bercerita tentang seorang gadis buruk rupa bernama Nadia, ia seorang mahasiswi semester 4 berusia 20 tahun yang terlibat cinta satu malam dengan dosennya sendiri bernama Jonathan adhitama yang merupakan kekasih dari sang sahabat, karna kejadian itu Nadia dan Jonathan pun terpaksa melakukan pernikahan rahasia di karenakan Nadia yang tengah berbadan dua, bagaimana kelanjutan hidup Nadia, apakah ia akan berbahagia dengan pernikahan rahasia itu atau justru hidupnya akan semakin menderita,,??? jangan lupa membaca 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23
Dewi mematut dirinya di depan cermin. Senyum kecil merekah di wajahnya saat ia memeriksa riasan tipis yang menghiasi pipinya. Gaun putih polos selutut yang ia kenakan membuatnya tampak segar, sederhana, namun tetap memesona. Tangannya merapikan helai rambut yang sengaja ia ikat setengah ke belakang, membiarkan sebagian tergerai lembut.
Hari ini adalah hari yang sudah ia rencanakan sejak seminggu lalu. Makan siang berdua dengan Jonathan. Momen yang sangat ia nantikan di tengah kesibukan dan ketegangan yang belakangan kerap dirasakannya.
Ia melangkah menuju sofa, lalu mendudukan tubuhnya di sana. Menunggu kedatangan Jonathan untuk menjemput nya.
Ia meraih ponselnya, lalu mengetikan pesan yang akan dikirimkan pada seseorang. Senyum nya mengembang saat mengirim pesan tersebut. Namun di balik senyum manisnya itu. Ada sesuatu yang tersembunyi di sana.
...
Jonathan. Yang telah berpakaian rapi, berjalan menuju lift dengan langkah mantap. Kaos putih lengan pendek dengan celana hitam selutut. Menampilkan kesan santai namun tetap terlihat tampan. Sebelum nya, tak lupa ia berpesan pada Alex. Agar menjaga keamanan Nadia selama dirinya pergi.
“Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku,” ucap Jonathan sambil menepuk bahu Alex, sorot matanya serius.
Alex mengangguk mantap.
“baik. Tuan."
Mobil Jonathan berhenti tepat di depan lobi apartemen Dewi. Ia mematikan mesin, menatap ke luar jendela sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengeluarkan ponselnya. Satu pesan singkat ia kirim:
"Sayang. Aku sudah di bawah."
Dewi yang masih duduk di sofa langsung menoleh saat ponselnya bergetar. Matanya menangkap notifikasi pesan dari Jonathan. Senyumnya kembali merekah, lalu ia berdiri, merapikan gaunnya sejenak sebelum mengambil tas kecil di meja. Namun sebelum melangkah keluar, ia sempat melirik ke arah cermin sekali lagi.
Langkahnya menuju lift terasa sangat ringan. Suasana di koridor apartemen begitu hening, hanya terdengar bunyi lembut dari pendingin ruangan yang menyala otomatis. Dewi menekan tombol lift, lalu menatap pantulan dirinya di dinding logam pintu yang mengilat. Senyum itu masih bertahan, tapi kali ini lebih tipis. Lebih mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan.
Pintu lobi terbuka. Mata mereka saling bertemu. Tatapan Jonathan yang lembut, senyum kecilnya, dan tangan yang terulur seolah menghapus segala keraguan. Dewi menghampirinya, lalu memeluknya singkat sebelum duduk di jok samping kemudi.
Perjalanan ke kafe diwarnai obrolan ringan. Jonathan sesekali menoleh ke arah Dewi, memperhatikan ekspresi kekasihnya yang terlihat ceria.
Jonathan memarkirkan mobilnya tak jauh dari kafe yang teduh di bawah rindangnya pepohonan kota. Bangunan kafe bergaya klasik Eropa itu tampak tenang, dengan lampu gantung kecil yang menggantung di balik kaca jendelanya, memantulkan bayangan yang lembut di trotoar.
