Mereka tumbuh bersama. Tertawa bersama. Menangis bersama. Tapi tak pernah menyangka akan menikah satu sama lain.
Nina dan Devan adalah sahabat sejak kecil. Semua orang di sekitar mereka selalu mengira mereka akan berakhir bersama, namun keduanya justru selalu menepis anggapan itu. Bagi Nina, Devan adalah tempat pulang yang nyaman, tapi tidak pernah terpikirkan sebagai sosok suami. Bagi Devan, Nina adalah sumber kekuatan, tapi juga seseorang yang terlalu penting untuk dihancurkan dengan cinta yang mungkin tak terbalas.
Sampai suatu hari, dalam situasi penuh tekanan dan rasa kehilangan, mereka dipaksa menikah demi menyelamatkan kehormatan keluarga. Nina baru saja ditinggal tunangannya yang berselingkuh, dan Devan, sebagai sahabat sejati, menawarkan sebuah solusi yaitu pernikahan.
Awalnya, pernikahan itu hanyalah formalitas. Tidak ada cinta, hanya kenyamanan dan kebersamaan lama yang mencoba dijahit kembali dalam bentuk ikatan suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Pagi itu langit tampak cerah. Burung-burung berkicau di luar jendela saat Nina membuka tirai kamar. Ia mengusap perutnya yang sudah mulai membuncit, senyum tipis terlukis di wajahnya. Sedangkan Devan masih tergolek di ranjang, bergelung di balik selimut sambil mendengkur halus.
"Sayang, bangun. Hari ini Bunda mau datang," bisik Nina sambil mengguncang bahu suaminya pelan.
Devan mengerjap malas. "Hari Minggu. Hari tidur sedunia," gumamnya sembari memeluk bantal.
Nina menghela napas, lalu menggoda. "Kalau kamu nggak bangun, aku bilangin Bunda kalau kamu nggak nurut sama aku."
Devan langsung bangkit seperti baru ditembak peluru mainan. "ASTAGA! Bunda dateng jam berapa?"
Nina terkikik. “Jam sepuluh. Masih sempat mandi dan bantuin nyapu rumah.”
“Nyapu rumah? Aku kan pangeran.” Devan berdecak dan memasang wajah sok tampan.
“Pangeran rumah tangga.” Nina melempar bantal ke arahnya sambil tertawa.
Devan tersenyum, tangannya terulur mencubit hidung mancung milik Nina, membuat Nina menjerit.
Namun, Devan segera berkilah, ia langsung melesat pergi sebelum Nina ngamuk.
Dan Nina tersenyum melihat suaminya itu.
Menjelang pukul sepuluh, rumah mungil mereka sudah rapi. Devan bahkan sempat membeli bunga kesukaan ibunya dan menyusunnya di vas meja makan. Nina mengenakan gamis longgar berwarna lavender yang membuat wajahnya makin bersinar. Kehamilan tampaknya membawa aura lembut yang tak pernah Devan lihat sebelumnya.
Tiba-tiba terdengar suara mobil di depan rumah. Devan yang dari tadi mondar-mandir seperti ayam kehilangan arah langsung berseru, “Itu pasti Bunda!”
Pintu terbuka. Sosok wanita paruh baya dengan balutan kerudung biru tua dan wajah bersinar masuk sambil membawa sekotak besar kue dan sebuah kantong belanja.
“Nina, sayang!” Bunda langsung memeluk menantunya dengan hangat. "Lho, tambah cantik aja kamu! Udah kelihatan perutnya tuh..."
Nina tersenyum malu. “Iya, Bunda. Alhamdulillah sehat-sehat.”
Devan berdiri di belakang mereka, cemberut kecil. “Bunda, aku nggak dapet pelukan?”
Bundanya menoleh sambil tersenyum sinis. “Kamu? Peluk dulu istrimu tiap pagi baru Bunda peluk. Nakal!”
Nina tertawa keras sementara Devan menggaruk-garuk kepala.
Setelah duduk di ruang tamu dan berbincang sebentar, Bundanya Devan mengajak Nina masuk ke kamar.
“Yuk, kita ngobrol di dalam. Bunda pengin tahu semua soal kehamilanmu.”
