Rui Haru tidak sengaja jatuh cinta pada 'teman seangkatannya' setelah insiden tabrakan yang penuh kesalahpahaman.
Masalahnya, yang ia tabrak itu bukan cowok biasa. Itu adalah Zara Ai Kalandra yang sedang menyamar sebagai saudara laki-lakinya, Rayyanza Ai Kalandra.
Rui mengira hatinya sedang goyah pada seorang pria... ia terjebak dalam lingkaran perasaan yang tak ia pahami. Antara rasa penasaran, kekaguman, dan kebingungan tentang siapa yang sebenarnya telah menyentuh hatinya.
Dapatkah cinta berkembang saat semuanya berakar pada kebohongan? Atau… justru itulah awal dari lingkaran cinta yang tak bisa diputuskan?
Ikutin kisah serunya ya...
Novel ini gabungan dari Sekuel 'Puzzle Teen Love,' 'Aku akan mencintamu suamiku,' dan 'Ellisa Mentari Salsabila' 🤗
subcribe dulu, supaya tidak ketinggalan kisah baru ini. Terima kasih, semoga Tuhan membalas kebaikan kalian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit lagi...
"Ray! Waktu kita tinggal sedikit! Ayo cepet, kalau nggak kita tinggal!" seru salah satu teman Ray dari arah meja piknik.
Ray menatap adiknya. "Udah, Zara. Kamu pergi sekarang. Jangan ganggu abang dulu."
"Ayo kita makan bekalnya bareng, Bang~"
"Ugh! Malahan," Ray langsung menunjuk dahinya dengan telunjuk keras. Tatapannya serius.
"Denger ya, adik tengil. Sudah berapa kali abang bilang, jangan gangguin abang di kampus. Ini bukan TK. Kamu tuh... cari kesibukan sendiri, gitu loh. Ke perpus kek, belajar. Atau nongkrong bareng temenmu. Jangan nguntit abang terus ke mana-mana."
"Tapi... Zara cuma punya abang..."
"Zara!" bentak Ray, suaranya tajam.
"Hiks..."
"Nggak usah manja. Jangan nangis."
"Hiks... hiks..."
"ZARA!"
"ABANG JAHAT! RAY SOMBONG! RAY T*LEK BEBEK!!" Dengan mata basah, Zara menggigit lengan Ray dan menendang kaki kakaknya cukup keras, lalu lari menjauh dengan isakan yang pecah di udara.
"ADUDUYY! Ya ampun!" Ray sampai melompat kecil sambil megang kaki juga lengan. "Sakit juga. Huh. Tapi... ya sudahlah. Setidaknya dia pergi. Nggak apa-apa nangis dikit, nanti juga reda sendiri."
Dia berusaha tenang, meski sesungguhnya dadanya agak sesak. Ray tahu, dia kelewatan, tapi gengsinya terlalu tinggi untuk minta maaf duluan.
Namun sebelum ia kembali ke teman-temannya, langkah Ray dihentikan...
Haru.
Dengan ekspresi tenang, mata itu menyiratkan ketegasan. "Ray, harusnya lo nggak gituin adik lo."
Ray mendengus, "Haru, jangan ikut campur. Gue sibuk. Nggak ada waktu."
Haru mengambil bekal dan tumbler dari tangan Ray. "Gue cuma nggak mau lo nyia-nyiain kasih sayang yang udah dia buang-buang buat lo."
"Jangan drama."
"Gue serius. Dan kalau lo tetap gitu terus ke Zara..." Haru menatap lurus ke mata Ray, tajam tapi tetap kalem, "...gue nggak akan ragu buat jadi pelindung barunya." Haru pergi membawa bekal dan tumbler itu dengan tenang.
Ray terdiam.
Untuk pertama kalinya, dia benar-benar dibuat bingung oleh Haru. "Apa maksudnya?"
Saat mencari Zara di sekitar taman belakang kampus, Haru justru menemukan pemandangan yang menjijikkan. Danish tengah berc*mbu dengan seorang mahasiswi seksi di antara celah lorong sepi, di balik deretan vending machine yang jarang dilewati.
Ketika Danish menyadari kehadiran Haru, ia buru-buru membenarkan pakaiannya yang kusut dan membuka pelukan si wanita.
"Astaga, Haru. Kenapa lo bisa lewat sini sih?" ujarnya tergesa, mencoba mengembalikan wibawanya yang sempat luntur.
Haru hanya menatap dengan pandangan datar. "Nggak perlu panik. Gue nggak peduli sama kelakuan menjijikkan lo." Tatapannya sempat menyapu si wanita. Selalu jengan dengan sikap Danish yang tak pernah berubah.
"Baguslah. Gue lega."
Haru hendak melangkah pergi, tapi suara Danish menahannya. "Aaah... sepertinya Ray itu cowok paling bodoh yang pernah gue kenal. Bukan begitu, Haru?"
Langkah Haru terhenti.
"Bayangin, dia bakal cabut ke Inggris dan ninggalin adiknya sendirian di sini. Bukankah itu kesempatan emas buat gue?" Danish menyeringai penuh rencana besar.
"Sesama pembenci Ray, bukankah elo juga ngerasa senang? Gue bakal hancurin hidup adiknya. Perlahan. Menyelusup ke celah paling lembut di hatinya."
Haru masih diam di tempat. "Gue nggak akan ikut campur," kata Haru dengan nada dingin.
