik asli tubuh ini adalah wanita perkasa dengan kegemaran khusus.

Gelombang panas kembali menyerang, kali ini jauh lebih kuat. Ia hampir meraung, merasakan seolah ada tangan tak kasatmata yang meremas jantungnya hingga hampir pecah.

Chunhua menggertakkan gigi. Ia tak sempat lagi bertanya-tanya. Apakah ini kebiasaan rahasia pasangan atau apapun? Semuanya tidak penting. Yang penting hanya satu: bertahan hidup, meredakan api yang melahap tubuhnya.

Sebagai zombi, sepanjang hidupnya ia digerakkan naluri. Ia tahu apa artinya tunduk pada insting demi bertahan. Dan sekarang, tubuh ini dan nalurinya menuntut hal yang sama.

Chunhua menunduk, menatap wajah pria itu. Mata pria itu terbuka sedikit, menatapnya dengan campuran antisipasi dan pasrah. Rambut panjangnya menempel pada pipi karena keringat, bibirnya gemetar.

Naluri mengambil alih.

Chunhua bergerak, kaku, seolah tubuhnya hanyalah boneka yang ditarik paksa oleh tali tak kasatmata.

Bibirnya menempel pada leher pria itu, mengecup, lalu menjilatnya, merasakan denyut pelan nadi di bawah kulit tipis. Rasa asin samar memenuhi lidahnya, membuat seluruh tubuhnya bergetar.

Pria itu mendesah tertahan, suaranya parau. “… Yang Mulia…”

Ia masih menjilat perlahan, membiarkan lidahnya mengikuti jalur urat yang berdenyut pelan. Setiap denyut seolah memanggil, menggoda naluri purbanya yang haus akan darah.

Giginya menekan, gigitan yang ia coba perdalam, namun hanya menimbulkan nyeri kecil dan erangan tertahan dari pria itu. Tidak ada semburan hangat yang ia tunggu, hanya rasa besi tipis yang tercecap di lidahnya—terlalu sedikit, terlalu lemah untuk meredam kegelisahan dalam dirinya.

Matanya terpejam rapat, rahangnya menegang, menahan frustrasi. Api yang bergolak dalam tubuhnya mencari jalan keluar, menuntut lebih dari sekadar tetesan. Ia ingin menerkam, ingin melahap, namun tubuh barunya menertawakan kelemahannya. Tanpa taring, tanpa cakar, ia hanyalah manusia yang terbakar hasrat.

Tangannya merayap di sepanjang rahang pria itu, keras dan gemetar. Napasnya panas, turun ke bahu, lalu ke dada yang bergetar tiap kali pria itu menarik napas. Desah demi desah pecah, menambah nyala api yang sudah melahap dirinya.

“Yang Mulia…” Suara pria itu kembali terdengar, lebih rendah, penuh getar, seolah sekaligus memohon dan menantang.

Chunhua tidak menjawab, tampaknya dia telah menemukan cara untuk melampiaskan dirinya.

Bibirnya turun, menelusuri kulit, meninggalkan jejak basah yang membuat pria itu menggeliat dan mengerang tertahan.

Hawa panas semakin menumpuk. Ruangan dipenuhi suara deras napas, erangan, dan derit tempat tidur yang tak henti. Tirai merah bergetar, ikut menari bersama asap dupa yang tebal, melukiskan bayangan dua tubuh yang saling melumat tanpa jeda.

Gerakan Chunhua semula kaku, namun makin lama makin liar, naluri mengambil alih seluruh kesadarannya. Pria yang terikat mengepal erat, tubuhnya melengkung, napasnya terpecah-pecah.

Chunhua menggertakkan giginya, suara lirih lolos dari tenggorokannya. Panas dalam tubuhnya akhirnya menemukan celah keluar, mengalir dalam gelombang yang mengguncang.

Setiap hentakan membuat keduanya tenggelam semakin dalam, seolah dunia di luar tirai merah lenyap ditelan malam.

Pria itu berteriak tertahan, lalu tubuhnya jatuh terkulai, tetapi tetap menempel erat pada Chunhua.

Erangan terakhir memecah udara, lalu keheningan berat menggantung, hanya tersisa suara napas kacau mereka yang saling bertabrakan.

Tirai merah bergoyang lembut, menyembunyikan dua tubuh yang kini saling melekat, lelah namun masih terikat oleh sisa panas yang tak sepenuhnya padam.

Chunhua menutup mata, bibirnya bergetar tanpa suara. Api itu lama akhirnya mereda, tetapi api baru menghantam lebih keras.

Chunhua menegakkan tubuh, mengernyit tidak puas. Kemudian, tanpa aba-aba, dia menggigit bahu pria itu. Mengigitnya kuat seolah melampiaskan kemarahannya, sementara bagian bawahnya kembali melahap pria itu.

Erangan dan lenguhan kembali bersahut, bersaing dengan derit tempat tidur. Tirai merah bergoyang lembut, menari di udara bersama asap dupa, meninggalkan dua siluet yang terjerat intim diatas tempat tidur.

Sementara itu, di balik pintu yang tertutup, seorang pelayan wanita berdiri tanpa goyah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!