Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Gadis berbulu mata lentik itu seketika menoleh, dan mendapati Fadli berdiri di depannya dengan kaus putih polos tanpa lengan dan celana olahraga. Otot lengannya tampak jelas dengan dada bidang ikut tercetak jelas di sana. Dengan potongan rambut cepak seperti itu, Fadli tampak seperti Om-om militer yang memiliki pesona dan gagah.
"Om Fadli."
Naomu meringis. Dia tak menyangka jika bisa bertemu Fadli di sini. Ah, memang dunia sesempit itu.
"Kamu sendiri?"
Fadli duduk di samping Naira tanpa diminta. Lelaki itu menyandarkan punggungnya pada kursi yang juga ditempati Naira.
"Enggak, Om. Tadi sama temen."
"Mana temennya?" Fadli melihat ke kanan dan ke kiri, tidak mendapati teman yang Naira maksud.
"Oh, masih beli minum."
Fadli mengangguk mengerti.
"Kamu sering kemari hari Minggu?" Fadli menatap penuh ke arah Naira. Gadis yang selalu secara kebetulan bertemu dengannya ini seakan-akan tak pernah kehabisan daya tarik untuk menarik perhatiannya.
Wajahnya yang selalu segar, tak menunjukkan sikap yang dibuat-buat. Cantiknya alami. Dan yang paling penting Naira menganggapnya biasa saja. Tak seperti gadis SMA kebanyakan yang selalu mencari cara untuk mendapatkan perhatiannya. Terkadang memang anak SMA zaman sekarang malah mencari mangsa pria yang usianya jauh lebih matang demi memenuhi kebutuhan jajan mereka.
Naira menggeleng lemah.
"Enggak, Om. Hanya tadi dipaksa buat ikut. Padahal masih enak-enak tidur." Dia terkekeh kecil dengan menyipitkan mata.
"Sayang sekali. Padahal kalau setiap Minggu kamu kemari, kita bisa sering bertemu." Fadli malah menunjukkan sikap yang persuasif, lebih agresif memperlihatkan ketertarikannya.
"Siapa yang sering bertemu?" Artha tiba-tiba datang dengan membawa sebotol air mineral di tangan.
Fadli menoleh, melihat Artha yang datangdatang memotong pembicaraan.
"Oh, jadi ini temen kamu yang beli minum?" Fadli bertanya kepada Naira, tetapi tatapannya mengarah pada Artha. Dia beranjak dari posisi duduk, lalu berdiri dengan tubuh menjulang. Nyaris sama tingginya dengan Artha.
"Beli minum kok cuma satu? Kamu enggak ada duit?"
Artha tersenyum miring. Om-om satu ini sepertinya hendak mencari muka di depan Naira. Sok menunjukkan kekayaan hanya dengan sebotol minuman. Namun, tentu Artha tidak cepat merasa tersaingi. Dia cukup licik memberi jawaban.
"Mengapa harus beli dua jika Naira nggak keberatan minum di botol yang sama denganku. Iya, kan, Nai?" Artha berkata tanpa melepaskan senyum menyebalkan di wajah. Terlihat sekali jika lelaki itu sedang menantang pria dewasa di depannya.
"Eh, apa, Ta?" Naira malah bingung dengan perkataan Artha. Kalimat yang Artha ucapkan selalu terdengar ambigu.
"Jika beli minum saja enggak sanggup, sebaiknya pikir-pikir lagi kalau mau ngajak anak orang keluar. Jangan sampai anak orang kelaperan karena kamu nggak ada duit buat ngasih makan."
Fadli masih berusaha bersikap wajar, meski sebenarnya dia sudah teramat panas dengan perkataan Artha.
"Oh, tenang aja Om. Naira seneng-seneng aja kok meski kita makan sepiring berdua. Lagi pula, enggak selamanya cewek suka makan. Kadang mereka suka hal lain selain diborongin makanan."
Jelas saja Fadli merasa tersindir. Karena terakhir kali bertemu Naira dia memborong makanan untuk diberikan kepada gadis itu.
"Maksudmu apa?"
Naira yang melihat suasana makin memanas berusaha melerai.
"Kok jadi bertengkar, sih? Kalian sedang ngebahas apa? Mengapa jadi marah-marah?"
Artha terkekeh, lalu menarik tangan Naira.
"Nggak ada. Pulang, yuk, Nai. Emang kalau sama orang tua adanya suka marah-marah."