Di dalam kamar, suasananya berubah lebih tenang. Bunda memegang tangan Nina dan menatapnya lembut.
“Sayang, jadi ibu itu bukan hal mudah. Tapi kamu punya Devan. Dia memang suka bercanda, tapi hatinya besar. Kamu pun harus kuat. Nanti kalau bayi kalian lahir, dunia akan berubah.”
Nina menggenggam tangan Bunda lebih erat. Matanya basah. “Terima kasih udah percaya sama nuna. Awalnya Nina takut, takut nggak bisa jadi istri dan ibu yang baik.”
Bunda mengelus pipinya. “Kamu udah jadi yang terbaik. Lihat Devan sekarang, dia lebih dewasa. Dan itu semua karena kamu.”
Mereka berdua saling berpelukan, sebuah ikatan yang tak lagi hanya antara ibu mertua dan menantu—tapi antara dua perempuan yang saling menyayangi dalam keluarga yang sama.
Sementara itu di dapur, Devan sedang mencoba memasak mi instan spesial untuk ibunya dan istrinya. Tapi seperti biasa, dapur berubah jadi zona perang.
"Devan! Itu airnya tumpah!" Nina yang masuk terburu-buru langsung berseru.
Devan panik, mencoba mematikan kompor sambil menahan panci yang nyaris tumpah. “Aku pengin bikin kejutan! Tapi kompor kayaknya benci aku.”
Bunda muncul di pintu dapur, ternganga melihat dapur berantakan. “Astaga, dapur rumah ini baru dua minggu direnovasi, Nak...”
Nina tertawa terbahak-bahak. “Bunda, suami saya ini emang pangeran tanggung jawab tapi bukan pangeran dapur.”
“Yaudah, kamu pangeran bersih-bersih sekarang,” sahut Bunda sambil memberikan kain lap ke Devan.
Sore itu mereka duduk di ruang tamu, menyantap kue buatan Bunda, dan membicarakan calon nama bayi.
“Bunda suka nama yang punya arti cahaya,” kata Bunda.
“Kalau gitu, biar lengkap. Nama bayinya nanti harus bermakna pelangi atau mentari.”
“Mentari? Jadi kalo anak kita cowok, namanya Surya Devan?” ejek Nina sambil tertawa.
Bunda ikut tertawa. “Lucu juga. Surya Devan Putra Cahaya!”
“Ya ampun, Bun… jangan asal gabung semua kata indah deh!” sahut Devan yang ikut ngakak.
Hari berakhir dengan pelukan hangat dan tangis haru dari Bunda saat pamit.
“Kalian adalah rumah satu sama lain,” ucap Bunda pelan. “Rawat cinta kalian. Dan anak ini... dia akan membawa kebahagiaan yang lebih besar dari apa pun.”
Nina mengangguk. Devan menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Selama kamu di sampingku, semua akan baik-baik saja,” bisik Devan di telinga Nina saat mereka kembali ke dalam rumah.
Nina tersenyum. Perjalanan mereka masih panjang. Tapi untuk saat ini, rumah mereka terasa paling hangat di dunia.
*
Jam menunjukkan pukul 02.45 dini hari.
Nina yang sedang hamil tujuh bulan mengerang pelan sambil memegangi perutnya. Ia menggeliat di ranjang, mencoba mencari posisi yang nyaman. Wajahnya meringis. Tapi bukan karena kesakitan hebat—melainkan karena bayinya bergerak aktif dan menekan bagian dalam perut.
“Devaaaan…,” panggilnya dengan suara serak mengantuk.
Devan yang tertidur pulas dengan posisi tengkurap langsung terbangun seolah alarm darurat meledak di telinganya. Ia terlonjak, nyaris jatuh dari ranjang.
“Nina kenapaa?! Kontraksi? Kamu mau lahiran? Ya Allah! 112 ya? Eh, 119? Bentar-bentar! Aduh!”
Devan kalang kabut mencari HP-nya yang entah jatuh ke mana. Sementara Alya menatap suaminya itu dengan dahi mengernyit, antara geli dan jengkel.