Mereka berjalan berdampingan menuju pintu masuk. Dewi menggenggam tangan Jonathan erat, dan pria itu membalasnya dengan sentuhan hangat di jemarinya.
Mereka memilih meja di pojok, dekat jendela. Pelayan datang, mencatat pesanan, lalu meninggalkan mereka berdua dalam suasana yang tampaknya nyaman. setidaknya di permukaan.
...
Di apartemen milik Jonathan, Nadia duduk di ruang tamu sambil menatap layar televisi. Berkali-kali ia menekan tombol pada remote, mengganti saluran tanpa tujuan yang jelas. Hingga akhirnya, pandangannya tertumbuk pada salah satu saluran yang menayangkan acara ulasan makanan. Kali ini, makanan yang direview adalah rujak buah.
Tampak potongan mangga muda, nanas, bengkuang, dan jambu yang segar ditata rapi di atas piring. Siraman sambal kacang yang kental dan sedikit taburan gula merah membuat tampilan rujak itu tampak menggoda. Seketika mata Nadia berbinar. Ia menelan ludah, merasa air liur memenuhi rongga mulutnya.
“Mungkin ini efek ngidam,” gumamnya pelan, sambil tersenyum kecil.
Perutnya terasa bergejolak, bukan karena lapar biasa, tapi karena dorongan kuat yang sulit dijelaskan. dorongan khas wanita hamil yang menginginkan sesuatu secara tiba-tiba.
Dengan cepat ia meraih ponselnya, lalu mengetikan pesan yang akan ia kirim pada Jonathan.
Nadia: " Pak Nathan. Apa aku boleh pergi ke luar sebentar,"
Ia ragu sejenak sebelum menekan tombol kirim. Meski mereka tinggal satu atap, Nadia masih memanggilnya dengan sapaan formal.
Pesan terkirim. Namun, menit demi menit berlalu tanpa balasan. Nadia menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala, seakan berharap pesan itu akan terbaca lebih cepat jika ia menatapnya cukup lama.
Sementara itu, di kafe yang nyaman dan penuh cahaya senja, Jonathan tertawa kecil menanggapi cerita Dewi tentang teman-teman nya di kampus . Suasana di meja itu tampak ringan, namun sesekali mata Jonathan melirik ke ponselnya yang ia letakkan terbalik di atas meja. Ia tahu ada getaran halus beberapa menit lalu. tanda ada pesan masuk, tapi ia memilih untuk tetap fokus pada Dewi. Setidaknya untuk sekarang.
Kembali ke apartemen, Nadia akhirnya bangkit dari sofa. Ia melangkah ke arah balkon kecil, membuka pintu kaca perlahan, membiarkan udara sore menyapu wajahnya. Perasaan sesak mulai merambat di dada.
Ponselnya bergetar. Harapan yang tadi hampir padam langsung menyala. Ia segera membuka pesan.
Pak Nathan: " mau kemana,? Boleh. tetapi harus bersama Alex. Akan sangat berbahaya bagi mu jika pergi sendirian,".
Nadia menghela napas lega membaca balasan Jonathan. Setidaknya ia tidak sepenuhnya diabaikan. Tapi tetap saja, ada perasaan asing yang sulit dijelaskan. Ia membaca ulang pesan itu, mencoba menemukan nada perhatian dalam kalimat singkat tersebut.
Ia membalas pelan:
Nadia: Baik. Aku akan minta kak Alex. Mengantarkan aku ke tempat yang jual rujak, sebentar saja.
Tanpa menunggu lama, Nadia berdiri lalu berjalan menuju sebuah ruangan. Tempat dimana biasanya Alex berada. Dan benar saja pria itu tengah duduk sembari matanya fokus menatap beberapa layar monitor di hadapan nya.
“ kak Alex,” panggil Nadia dengan suara pelan.
Alex menoleh cepat.
“Ya, Nona?”
“Aku... ingin keluar sebentar. Cari rujak. Sudah minta izin Pak Nathan,” ujarnya.
Alex mengangguk. “Baik, saya siapkan mobilnya.”
