Selama lima tahun pernikahan, Niken dan Damar tampak seperti pasangan sempurna di mata semua orang. Di balik senyum yang mereka pamerkan, ada luka yang mereka sembunyikan—ketidakmampuan untuk memiliki anak. Niken tetap bertahan, meski setiap bisikan tajam dari keluarga mertua dan orang sekitar menusuk hatinya.
Hingga badai besar datang menghantam. Seorang wanita bernama Tania, dengan perut yang mulai membuncit, muncul di depan rumah mereka membawa kabar yang mengguncang, dia adalah selingkuhan Damar dan sedang mengandung darah dagingnya. Dunia Niken seketika runtuh. Suami yang selama ini ia percayai sepenuh hati ternyata menusuknya dari belakang.
Terseret rasa malu dan hancur, Niken tetap berdiri tegak. Demi menjaga nama baik Damar dan keluarganya, ia dengan pahit mengizinkan Damar menikahi Tania secara siri. Tapi ketegarannya hanya bertahan sebentar. Saat rasa sakit itu tak tertahankan lagi, Niken mengambil keputusan yang mengguncang. Ia memutuskan untuk bercerai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoungLady, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Suasana ruang tamu sore itu berubah mencekam. Langit mendung di luar seolah ikut menekan atmosfer dalam rumah keluarga Hartono. Bastian berdiri tegak, tangan mengepal di sisi tubuhnya, sementara ayahnya, Cristian, duduk di sofa dengan wajah tegang. Lavender, ibunya yang berparas blasteran Indo-Jerman, berdiri tak jauh dari mereka, tangan bersilang di dada.
“Kau serius dengan wanita itu?” suara Cristian berat, dingin, dan sarat nada tidak percaya. “Janda, Bastian. Janda! Kamu masih muda, tampan, punya segalanya. Tapi kenapa memilih jalan yang aneh?”
Bastian menelan ludah. “Karena aku mencintainya, Ayah.”
“Cinta?” Lavender menyambar, suaranya naik satu oktaf. “Cinta tidak buta, Bastian. Cinta juga harus logis. Wanita yang sudah gagal dalam pernikahan sebelumnya, bisa saja gagal lagi. Kau yakin dia akan bisa menjadi istri yang baik?”
“Itu kejam, Bu,” sahut Bastian dengan napas memburu. “Kalian bahkan belum bertemu dengannya. Belum mengenalnya. Hanya karena statusnya sebagai janda, kalian langsung menolaknya?”
Lavender mengerang pelan, seperti sedang menahan amarah. “Aku hanya khawatir, sayang. Kamu tahu sendiri, dunia ini penuh wanita cantik, muda, single. Kamu punya banyak pilihan. Kenapa harus dia? Kenapa harus seorang janda?”
Cristian mengangguk setuju. “Kami hanya ingin yang terbaik untukmu, Bast. Jangan tersinggung. Kami tahu kamu emosional, tapi coba pikirkan masa depan. Wanita itu sudah punya masa lalu.”
“Dan aku juga akan menjadi masa lalunya yang baru—jika kalian terus memperlakukan dia seperti ini!” seru Bastian lantang. Matanya merah menahan marah dan sedih. “Niken bukan perempuan sembarangan. Dia wanita kuat, lembut, dan penuh kasih. Dia tidak pantas dihakimi hanya karena dia pernah gagal.”
“Kau terlalu terbawa perasaan,” desah Lavender sambil menggeleng. “Kami hanya minta kau berpikir dua kali.”
“Aku sudah berpikir seribu kali, Bu.” Bastian mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Dan aku tetap memilih Niken. Tapi aku juga anak kalian. Aku ingin kalian mengenalnya sebelum membuat penilaian yang menyakitkan.”
Cristian mendengus, menatap istrinya yang masih memeluk dirinya sendiri dengan cemas. Ada jeda sesaat, sunyi, sebelum Bastian melanjutkan dengan suara lebih tenang.
“Berikan aku satu kesempatan. Biarkan aku mengajaknya makan malam bersama kalian. Satu malam saja. Kalian lihat sendiri siapa dia. Kalau setelah itu kalian masih tidak suka, aku akan mendengarkan... meski tak janji akan berubah pikiran.”
