NovelToon NovelToon
Pengantin Pengganti

Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pengantin Pengganti / Pelakor / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Persahabatan
Popularitas:3.8k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Jam menunjukkan pukul tujuh malam saat Rangga baru saja pulang ke rumah.

Bi Ina segera menghampirinya dan berkata dengan cemas,

"Den Rangga ,tolong bukakan pintu gudang,"

Barulah Rangga teringat dimana ia telah mengurung Nayla di dalam gudang sejak pagi.

Tanpa berkata apa-apa, Rangga bergegas menuju gudang dan membuka pintunya.

Di dalam sana, ia mendapati Nayla terbaring lemah di lantai, wajahnya pucat dan tubuhnya tampak lemas.

"Nayla ..." bisiknya lirih.

Tanpa membuang waktu, Rangga segera membopong tubuh sang istri dan membawanya ke kamar.

Sesaat kemudian, Bi Ina masuk membawa secangkir teh hangat di tangannya.

Rangga duduk di sisi ranjang, masih berusaha membangunkan Nayla dengan lembut.

Perlahan, kelopak mata Nayla mulai terbuka. Pandangannya kabur, namun ia bisa melihat sosok Rangga yang duduk di sampingnya.

"Non Nayla, silakan diminum dulu teh hangatnya," ucap Bi Ina lembut, membantu Nayla untuk duduk dan menyuapkan teh ke mulutnya.

"Terima kasih, Bi," ujar Nayla lemah namun tulus.

Melihat Nayla sudah mulai sadar, Rangga berdiri tanpa sepatah kata pun dan meninggalkan kamar.

Nayla hanya bisa menatap punggung suaminya yang menjauh.

“Sudah mengurungku seharian, bukannya minta maaf, malah pergi begitu saja,” gumamnya, kesal.

Ia menarik napas panjang. Hatinya semakin mantap dan ia tidak bisa terus bertahan dalam pernikahan seperti ini.

Rumah ini terlalu menyesakkan. Ia harus mencari jalan keluar, demi kebebasannya.

“Mas Jati… aku merindukanmu,” bisik Nayla pelan, air mata perlahan membasahi pipinya.

Hatinya terasa sesak. Sejak kecil, Nayla merasa hidupnya selalu dipenuhi pengorbanan—terutama demi Anita.

“Papa, Mama… aku rindu kalian ....," gumamnya lagi, tatapannya menerawang jauh ke masa lalu.

Ia masih ingat jelas kecelakaan itu. Saat kedua orang tuanya meninggal dunia, ia baru berusia delapan tahun.

Setelah tragedi itu, Om Farhan datang dan mengajaknya tinggal bersama.

Katanya, karena ia adalah sahabat karib kedua orang tua Nayla.

Tapi ternyata, rumah itu justru menjadi tempat ia kehilangan kebebasan.

Nayla dijadikan pembantu, diperintah sesuka hati, tanpa kasih sayang.

Lamunannya buyar ketika terdengar ketukan di pintu kamar.

“Iya, Bi? Ada apa?” tanya Nayla, mengira Bi Ina yang datang.

Namun yang berdiri di hadapannya adalah Rangga.

“Ada apa? Mau mengurungku lagi?” sindir Nayla tajam.

Rangga tak menanggapi pertanyaannya. “Ayo makan malam dulu,” ucapnya singkat.

Perut Nayla memang sudah keroncongan, meski hatinya ingin menolak.

Rangga lalu membopong Nayla ke ruang makan. Tanpa bicara, Nayla duduk dan mulai menyantap makanan yang disiapkan Bi Ina.

Tak ada obrolan antara mereka, hanya suara sendok dan piring yang terdengar.

Usai makan, Nayla langsung kembali ke kamarnya, tanpa menoleh.

Rangga hanya melirik sejenak, lalu menyusul masuk ke kamarnya sendiri.

Pagi harinya, Nayla menyapu halaman saat Rangga bersiap berangkat kerja. Lelaki itu menghampirinya.

“Tetap di rumah, ya,” katanya singkat.

Lalu ia menyodorkan tangannya. “Kamu tidak mau mencium tangan suamimu sebelum berangkat kerja?”

Nayla terdiam sesaat, lalu menunduk dan mencium tangan suaminya.

Begitu Rangga pergi dan mobilnya menghilang di tikungan, Nayla segera mengambil tas kecil yang ia sembunyikan dalam pot bunga.

Ia berlari ke luar rumah dan melambai ke taksi yang melintas.

“Mau diantar ke mana, Mbak?” tanya sopir.

Nayla terdiam, pikirannya kosong. “Ke pantai… aku hanya ingin mendengar suara ombak,” jawabnya lirih.

Sepanjang perjalanan, Nayla menatap keluar jendela, menyaksikan hiruk-pikuk orang yang sibuk menuju tempat kerja.

Hatinya remuk. Ia ingin bicara… tapi tak tahu kepada siapa. Dulu, hanya Jati yang selalu ada untuk mendengarkan keluh kesahnya.

Sopir taksi melirik ke arah kaca spion, melihat wajah Nayla yang sendu.

“Mbak baik-baik saja?”

Nayla mengangguk pelan sambil menyeka air matanya.

Dua jam kemudian, mereka tiba di pantai. Nayla membayar ongkos, lalu berjalan perlahan ke bibir pantai.

Langit mendung, angin bertiup lembut. Deburan ombak menyambutnya, seolah menjadi satu-satunya suara yang mengerti hatinya.

