Artha anak kaya dan ketua geng motor yang dikagumi banyak wanita disekolahan elitnya. Tidak disangka karna kesalahpahaman membuatnya menikah secara tiba-tiba dengan gadis yang jauh dri tipikal idamannya. Namun semakin lama bersama Artha menemukan sisi yang sangat dikagumi nya dari wanita tersebut.
mau tau kelanjutannya....??
pantau trus episodenya✨✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 23
Naira terpaku di tempat. Padahal sebelumnya gadis itu panik setegah mati. Namun, ketika pria yang baru saja keluar dari mobil berjalan ke arahnya, dia mendadak mematung, tak bergerak sama sekali.
"Om ... Fadli!" Naira berkata lirih ketika lelaki itu berdiri tepat di depannya.
"Bapak mengenalnya?" tanya Sopir yang tadi sempat berdebat dengan Naira.
Pria berkemeja hitam mengangguk.
"Tepikan mobilnya!" perintahnya kemudian.
Lengan kekar berbalut kemeja lengan panjang dengan tiga kancing atas sengaja dilepaskan melingkarkan tangan pada bahu Naira, mengajak gadis itu menyingkir dari depan mobilnya.
Naira masih diam, menurut saja ketika lelaki itu menggiringnya menepi.
"Apa yang kamu lakukan? Bagaimana jika tadi sopirku tidak bisa mengerem tepat waktu? Jangan
bilang kamu sedang ingin bunuh diri?"
Naira menggeleng.
"Maaf, Om! Saya tidak sempat berpikir. Saya hanya sedang butuh bantuan."
"Bantuan?"
Naira tak langsung menjawab, melainkan menudingkan tangannya ke arah Artha yang sedang berjuang menghadapi dua orang preman.
"Itu teman saya. Dia membutuhkan bantuan."
Fadli mengarahkan pandangan di mana tangan Naira mengarah. Dia mengangguk paham, lalu kembali menatap Naira.
"Tetaplah di sini. Aku akan mengurusnya."
Naira mengangguk mengiakan, bediri di dekat mobil sembari melihat punggung Fadli menjauh darinya.
Pria itu tampak menggulung kedua lengannya sebatas siku, berjalan setengah berlari menuju di mana Artha yang sudah mulai berkelahi menghadapi dua preman itu.
Mendekat tanpa peringatan, Fadli menarik rambut salah seorang preman bertubuh besar itu, lantas menghantamkan kepalan tangan pada wajah
yang tampak sangar.
Artha yang tadinya berurusan dengan dua orang,
Bebannya semakin berkurang. Mes berdiri menjauh sembari mendekap tas kecil di dada. Sementara Artha dan Fadli tampak sedang menghajar dua orang preman itu hingga babak
belur.
Naira sempat histeris ketika salah seorang preman berhasil memukul rahang Artha, membuat lelaki itu terjerembab dengan darah segar keluar di bibir. Melihat hal tersebut, Fadli tak tinggal diam. Lelaki itu membantu dengan menendang tubuh si preman. Terlibat adu ketangkasan dan kekuatan fisik. Apalagi kedua preman itu juga mengandalakan senjata tajam demi mencelakai Artha dan Fadli.
Namun, semua tak berlangsung lama. Mobil patroli polisi tiba-tiba datang melewati jalan di mana mereka sedang berkelahi, membuat kedua preman yang sudah babak belur itu lari tunggang-langgang demi menghindari razia polisi.
Artha mengusap bekas pukulan itu dengan telapak tangan. Rasanya pasti sangat sakit, tetapi dia sudah terbiasa berkelahi sehingga pukulan seperti itu pastinya tak membuatnya jera.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Fadli melihat luka di bibir Artha. Dia mengangsurkan sapu tangan
untuk diberikan kepada pria tiu.
"Pakai ini!"
Artha menerimanya, menyeka bibir yang banyak
darah.
"Terima kasih sudah membantu, ...."
"Fadli!" Fadli menyahut.
"Aku kebetulan lewat sini dan melihat Naira meminta bantuan."
"Naira? Anda mengenal Naira?" Artha sempat
terkejut degan perkataan Fadli.
Lelaki itu terseyum tipis.
"Bukan kenal dekat. Hanya kebetulan kami sempat bertemu di jalan. Dan hari ini kami bertemu lagi juga karena kebetulan." Dia mengalihkan perhatian pada Mesa yang masih berdiri agak jauh dari mereka.
"Apa dia temanmu? Dia sepertinya masih ketakutan."
Artha menoleh pada Mesa. Dia sampai terlupa bahwa ada Mesa di sini karena masih fokus
membahas tentang Naira.
"Heem. Dia temanku. Terima kasih sudah membantu." Entahlah, walaupun Fadli sudah membantunya mengalahkan preman-preman itu, tak lantas membuat Artha menyukai pria itu.
"Aku permisi."
"Tunggu!" Fadli menahan kepergian Artha yang
hendak menemui Mesa.
"Ya!"
"Apa yang di sana motormu?" Artha mengangguk tanpa menjawab.
"Apa kamu hendak mengajak temanmu pulang?"
"Maksud Anda?" Artha mengerutkan kening. Merasa tidak suka pria di sampingnya itu sepertinya terlalu ikut campur masalahnya.
"Maksudku, temanmu itu sepertinya sedang membutuhkanmu. Sebaiknya kamu segera mengantarkannya pulang. Naira biar bersamaku."
"Apa?" ucap Artha terkejut.
Naira mengayunkan langkah, berjalan mendekat ke tempat Artha dan Fadli berada. Masih beberapa tapak lagi jarak di antara mereka, gadis itu melihat Mesa yang sejak tadi berdiri mematung dengan memeluk tas kecilnya tiba-tiba berlari ke arah Artha.
