Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Langit Singapura pagi itu cerah. Angin dari Marina Bay berhembus lembut, menyapa para peserta konferensi Women of the Future Asia yang datang dari berbagai negara—pemimpin bisnis, aktivis, akademisi, hingga seniman dan pejuang akar rumput.
Di antara kerumunan itu, berdiri seorang perempuan dengan kain batik tulis bercorak mega mendung dan blouse putih polos. Wajahnya tenang, tapi jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Itulah Dewi Ayu Ningrat.
Di belakang panggung, Dewa menatapnya diam-diam.
Ia tahu, hari ini bukan sekadar pidato. Ini adalah pertempuran.
Melawan luka. Melawan penghakiman. Dan terutama, melawan ketakutan.
---
[Ballroom – Dalam Konferensi]
Moderator memperkenalkan Dewi dengan hangat, menyebut namanya sebagai sosok muda yang berani, yang kisahnya telah menginspirasi perubahan di media sosial hingga dunia mode.
Tepuk tangan terdengar.
Dewi berdiri, melangkah ke podium.
Ia menatap hadirin: puluhan mata dari berbagai latar, usia, dan bangsa.
Lalu ia mulai berbicara.
---
> “Saya lahir sebagai Dewi Ayu Ningrat.
Sebuah nama yang indah, tapi juga berat.
Sejak kecil, hidup saya diatur. Dikatakan, sebagai keturunan bangsawan, saya punya tanggung jawab menjaga nama. Tapi yang tidak mereka ajarkan adalah… bagaimana menjaga hati sendiri.”
> “Saya pernah dijodohkan. Bukan karena cinta. Tapi karena bisnis.
Saya pernah dibungkam, difitnah, bahkan hampir menyerah.
Tapi saya juga pernah kabur, tertawa, jatuh cinta… dan bangkit.”
> “Saya bukan perempuan sempurna.
Tapi saya perempuan yang menolak tunduk pada takdir yang ditulis orang lain.”
> “Kini saya berdiri di sini. Bukan karena saya tidak pernah gagal. Tapi karena saya tidak pernah menyerah untuk mencintai diri saya—dan perempuan-perempuan lain yang masih mencari suaranya.”
---
[Ruangan hening… lalu meledak dalam tepuk tangan]
Beberapa peserta menangis. Sebagian berdiri.
Kamera media menangkap ekspresi Dewa yang duduk di deretan depan—matanya berkaca-kaca.
Saat Dewi kembali ke belakang panggung, Dewa langsung menyambutnya.
“Luar biasa,” bisik Dewa, memeluknya singkat. “Kamu menyelamatkan lebih banyak orang daripada yang kamu tahu.”
Dewi hanya tersenyum, bibirnya bergetar. “Aku… lega. Rasanya seperti melonggarkan rantai di dadaku sendiri.”
---
[Malam hari – Kamar hotel Dewi dan Dewa]
Dewi duduk di balkon, menatap kota dengan lampu-lampu yang menyala seperti bintang. Dewa datang membawa teh panas.
“Kamu hebat hari ini,” katanya pelan.
“Kamu sudah bilang itu tiga kali.”
“Dan akan aku ulang seribu kali kalau perlu.”
Mereka tertawa kecil.
Kemudian hening, tapi bukan hening yang canggung—melainkan tenang. Nyaman.
Sampai akhirnya Dewi berkata lirih, “Dewa… Aku siap.”
“Siap?”
“Untuk langkah selanjutnya. Untuk hidup bareng kamu. Tanpa bayang-bayang. Tanpa rahasia.”
Dewa menatapnya lekat.
“Kalau begitu… setelah kita pulang, kita siapkan semuanya. Tapi kali ini, pernikahan itu bukan untuk keluarga. Bukan untuk tradisi. Bukan untuk bisnis…”
“Untuk kita,” sambung Dewi.
Dewa tersenyum. “Untuk kita.”
---
Namun saat mereka tertidur malam itu dengan damai…
Seseorang di Jakarta sedang menyiapkan rencana baru.
Seorang dari keluarga Wicaksono—yang merasa kehilangan kekuasaan, kehilangan warisan, dan kehilangan kendali atas nama besar mereka.
> “Kalau pernikahan itu sampai terjadi,” suara laki-laki itu tajam di ujung telepon, “hancurkan dia. Hancurkan Dewi Ayu Ningrat.”
Bandara Soekarno-Hatta ramai seperti biasa. Tapi ada yang berbeda di antara langkah-langkah lelah para penumpang malam itu. Dua orang berjalan berdampingan tanpa banyak bicara—namun senyum mereka cukup untuk menjelaskan segalanya.
Dewi Ayu Ningrat dan Dewa Satria.
Tidak ada sambutan meriah. Tidak ada wartawan. Tidak ada keluarga yang menjemput.
Mereka hanya pulang… sebagai dua insan yang saling memilih.
Dan mereka tahu: langkah selanjutnya adalah pernikahan.
---
[Tiga Minggu Kemudian – Rumah Naya]
“Jadi kalian serius mau nikah di studio bekas tempat pertama desain Kala Kita dibuat?!” seru Naya sambil menatap Dewi yang sedang menjahit pinggiran kebayanya sendiri.
Dewi tertawa kecil. “Iya lah. Justru itu tempat paling bersejarah buat aku dan Dewa.”
“Ya Tuhan. Nikah pertama dalam sejarah yang kebayanya dijahit sendiri pakai mesin jahit tangan,” gerutu Naya. “Kenapa nggak pakai butik mahal?”