Cristian dan Lavender saling pandang, saling bertanya dalam diam. Akhirnya, dengan helaan napas berat, Cristian mengangguk. “Baiklah. Ajak dia. Tapi jangan salahkan kami kalau penilaian kami tidak berubah.”
Lavender menatap anak lelakinya, matanya tak lagi setajam tadi. “Aku harap kamu tidak salah menilai, Bastian.”
“Aku tidak salah. Aku yakin.” Bastian menatap mereka dengan mata penuh tekad. Dalam hatinya, dia sudah berjanji: malam makan malam itu akan membuktikan semuanya.
***
Ponsel Niken bergetar pelan di atas meja belajarnya. Sebuah pesan dari Bastian masuk, singkat tapi langsung membuat jantungnya berdebar dua kali lebih cepat dari biasanya.
“Sayang, besok malam jam 7 orangku jemput ya. Kita dinner sama Ibu dan Ayahku. Mereka baru pulang dari Jerman.”
Pesan itu seperti petir di siang bolong. Tangannya refleks menaruh ponsel, matanya membelalak, dan bibirnya menganga tak percaya. 'Dinner? Sama orangtuanya? Yang bule itu? Astaga!'
Niken menatap bayangannya di cermin. “Aku belum siap,” gumamnya panik. Rambutnya masih acak-acakan karena tadi sempat tertidur setelah menyelesaikan kerjaan freelance. Bertemu orangtua Bastian, yang notabene pasangan ekspatriat kaya raya sekaligus pemilik perusahaan parfum ternama, bukan hal sepele. Ini bukan sekadar makan malam, ini momen besar—penilaian pertama.
Tapi Niken tahu, ia tak mungkin menolak. Ia tak mau membuat Bastian kecewa. Meski rasa panik menjalar di sekujur tubuhnya, ia mengangguk pada diri sendiri. “Aku harus datang.”
Langkahnya langsung menuju lemari. Ia membuka pintu dan mengamati koleksi bajunya satu per satu. Dress bunga-bunga midi? Terlalu santai. Kemeja putih dan rok span? Terlalu formal. Gaun hitam? Hmm… terlalu gelap. Ia menarik napas frustasi. Tak ada satupun yang terasa *pas*. Ia ingin terlihat sopan tapi tetap elegan, sederhana tapi tak murahan.
Mata Niken menangkap ponselnya di meja. Ia meraih benda itu dan membuka akun Instagram butik milik temannya, Asha. Setelah menelusuri beberapa foto, akhirnya matanya tertumbuk pada sebuah dress dusty pink dengan potongan A-line, lengan puff transparan, dan detail bordir halus di bagian dada. *Ini dia,* pikirnya.
Tanpa ragu, ia langsung mengirim pesan pada Asha.
“Sha, bisa tidak dress dusty pink yang kamu post kemarin itu aku pesan? Aku butuh banget buat besok. Tolong antar ke rumah sebelum jam 10 pagi, ya. Please!!"
Tak lama, Asha membalas dengan emot peluk dan kata "Siap!" yang membuat Niken sedikit tenang.
Satu masalah selesai, tapi belum semua. Ia kemudian membuka aplikasi toko online favoritnya dan mencari sepatu heels berwarna senada. Ia memilih yang modelnya simple, tidak terlalu tinggi, dan pastinya nyaman dipakai semalaman. Untungnya, ada toko yang menyediakan pengiriman ekspres. Ia langsung check-out dan menulis catatan khusus agar pesanan sampai besok pagi.
Setelah semua urusan selesai, Niken menjatuhkan diri ke tempat tidur dan menatap langit-langit kamar. Dadanya masih sesak oleh campuran cemas dan antusias. Untuk pertama kalinya, ia merasa repot sekali hanya demi bertemu orangtua pacarnya. Tapi di sisi lain, ada rasa hangat yang muncul. Mungkin ini pertanda bahwa hubungannya dengan Bastian mulai memasuki fase yang lebih serius.
Niken menatap ponselnya lagi, membaca ulang pesan dari Bastian, lalu membalas, “Oke, aku siap. Sampai besok malam.”
Dan semoga, dia benar-benar siap.
Bersambung .....