PEDANG GENI. seorang pemuda yang bernama Ranu baya ingin membasmi iblis di muka bumi ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fikri Anja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
"Gusti Ratu, Ranu meminta agar pasukan kita diberangkatkan. Dia sekarang sedang di dalam istana. Entah ditahan atau tidak, hamba kurang tahu," lapor Suropati.
"Kenapa kau tinggalkan anakku sendirian di sana?"
emosi Dewi Anjani langsung naik mendengar informasi tersebut.
"Mohon maaf, Gusti ratu. Tapi itu atas permintaan Ranu sendiri. Kalau dia tidak ditangkap, maka hamba tidak akan bisa memberi informasi ini. Dan ini bagian dari rencana Ranu juga, Gusti Ratu!"
"Kalau sampai terjadi apa-apa dengan anakku, akan aku ratakan kota itu!" dengus Dewi Anjani.
Suropati menunduk melihat kemarahan Ratu kerajaan jin di gunung Rinjani. Dia tahu sendiri bagaimana kekuatan wanita tersebut yang bisa meratakan sebuah gunung dalam waktu singkat.
"Berangkatkan sekarang! Bawa juga 10 ribu pasukan panah ke sana!" perintah Dewi Anjani.
"Hamba laksanakan, Gusti Ratu."Suropati memberi hormat kepada Dewi Anjani dan berlalu meninggalkan ibu angkat Ranu tersebut.
Setelah persiapan pasukan selesai, Suropati bersama 30 ribu pasukan, yang 10 ribu di antaranya adalah pasukan pemanah, berangkat menuju
kerajaan Raja Condrokolo. Pasukannya akan bergabung dengan pasukan Raja Condrokolo dulu sebelum berangkat bersama-sama menuju kota Wentira.
***
Sementara itu, Ranu yang masih berada di istana kota Wentira merasa bingung bagaimana harus mengambil langkah. Secara, pusaka yang harus dikumpulkannya sekarang berada di depannya, tapi belum bisa diraih karena maut bisa saja menjemputnya jika memaksa mengambilnya.
"Bawa dia ke dalam penjara!" perintah Raja Dharmacakra.
Ranu kaget dan tidak menyangka jika harus dipenjara.Tapi di lain sisi dia merasa bersyukur karena akhirnya bisa berkomunikasi dengan Geni.
Setibanya di dalam sel, Ranu menyandarkan punggungnya di dinding yang terbuat dari batu gunung yang kuat. Seolah sedang beristirahat, Ranu memejamkan matanya dan mulai berkomunikasi dengan Geni.
"Ada apa kau memanggilku, Ranu?" tanya Geni tiba-tiba.
"Aku sudah menemukan pusaka yang ketiga, Golok Tirta Aji. Tapi sepertinya akan sangat sulit mendapatkannya.Penjagaan di istana ini sangat ketat dan juga kuat."
"Aku merasakan dua energi yang sangat besar di tempat ini. Dan ada beberapa yang lain meski tidak sekuat yang dua tadi. Sepertinya ini akan menjadi pertarungan terbesarmu setelah yang sudah-sudah."
"Apa yang harus aku takutkan jika ada kau bersamaku?" puji Ranu.
"Ranu, ada hal yang harus kau pahami. Meski aku adalah siluman penguasa api dan juga siluman terkuat, namun ada kalanya aku juga bisa kehabisan energi jika dipakai terus-terusan," keluh Geni.
"Tenang saja, aku akan menggunakanmu jika memang aku sudah tidak bisa bertahan lagi!"
"Ada satu lagi, Ranu. Jika dia menggunakan golok itu, pakailah tombak Bayu Sutra untuk melawannya. Jangan menggunakan Pedang Segoro Geni untuk melawannya!"
"Aku paham, karena pada dasarnya api akan padam jika terkena air. Tapi aku punya cara lain meski menggunakan pedang Segoro Geni. Dan jika saat itu tiba, maka aku membutuhkan bantuanmu!"
"Baiklah, sekarang rencanamu bagaimana?" tanya Geni.
"Malah aku yang mau bertanya padamu, dari tadi aku bingung mencari jalan keluarnya!"
Cukup lama Geni diam dan tidak membalas ucapan Ranu.
"Apa kau sedang tidur?" Ranu memecah kebuntuan.
"Tidur kepalamu! Aku ini sedang berpikir. Katanya kau mau minta pendapatku?" sungut Geni.
Ranu terkekeh pelan, meski dia dan Geni seperti tikus dan kucing, namun mereka berdua sudah seperti sahabat karib. Mereka saling mengisi sebelum Ranu bertemu Mahesa.
"Begini saja, coba kau panggil Manarah datang. Dia akan sangat berguna di saat seperti ini!"
"Ah, iya ... kenapa tidak terpikir olehku," sahut Ranu.
"Karena kau sebenarnya bodoh dan hanya berpura-pura pintar!"
Pemuda itu kemudian memanggil Manarah untuk ikut bergabung dengan mereka berdua.