Danish menyipitkan mata, puas karena mengira Haru tak akan menghalangi. "Bagus. Karena rencana gue sedang berjalan. Gue udah nyuruh orang bikin sekelompok fans fanatik yang norak dan rese, tujuannya bikin Zara nggak nyaman. Dan nanti, gue akan jadi pahlawannya. Pelindungnya. Si ‘abang baik hati’ yang dulu pernah dia ucapkan."
Si wanita terkikik, tangannya mengelus dada Danish. "Pintar banget kamu... Nanti kamu punya mainan baru, ya?"
Danish menatap pacarnya dengan n*fsu dan gumam rendah, "Dia bakal lebih dari sekadar mainan."
Dan saat itulah...
DUUAKK!
Tinju Haru melayang cepat. Mendarat tepat di batang hidung Danish. Suara retakan kecil terdengar, dan darah langsung mengalir dari lubang hidung yang terangkat kaget dan roboh ke lantai.
"AAAAA!!" Wanita itu menjerit dan jatuh terduduk, syok dan ketakutan.
Danish meringis sambil menutupi hidungnya, "Sialan! Haru! Apa-apaan lo?! Hidung guee... hidung seksi gueee... Darah? Daraahhh..."
Haru mengibaskan tangannya seolah baru saja menyingkirkan sesuatu yang menjijikkan. "Ah, tangan gue gatal. Rupanya emang harus nonjok muka lo dari tadi."
Ia mendekat sekali lagi, menunduk.
"Anggap itu peringatan pertama. Sekali lo berani sentuh Zara. Gue pastikan, tangan lo aja bisa gue lapas dari tempatnya."
Lalu Haru pergi, meninggalkan lorong yang kini dipenuhi bau darah dan ego yang hancur.
Saat Ray tengah sibuk membantu proyek praktikum bersama teman-teman satu timnya, hatinya terasa tak tenang. Sekalipun ia dikelilingi laptop, kabel, dan catatan riset, ada sesuatu yang mengusik nuraninya.
Sebuah rasa yang meremas dadanya pelan, membuat fokusnya terbelah. Ia mengusap dada bagian kirinya, mencoba meredakan sesuatu yang tak terlihat. "Ayolah, Zara... tenanglah," gumamnya lirih. Seakan hatinya tersambung langsung pada adiknya. Ia tahu, Zara sedang menangis.
Dan benar.
"Hiks..."
"Hiks..."
Di sudut kampus yang sepi, di atas tanah coklat berselimut rerumputan hijau yang mulai mengering, Zara duduk meringkuk. Kakinya terlipat, dan tubuhnya bergetar dalam pelukan dirinya sendiri. Air mata tak berhenti membasahi pipi. Sesekali ia menyeka kasar dengan lengan baju, tapi tangis itu tak jua reda.
"Mama..." bisiknya pilu. "Kenapa sih Zara harus lahir kalau akhirnya cuma bikin abang marah terus?"
Ia menunduk, mencakar tanah dengan jarinya. "Zara tuh cuma pengin deket. Cuma pengin diajak main... Tapi abang selalu bilang Zara pengganggu. Aneh. Tiap kali Zara mau ikut main sama temennya, pasti dilarang. Zara cuma pengen deket... deket banget sama abang..."
Ia tersedu, tangisnya semakin pecah. "Huhu... Hiks. Abang tuh dunia Zara, Ma... Dulu waktu kecil, abang sering gendong Zara, bilang sayang dan selalu ngelindungin. Tapi sekarang... dia jauuh. Sibuk terus sama orang lain. Dia nggak lihat Zara lagi..."
Ray adalah satu-satunya matahari yang pernah Zara kenal sejak kecil. Tapi perlahan, matahari itu bergerak menjauh, meninggalkannya dalam bayang-bayangnya sendiri.
Meski Mama dan Papanya sayang, Ray lah yang selalu ada untuk Zara. Langkah mereka dulu sejajar. Kini, Zara tak lagi sanggup mengejarnya, menatap punggung yang tak bisa lagi dia kejar.
Zara memeluk lututnya. "Zara takut... Zara nggak mau abang pergi. Kalau abang ke luar negeri dan ninggalin Zara... siapa lagi yang bisa jagain Zara?"
Ia memeluk lututnya lebih erat. Suara hatinya lirih, patah. "Aku... benci. Aku benci!! Ray udah nggak mau lihat aku. Nggak mau lihat..."
"Zara..."
Langkah kaki yang tengah mencari itu akhirnya berhenti. Sorot mata tajamnya melembut.
Namun begitu mendengar namanya dipanggil, Zara sontak pura-pura sibuk. Dengan gerakan dramatis, ia menepuk-nepuk tanah. “Waduduy, koin seratus ribu aku jatuh kemana ya... Aduyy, kemanaa wooyyy…” lirihnya, mencoba terlihat konyol, padahal ujung matanya masih basah.
Akting ceroboh itu tak bertahan lama. Sebab tangis yang ia tahan-tahan tadi malah berubah jadi cegukan.
“Hik…”
Satu cegukan keluar.
“Hik… hik…”
Zara terdiam.
Haru juga.
Seakan seluruh dunia tahu, kalau saat hati sedang rapuh, tak ada kedok yang benar-benar bisa menyembunyikan luka. Gadis ini sedang menyembunyikan dunia yang sedang runtuh di balik senyum lucunya.
../Facepalm/