Dewi menoleh sambil tersenyum. “Karena ini bukan soal mewah. Ini soal makna.”
Naya mendesah panjang, tapi diam-diam matanya berkaca-kaca.
Sahabat gila yang dulu kabur dari rumah karena dijodohkan—sekarang duduk menjahit bajunya sendiri untuk pernikahan yang ia pilih sendiri.
---
[Sementara itu – Kantor Dewa]
Dewa menandatangani beberapa dokumen pengalihan nama. Surat legal menyatakan bahwa secara administratif, ia tidak lagi terkait dengan keluarga Wicaksono.
“Mas Dewa,” ujar asistennya pelan, “dari pihak keluarga… ada yang mengirim undangan ‘rapat keluarga mendesak’. Mereka tahu soal pernikahan.”
Dewa diam sejenak.
“Bilang aku tidak akan datang,” katanya dingin.
“Dan kalau mereka datang ke pernikahan, Mas?”
Dewa tersenyum tipis. “Mereka akan datang sebagai tamu, bukan pemilikku.”
---
[Sehari Sebelum Pernikahan – Studio Kala Kita]
Tempat itu sudah berubah. Dulu gudang kosong berdebu, kini dihias dengan bunga liar, kain tenun, lampu gantung sederhana, dan meja panjang kayu tempat makanan rumahan akan dihidangkan.
Dewi berdiri di tengah ruangan, memejamkan mata.
Ia menghirup aroma mawar dan melati, lalu membuka mata dengan perlahan. Di depan sana, altar kecil terbuat dari kayu daur ulang. Di belakangnya: kain batik yang ia rancang sendiri, bertuliskan aksara Jawa:
> “Tresno ora meksa — cinta tidak memaksa.”
Naya datang membawa box kecil.
“Ini maharnya,” katanya sambil menyerahkan bungkusan beludru biru tua.
Dewi membukanya. Di dalamnya, sebuah peniti emas berbentuk bunga kenanga.
“Bukan berlian. Tapi…” Naya tersenyum.
“...benda yang menahan kain pertama yang aku pakai waktu kabur dari rumah,” lanjut Dewi, matanya berkaca-kaca. “Ini... simbol kebebasanku.”
---
[Hari Pernikahan – Pagi Hari]
Dewi mengenakan kebaya putih gading dengan sulaman tangan yang halus. Rambutnya disanggul rendah. Tidak berlebihan. Tidak glamor.
Dewa mengenakan beskap berwarna abu-abu lembut. Di kerahnya, ada bros kecil: lambang Kala Kita.
Tamu yang hadir? Tak sampai lima puluh orang.
Naya, beberapa sahabat sesama desainer, komunitas perempuan pengrajin, dan anak-anak dari yayasan tempat mereka mengajar.
Tidak ada nama besar. Tidak ada jurnalis.
Namun ketika Dewi melangkah memasuki ruangan itu, semua yang hadir berdiri.
Termasuk—tanpa terduga—seorang pria tua di pojok ruangan.
Ayah Dewa.
Ia tak bicara apa pun. Tak mendekat. Tapi ia hadir. Dan itu cukup.
---
Sebelum prosesi ijab qabul dimulai, suasana sempat hening ketika sosok pria paruh baya memasuki studio. Rambutnya sudah beruban, namun sorot matanya masih tegas—ayah Dewi, Bapak Surya Ningrat, datang.
Dewi yang saat itu sedang didandani terdiam. Ia tak menyangka.
“Papa..... Mama?” bisiknya pelan.
Pria itu menatap putrinya, lalu menarik napas.
“Maafkan Papa dan mama. Karena terlalu lama dan terlambat "
Air mata Dewi mengalir.
Papa Surya kemudian mendekat, menggenggam tangan putrinya.
“Aku datang bukan sebagai tamu. Aku datang sebagai ayah… dan wali.”
Dewi hanya bisa mengangguk, lalu sang mama hanya bisa menangis dan memeluk Dewi
Dewi Tak perlu banyak kata. Hatinya yang dulu merasa diabaikan, kini menemukan restunya.
---
🕌 Prosesi Ijab Qabul
Suasana sakral memenuhi ruangan. Dewa duduk bersila, sementara di hadapannya, Bapak Surya Ningrat sendiri yang menjadi wali nikah Dewi.
“Saya nikahkan engkau, Dewa Satria Wicaksono bin Haryo Wicaksono, dengan putri kandung saya, Dewi Ayu Ningrat, dengan mahar peniti emas dan kain batik tulis, dibayar tunai.”
Dewa menjawab tegas,
“Saya terima nikahnya Dewi Ayu Ningrat binti Surya Ningrat dengan mahar tersebut, dibayar tunai.”
“Sah.”
“Sah.”
“Sah.”
Terdengar suara para saksi dan hadirin menyambutnya dengan haru.
---
[Setelah Acara – Sore Hari]
Dewi dan Dewa duduk di tangga luar studio, menatap langit yang mulai jingga.
“Pernikahan kita... nggak heboh ya,” gumam Dewi pelan.
Dewa tertawa. “Dan itu yang paling aku suka. Nggak ada dusta, nggak ada drama.”
Dewi menatapnya. “Jadi, sekarang kita mulai dari mana?”
“Dari mimpi yang belum selesai,” jawab Dewa. “Dari kain yang belum dijahit. Dari luka yang sudah jadi kekuatan.”
Dewi bersandar di bahunya. “Dan dari cinta yang kita pilih, bukan yang dipaksakan.”
Dewa mengecup keningnya.
Matahari terbenam. Hari baru dimulai.
bersambung