Tiba-tiba, Nayla berteriak sekuat tenaga ke laut yang luas, meluapkan semua luka yang selama ini ia pendam.

“Nayla … Kenapa kamu selalu lari dari masalah?”

Nayla terkejut, membalikkan tubuhnya. Matanya membelalak saat melihat sosok di hadapannya.

“Mas Jati…?” bisiknya, seolah tak percaya.

“Aku di sini,” ucap Jati lembut.

Nayla segera memeluknya erat, tangisnya pecah di pelukan pria itu.

Seperti biasa, Jati hanya diam, membiarkan Nayla menangis sampai lelah.

Setelah hampir setengah jam, Nayla tertidur dalam pelukannya.

Jati lalu mengangkat tubuh Nayla dan membawanya ke penginapan terdekat.

Di dalam kamar, ia membaringkan Nayla di atas ranjang dan duduk di sampingnya, menatap wajah yang dulu sangat ia cintai.

“Apakah pernikahanmu tidak bahagia?” tanyanya lirih sambil membelai rambut Nayla yang jatuh di wajahnya.

Dua jam berlalu. Nayla membuka mata dan mendapati Jati masih duduk di sana.

“Mas Jati? Jadi aku… tidak bermimpi?”

“Tidak, Nayla. Aku di sini,” jawab Jati lembut.

Nayla menggigit bibirnya. “Aku tidak ingin pulang… Aku ingin pergi jauh dari semua ini.”

Jati menghela napas. “Kamu tidak bahagia, ya?”

Nayla hanya mengangguk pelan. “Mungkin ini hukuman karena aku sudah menyakitimu dulu…”

“Jangan pernah berpikir seperti itu,” balas Jati.

“Kamu tidak menyakitiku. Justru, aku bersyukur pernah menjadi bagian dari hidupmu.”

Nayla memandang mata Jati yang dipenuhi keikhlasan.

“Aku sudah ikhlas, Nayla. Kalau kamu bahagia bersama orang lain, aku rela. Seperti lagu itu—cinta tak harus memiliki. Aku akan tetap mencintaimu dengan cara yang tenang,"

Air mata Nayla jatuh lagi. Ia sadar, ada cinta yang begitu tulus namun tak bisa ia genggam kembali.

“Sudah malam. Mandi dulu, ya. Nanti aku antar pulang,” ucap Jati, mencoba tenang.

“Mas Jati … biar aku pulang sendiri saja.”

Jati menggeleng. “Tidak. Aku tak mau kamu kenapa-kenapa,"

Nayla masuk ke kamar mandi. Sepuluh menit kemudian, ia sudah rapi dan Jati menunggunya di depan.

Mereka naik mobil dan melaju ke arah rumah Rangga. Dalam perjalanan, perut Nayla kembali berbunyi.

“Lapar, ya?” tanya Jati sambil tersenyum.

Nayla menunjuk sebuah rumah makan dekat pom bensin, dan Jati segera membelokkan mobil ke sana.

Malam itu, mereka makan berdua dalam keheningan yang penuh makna—seolah saling mengobati luka yang tak kunjung sembuh

Setelah selesai makan malam, Jati membayar makanan mereka dan keduanya keluar dari rumah makan dengan langkah pelan.

Udara malam terasa sejuk, dan suasana jalanan sudah mulai lengang.

Nayla menatap langit gelap yang bertabur bintang.

“Dulu, kita pernah duduk berdua di taman, lihat bintang-bintang begini juga, ya?”

Jati tersenyum tipis. “Iya. Kamu bilang, bintang itu seperti harapan. Walau jauh, tapi tetap bersinar,”

Nayla menoleh padanya. “Tapi sekarang, kenapa semua terasa gelap?”

Jati menghentikan langkahnya dan menatap Nayla dalam-dalam.

“Karena kamu sedang tersesat. Tapi bukan berarti kamu tidak bisa menemukan cahaya lagi,”

Nayla menarik napas panjang, menahan gejolak dalam dadanya.

“Kamu selalu tahu harus bicara apa, ya ....,”

Jati hanya diam. Ia membuka pintu mobil dan membiarkan Nayla masuk lebih dulu.

Setelah mereka duduk kembali di dalam mobil, Jati menyalakan mesin dan melanjutkan perjalanan.

Tak ada lagi kata-kata yang terucap. Hanya lagu lama yang mengalun pelan dari radio, seolah mengiringi perpisahan yang tak ingin mereka ucapkan.

Sesampainya di depan rumah Rangga, Nayla menoleh pada Jati.

“Terima kasih… untuk malam ini,"

Jati mengangguk. “Jaga dirimu, ya,”

Nayla membuka pintu, tapi sebelum keluar, ia berkata pelan,

“Kalau suatu hari aku ingin kembali… kamu masih akan ada di sini?”

Jati menatap ke depan, lalu berkata tanpa menoleh,

"Aku akan selalu ada. Tapi jangan kembali karena kesepian … kembalilah kalau kamu benar-benar ingin menetap,"

Nayla terdiam. Ia keluar dari mobil, melangkah perlahan ke arah rumah.

Jati menunggu sampai pintu tertutup sebelum akhirnya menyalakan mobil dan pergi, membawa serta segala kenangan yang masih tertinggal.

1
seftiningseh@gmail.com
hai kak semangat yaa bust update selanjutnya aku tunggu oh ya jangan lupa baca chat story aku judul nya love after marriage
✿🅼🅴🅳🆄🆂🅰✿: Minimal di like lah... kalau punya request kek gitu./Smug/
my name is pho: ok kak
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!