“Devan... bukan... Ini si dedek nendang kenceng banget... bukan mau lahiran...” gumam Nina, tapi suaminya sudah berlari keluar kamar sambil meneriakkan:
“BUNDA!!! Nina MAU LAHIRAN!!”
Tak sampai dua menit kemudian, Devan kembali masuk kamar dengan membawa tas darurat yang sudah dia siapkan sejak bulan kelima kehamilan. Ia juga memanggil bundanya lewat video call. Suaranya tercekat.
“Bun! Bun! Nina kayaknya kontraksi bu! Saya siapin mobil sekarang ya, kita ke RS!”
“Devan!” teriak Nina jengkel sambil melempar bantal ke arahnya. “Ini... cuma bayinya nendang! Aku masih bisa ngomong santai gini, masa kamu panik kayak gitu!”
Devan terdiam, napasnya ngos-ngosan. Tangannya masih mencengkeram ponsel dan tas darurat yang isinya bercampur antara popok bayi dan... botol sabun.
Namun tak sampai di situ.
Dengan jari gemetar, Devan membuka kontak "BIDAN MIRA". Dia pencet tombol telepon.
Tuut... Tuut...
“Assalamualaikum?” suara Bidan Mira terdengar setengah mengantuk.
“Bu Bidan! Maaf bu... ini Devan... suaminya Nina. Istri saya... dia... dia ngeluh sakit perut! Kayaknya... kayaknya bayi kami mau lahir, bu!”
Dari balik layar, bundanya Devan menahan tawa keras. Bahkan Nina yang awalnya kesal sekarang menutup wajah dengan selimut karena geli dan malu.
“Mas Devan, usia kandungan istri sudah berapa minggu ya?” tanya Bidan Mira kalem.
“Eh... eh… tujuh bulan, Bu…”
“Hm… kemungkinan besar itu bukan kontraksi persalinan, Mas. Coba tenangkan dulu, taruh tangan di perut istri, rasakan apakah perutnya keras terus atau cuma gerakan bayi. Ada keluar lendir atau cairan?”
Devan mendekati Nina seperti detektif CSI. Ia menaruh telapak tangan ke perut Nina, menatap penuh horor.
“Gerak, Bu… dia nendang! Tapi Nina-nya sering kesakitan!”
“Mas, itu normal. Bayinya sehat. Jangan panik ya, Mas. Kalau istri masih bisa marah-marah sama Mas, artinya belum lahiran,” jawab sang bidan sambil tertawa kecil.
Devan yang masih setengah linglung mengangguk.
“Oh… iya ya… iya… Istrinya sehat kok, Bu… sehat… hehehe…”
Nina menyikut pelan perut Devan. “Sudah tuh, calon ayah panik level master.”
Devan menutup telepon dengan wajah merah padam. “Ya ampun… aku panik banget… aku kira kamu mau lahiran beneran.”
Bundanya dari video call masih tertawa, “Nak, kamu tuh lucu banget. Dulu waktu kecil kamu jatuh dari sepeda, yang panik juga ibu. Nah sekarang kamu warisin panik ibu.”
Setelah situasi mereda, Devan menaruh tas darurat di samping tempat tidur. Ia menatap perut Nina lalu mencium ubun-ubunnya lembut.
“Aku... aku nggak siap kalau kamu kenapa-kenapa, Nin...”
Nina tersenyum, menahan rasa gemas. “Aku juga nggak siap punya suami yang panik sampai mau ngangkat kasur ke rumah sakit.”
“Eh tadi aku mikir kalau kamu nggak bisa jalan, aku gendong sekalian kasurnya biar tetap nyaman,” ucap Devan serius tapi malah bikin Nina terpingkal.
Devan lalu mengelus perut Nina sambil berkata pelan, “Dedek, kamu tuh bikin Ayah hampir botak karena panik. Tapi makasih ya… kamu udah gerak... itu tandanya kamu kuat dan sehat...”
Nina yang mendengar kata-kata itu menatap Devan dengan mata berbinar. Di tengah kehebohan, rasa cinta dan haru kembali mengisi kamar mereka.
Dan malam itu, meski awalnya dimulai dengan kepanikan, ditutup dengan tawa, canda, dan pelukan hangat dari pasangan yang semakin siap menjadi orang tua.