"Eh, apa?"
Belum sempat Naira berkata, Artha sudah menarik tangannya. Dengan wajah bingung, Naira mengangguk pada Fadli sebagai tanda berpamitan. Melihat bagaimana sikap Artha pada Naira, cukup membuat lelaki itu penasaran. Apa sebenarnya hubungan Artha dan Naira sehingga keduanya kerap kali jalan bersama?
Bukan pulang ke rumah Naira seperti apa yang Artha katakan. Lelaki itu mengajak Naira pulang ke rumahnya. Terkait perkataan Naira sebelumnya yang mengatakan jika Ravindra dan Siena sangat kehilangannya, dan tampak sedih ketika dirinya pergi. Sebagai anak berbakti, mana mungkin Artha tega melihat mamanya bersedih, bukan?
Naira mengulum senyum. Tentu melihat Artha kembali pulang bisa menghidupkan kembali suasana rumah. Walaupun Siena dan Ravindra tak pernah mengatakannya, tetapi Naira bisa melihat rasa kehilangan di mata kedua orang tua angkatnya itu.
"Artha!"
Di detik Artha masuk ke dalam rumah itu, suara Siena langsung menyambutnya. Perempuan paruh baya berlari dari dalam rumah, menghampiri Artha yang baru selangkah masuk ke ruang tamu.
"Mama!"
Seperti tidak bertemu lama, Siena memeluk Artha erat. Ya, serindu itu Siena pada anak sulungnya. Bagaimanapun sikap Artha di luar sana, bagi Siena Artha adalah anak terbaik yang selalu ada di hatinya.
"Maafin Artha, ya, Ma! Artha udah ngebuat Mama sedih dan cemas."
Siena menggeleng, lalu mencium kening Artha gemas.
"Jangan kabur-kabur lagi. Kasihan Naira kesepian nggak ada kamu."
Wajah Naira memerah seketika. Bisa-bisanya dia dijadikan alasan. Padahal dengan jelas kedua mertuanya juga merasa kesepian tanpa kehadiran Artha di rumah ini.
"Papa ke mana? Kok nggak kelihatan?"
Siena menggeleng. Dia tetap mempertahankan Artha dalam rengkuhannya.
"Papa pagi-pagi sekali keluar kota untuk beberapa hari. Ada urusan pekerjaan."
"Lalu Nova?"
Ya, adik bungsunya yang cerewet itu juga tidak kelihatan batang hidungnya
"Nova semalam nginep di rumah Opa. Jadi Mama sendirian. Kalian belum sarapan, kan? Ayo, makan dulu!"
Siena mengajak anak dan menantunya ke meja makan. Hidangan yang tampak lezat membuat nafsu makan Artha bergelora. Beberapa hari hidup di luar tanpa bekal yang memadai membuat perutnya selalu menahan lapar. Ah, kalau sudah begini dia menjadi lebih menghargai apa yang namanya makanan. Tidak mungkin menyia-nyiakan anugerah Tuhan yang satu itu karena sudah pernah merasakan kelaparan di luar sana.
Hanya dalam waktu sepuluh menit, menu sepiring makanan berat itu tandas tak bersisa. Naira menggeleng, melihat perubahan Artha yang cukup drastis.
"Untung lo makan di rumah. Coba kalau di rumah makan. Bisa malu gue di deket lo!" Naira terkekeh.
"Enggak mungkin lo malu deket gue. Gue kan ganteng. Mempesona. Adanya lo bangga kalau deket-deket gue!"
"Idihh, narsis."
Naira memutar bola mata malas mendengar perkataan Artha. Hingga terdengar suara dari arah ruang tamu, membuat Artha mengernyit heran.
"Artha, ada Julian nyariin kamu." Siena memanggil Artha dari arah ruang tamu.
Artha mendengus.
"Ah, Julian lagi. Pasti ini tentang Naira," gumamnya dalam hati
Sejak pagi dia dibikin kesal pada cowok-cowok yang ngedeketin Naira. Tunggu? Mengapa dia malah kesal kalau ada yang sengaja deketin Naira. Bukankah dirinya nggak punya perasaan apa-apa untuk Naira?
"Iya, Ma"
Belum sempat Artha beranjak dari meja makan, ternyata Julian malah masuk ke dalam, ikut duduk diantara Artha dan Naira.
"Hai, Nai. Makin cantik aja!"