Beberapa menit kemudian, mobil hitam milik Jonathan meluncur perlahan keluar dari area apartemen. Nadia duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Tapi di dalam pikirannya, ribuan pertanyaan berputar. Tentang Jonathan. Tentang Dewi. Tentang dirinya sendiri. Tentang bayi yang tumbuh dalam rahimnya, dan tentang teror-teror yang belakangan ini menghantui.
Mobil melaju tenang di bawah langit sore yang mulai menggelap. Lampu jalan perlahan menyala, memantulkan cahaya hangat di kaca jendela mobil yang mulai berembun. Di samping kemudi, Alex sesekali melirik ke arah kaca spion, memastikan kondisi Nadia baik-baik saja. Namun, yang ia lihat adalah sosok gadis muda yang tampak menyimpan kepedihan yang dalam, meskipun wajahnya berusaha terlihat tenang.
“Tempat rujaknya mau yang seperti di TV tadi, Nona?” tanya Alex dengan suara tenang seperti biasa.
Nadia menoleh pelan.
“Iya, yang ada mangga muda dan sambal kacang kental... Kak Alex tahu tempatnya?”
Alex mengangguk pelan, tatapannya sebentar berpindah ke jalan sebelum kembali menatap Nadia melalui kaca spion.
“Ada satu tempat yang cukup terkenal. Di dekat taman kota. Biasanya ramai, tapi kalau beruntung, kita bisa dapat tanpa antre lama,” ucapnya.
Nadia mengangguk kecil. “Boleh ke sana.”
Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam. Hanya suara mesin mobil dan lalu lintas sore hari yang menemani.
Mobil berhenti di pinggir jalan dekat taman kota. Aroma tajam dari sambal kacang bercampur dengan segarnya buah-buahan segar langsung menyambut mereka. Penjual rujak itu tampak sibuk melayani pembeli. Tapi begitu melihat Alex dan Nadia mendekat, ia tersenyum ramah.
“Rujak satu, Neng?” tanya si penjual sambil mulai menyiapkan pisau.
Nadia mengangguk sambil tersenyum lembut. “Iya, yang pedasnya sedang saja.”
Alex berdiri tak jauh, mengawasi sekeliling dengan tatapan waspada. Ia tahu bahwa mereka tidak bisa benar-benar merasa aman. Teror yang menimpa Nadia beberapa waktu lalu masih menjadi misteri, dan setiap momen keluar dari apartemen adalah potensi risiko.
...
Di kafe tempat Jonathan dan Dewi berada. Jonathan menatap wajah Dewi yang tersenyum di hadapannya. Tatapan mata gadis itu tampak ceria, namun bagi Jonathan yang sudah cukup lama mengenalnya, ada sesuatu yang terasa janggal. Senyumnya manis, ya, tapi tidak selembut biasanya. Sorot matanya menyimpan sesuatu. Sesuatu yang tidak ia pahami, tapi cukup membuat dadanya sedikit mengencang.
“Aku senang hari ini,” ulang Dewi sambil menyendok es krim cokelat yang mulai meleleh.
Dertt...derttt..dertt...
Dering ponsel milik Dewi berbunyi dari dalam tas miliknya. Ia meraih benda pipih tersebut, lalu menatap layar ponsel itu sejenak.
" Mas. Aku tinggal sebentar yaa. Papa telpon," ucapnya, dan mendapat anggukan dari Jonathan.
Ia beranjak dari duduknya, lalu berjalan sedikit menjauh dari Jonathan. Untuk menjawab panggilan telepon tersebut.
mungkinn
jgn bodoh trlalu lm jo.... kekuasaan jga hrtamu slm ini tk mmpu mngendus jejak musuhmu yg trnyata org trsayangmu🙄🙄
klo nnti nadia bnyak uang.... bkalan balik lgi tuh wujud asli nadia....
krna sejatinya nadia dlunya cantik... hnya krna keadaan yg mmbuat dia tak mungkin merawat dirinya....
jdi kurang"i mncaci & merendhkn ibu dri ankmu....