"Kenapa kau memanggilku!?" Manarah tiba-tiba muncul dengan intonasi lumayan tinggi.
Ranu terkejut dengan kedatangan Manarah yang tiba-tiba marah tanpa sebab.
"Kenapa kau datang dan langsung marah-marah?"
"Siapa yang tidak marah jika hanya menjadi pemain cadangan saja? Harga diriku sebagai siluman hebat bisa jatuh karena tidak pernah kau pakai," dengus siluman buto ijo itu.
Ranu dan Geni tidak bisa menahan tawanya. Mereka berdua tidak menyangka jika hanya itu alasan Manarah yang sedang emosi berat.
"Tenang, Manarah. Kau adalah makhluk istimewa. Jadi aku tidak akan sembarangan menggunakanmu." Ranu mencoba menenangkan Manarah.
"Kau jangan mencoba menyuapku dengan pujianmu itu! Aku masih ingat betul terakhir bertarung di kerajaan Raja Condrokolo. Sejak saat itu kau bahkan tidak pernah mengajakku berkomunikasi!"
Ranu menggaruk kepalanya. Dia sadar memang tidak pernah berkomunikasi lagi dengan Manarah sejak keluar dari Alas Purwo.
Namun bukan Ranu namanya jika tidak bisa berkelit. Pemuda itu mempunyai seribu akal untuk bisa membuatnya terlepas dari tekanan.
"Apa kau ingat jika pertarungan saat itu adalah yang paling sengit selama kau ikut denganku? Dan itulah istimewanya dirimu, aku menggunakanmu di saat-saat yang penting saja," balas Ranu sambil menahan tawanya.
"Dan situasinya sama dengan saat ini. Lawan kita kali ini juga mempunyai kekuatan yang setara dengan Raja Kolocokro. Maka dari itu aku memanggilmu," lanjutnya.
Intonasi Manarah menurun drastis. Nampaknya Ranu berhasil meredakan kemarahan makhluk siluman itu, "Apa yang harus aku lakukan?"
"Keluarlah dari istana ini dan cari pintu gerbang masuk kota. tunggu di sana sampai Mahesa nanti masuk membawa pasukan!" kata Ranu.
"Berarti ceritanya ini perang antara kerajaan gaib?"
"Bisa dibilang begitu. Kau tunggu saja di pintu gerbang masuk. Dan ingat, jangan sampai energimu terbaca oleh penjaga!"
Ranu kemudian menjelaskan panjang lebar tentang siapa saja yang nanti masuk ke kota Wentira. Termasuk juga seratus ribu pasukan yang dibawa Raja Condrokolo.
"Berarti perang kali ini adalah perang terbesar dalam sejarah," gumam Manarah. Dia sempat terkejut juga karena Raja Kolocokro ikut andil dalam perang kali ini.
"Nanti setelah kau menemui mereka, segeralah datang kemari dan aku akan keluar dari sini!"
"Baiklah ... Aku akan pergi sekarang!"
"Pergilah, dan ingat pesanku ...!"
Selepas Manarah pergi, Geni dan Ranu kembali tertawa lebar.
"Kok ada siluman seperti dia, bisa dengan begitu mudah kau bohongi," kata Geni sebelum kembali tertawa.
"Hahaha ... padahal tadi aku mau bilang kepadanya kalau kau siluman rendahan, biar dia senang," sahut Ranu.
"Pendekar edan!" Geni mendengus kesal namun kembali tertawa melihat keluguan Manarah.
***
Di desa Nupa Bomba, Wanandra dan Mahesa yang sudah sampai di tonggak kayu berwarna kuning, menunggu kedatangan pasukan yang dipimpin Raja Condrokolo. Meskipun nantinya mereka akan tiba dalam keadaan tak kasat mata, Tapi Wanandra sudah membuka mata batin Mahesa, sehingga pemuda itu akan bisa melihat kedatangan pasukan tersebut.
"Kira-kira berapa lama lagi mereka akan datang, Kek?"
tanya Mahesa pelan. Matanya memandang ke sekeliling sebelum memusatkan tatapannya di tonggak kayu kuning di depannya.
"Raja Condrokolo itu salah satu penguasa alam jin, Mahesa. Dalam satu kedipan saja dia bisa sampai di sini dengan mudah."
Mahesa mengangguk memahami ucapan Wanandra. Dia sudah tidak sabar ingin mencoba jurus barunya yang baru saja dipelajarinya dari Wanandra.
Beberapa saat kemudian, Wanandra bisa merasakan adanya energi yang besar menuju tempat mereka. Dia sadar kalau Raja Condrokolo dan pasukannya akan segera tiba di tempat itu.
Wanandra berdiri dan bersiap menyambut kedatangan penguasa alam jin Alas Purwo tersebut, "Berdirilah, Paduka Raja akan segera tiba di tempat ini!"
Mahesa langsung berdiri di samping Wanandra. Dalam beberapa detik kemudian, dia mendengar suara bergemuruh yang dirasakannya dengan mata batinnya.