Naira mengangkat kedua alisnya mendengar sapaan Julian. Sementara Artha merengut kesal.
"Lo kok bisa masuk?"
"Kan disuruh nyokap lo. Katanya sekalian makan sana!" Julian terkekeh kecil mengucapkannya.
"Cih!" Artha menyeruput air yang berada dalam gelas bening miliknya, lalu meletakkan kembali gelas kosong itu pada tempatnya.
"Tadinya gue pikir lo masih kabur dari rumah. Tapi saat lihat motor lo terparkir di luar, baru deh gue percaya diri untuk masuk." Julian mencomot udang krispy dan memasukkan ke dalam mulutnya tanpa izin.
"Gue ke sini mau ngasih tahu lo. Mesa baru saja kecelakaan. Dia dirawat di rumah sakit."
"Apa?"
Naira pun turut terkejut. Padahal semalam sebelum mencari Artha di rumah kontrakannya, Naira sempat bertemu Mesa. Dan sekarang gadis itu malah masuk rumah sakit? Sungguh hal yang sangat aneh, bukan?
****
Artha, Julian, dan Naira bergegas ke rumah sakit. Tentu untuk menjenguk dan melihat kondisi Mesa. Mengingat terakhir gadis itu baik-baik saja dan hari ini harus dirawat di rumah sakit membuat Naira merasa aneh. Apakah semalam Mesa keluar rumah setelah kepergiannya?
Dan terlihatlah di sana. Mesa tengah terbaring di atas brankar dengan beberapa perban membalut tubuh. Di bagian kepala, lengan terlihat banyak luka goresan yang masih baru.
"Artha!" Bibir mungil itu mengulum senyum begitu melihat kedatangan Artha. Namun, melihat sosok yang berdiri di samping Artha membuat senyum yang sempat tercipta redup seketika.
"Lo nggak bisa apa datang sendiri?" Mesa menatap tak suka ke arah Naira.
"Gue ngeganggu, ya? Ya, udah kalian ngobrol gih. Gue keluar du." Naira jadi merasa tidak enak. Namun, sepertinya hal itu urung dilakukan karena Artha menahan lengannya.
"Enggak. Nggak ada yang keganggu lo ada di sini." Artha menjawab tegas. Menyuruh Naira tetao duduk di sisi ranjang dekat kaki Mesa.
"Tapi, Ta?"
"Kita ke sini memang buat jenguk kan? Kalau lo di luar, lo mau jenguk siapa?"
Mesa menghela napas. Sepertinya sulit memisahkan Artha dan Naira. Namun, tentu dia tak kehilangan akal.
"Gue semalem nyariin lo. Setelah Naira pergi dari rumah gue, gue ikut nyariin lo. Tapi gue malah berakhir di sini. Gue ikut seneng lo ternyata baik-baik saja."
Julian yang berdiri di ujung brankar hanya melihat interaksi ketiga orang itu tanpa menyela. Artha menatap Mesa dengan tatapan suram, entah apa yang dipikirkan gadis itu sehingga mengakibatkan dirinya terluka sampai seperti ini.
"Lo harusnya nggak perlu sampai kayak gini. Gue baik-baik aja, kok?"
"Tapi gue peduli sama lo, Ta! Gue sayang sama lo!" jawab Mesa tanpa peduli akan banyak pasang mata yang tengah melihatnya
Entah mengapa, perkataan Mesa terasa sedikit menyesakkan hati Naira. Gadis itu kini menunduk, enggan melihat interaksi Artha dan Mesa. Walaupun dengan jelas dia tahu bahwa Artha memang suka sama Mesa, tetapi mengapa
rasanya tidak rela begini?
"Lo nggak ada hubungan apa-apa kan sama Naira, Ta? Gue tahu lo pasti masih sayang sama gue. Gue udah nyesel pernah nolak lo. Gue pengen balikan kayak dulu."
Jelas sudah tanpa basa-basi Mesa mengutarakan perasaan pada Artha. Naira memalingkan muka, ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, lagi-lagi tangan Artha menahannya.
"Gue juga masih sayang sama lo. Tapi gue nggak bisa ninggalin Naira."
"Apa?" Julian dan Mesa berkata hampir bersamaan. Jelas dalam sepengetahuan Julian, Naira dan Artha hanya memiliki hubungan saudara angkat. Tidak lebih. Lantas, mengapa Artha berkata seperti itu.
"Gue dan Naira sebenarnya sudah menikah."