Mesa dengan tidak tahu malu langsung berhambur memeluk lelaki itu.
Naira menghentikan langkah, melihat Artha yang diam saja saat Mesa memeluknya. Namun, mata mereka sempat saling bertemu.
Artha melihat Naira menunduk, lalu memalingkan muka dari tatapannya. Artha tak bisa berbuat apa-apa karena saat ini Mesa sedang menangis memeluknya.
"Sebaiknya segera antar temanmu pulang. Naira biar aku yang mengantarkannya." Fadli kembali bicara, menawarkan bantuan.
Tidak ada pilihan lain selain menyetujui. Artha mengangguk mengiakan, menepuk punggung Mesa agar perempuan itu menghentikan tangisnya.
"Ayo, gue antar lo pulang!" kata Artha kepada Mesa. Gadis itu mengangguk, menyeka air mata yang sejak tadi berderai dengan tubuh yang masih gemetar ketakutan.
Pandangan Artha kembali mengarah pada Naira. Awalnya lelaki itu hendak berpamitan pada Naira, mengatakan akan mengantarkan Mesa sebentar. Namun, Mesa malah menarik tangannya.
"Gue masih takut. Mereka tadi nyaris berhasil memaksa gue." Mesa berkata di sela isak tangisnya.
Artha menggguk, mengusap bahu Mesa yang
mengenakan dress tanpa lengan.
"Lain kali jangan menggunakan pakaian seperti ini ketika keluar. Lo terlalu seksi, mengundang perhatian mereka." Artha membuka jaket yang dia kenakan, lantas memasangkan pada tubuh Mesa.
Apa yang Artha lakukan tadi tak luput dari perhatian Naira. Gadis yang sempat memalingkan muka, dan kemudian kembali melihat Artha dan Mesa, kini menundukkan pandangan. Dia menjadi salah tingkah, bingung harus melakukan apa setelah memergoki bagaimana perhatian Artha
terhadap perempuan itu.
Saat Artha dan Mesa berjalan ke arah motor, dia berpapasan dengan Naira. Lelaki itu sempat menegurnya.
"Nai," panggil Artha pelan.
Naira hanya mengangguk menanggapi. Dia tak berhak melarang Artha untuk mengantar Mesa pulang. Bagaimanapun Naira mengetahui
bagaimana posisi Mesa di hati Artha.
"Hati-hati." Naira berkata lirih, tetapi sama sekali tak menatap kearah Artha.
Fadli maju mendekat, melingkarkan tangan di
bahu Naira.
"Ayo, aku antar pulang!" Naira mengangguk, tak banyak bertanya. Dia keluar rumah tadi tak membawa uang. Jika Artha meninggalkannya di sini, bagaimana dirinya bisa pulang?
Saat Naira masuk ke mobil Fadli, detik itu juga Artha memperhatikannya. Bagaimana seorang Fadli yang terlihat begitu cekatan membukakan pintu untuk Naira membuat hatinya gelisah.
Dia masih mengarahkan pandangan ke arah mobil itu di mana Naira tersenyum kepada Fadli. Sementara Mesa sudah naik di atas motor kemudian tanpa diminta memeluk pungungnya. Ketika merasakan pelukan itu, barulah Artha mengalihkan perhatian pada Mesa, menoleh ke
belakang.
"Pegangan yang benar, gue sedikit ngebut," ucap
Artha kemudian.
Mesin motor dinyalakan. Asap kenalpot bergelung di belakangnya. Naira menatap kepergian Artha dengan Mesa memeluk lelaki itu erat. Entah mengapa, melihat kedekatan Artha dengan perempuan lain membuat hati Naira tak rela. Padahal beberapa menit yang lalu dirinyalah yang berada di motor itu, memeluk punggung kokoh
yang terasa nyaman dijadikan tempat bersandar.
"Aku tidak menyangka jika kita bisa bertemu
lagi. Aku pikir malam itu adalah malam pertama
Dan terakhir kita bertemu. Ternyata Tuhan mentakdirkan lain." Fadli berkata seraya tersenyum, tetapi tampaknya Naira tak terlalu mendengarkan. Gadis itu masih terdiam sembari menatap ke depan di mana motor Artha sudah pergi menjauh.
"Naira! Hai, kamu mendengarku?" Fadli melambaikan tangan ke depan wajah Naira.
Seketika kelopak mata gadis itu mengerjap, lalu menoleh pada Fadli.
"Maaf, Anda tadi mengatakan apa?"
Fadli tersenyum.
"Lupakan. Bukan hal penting. Kamu ingin langsung pulang atau ke suatu tempat dulu?"
"Maksud Om?"
"Maksudku, apa kamu ingin mampir membeli
makanan sebelum pulang, atau langsung pulang?"
Naira menggeleng.
"Saya tidak membawa uang. Antarkan saja saya pulang. Maaf, sudah merepotkan Anda lagi."
Fadli mengulum senyum. Gadis di sampingnya bukanlah seperti kebanyakan perempuan yang sering dia temui. Banyak sekali anak SMA atau dengan status fresh graduate mendekatinya,
mencari perhatian hanya demi mendapatkan uang
jajan, atau barang-barang mewah. Sementara perempuan yang sedang mengarahkan pandangan ke jalanan ini tak melakukan hal yang sama.
"Tidak masalah. Jam segini masih ada angkringan yang buka. Aku juga belum makan malam. Bisakah menemaniku sebentar?"
Pandangan beralih pada Fadli. Ingin menolak, tetapi dia sedang menumpang. Apakah harus
meminta izin pada Artha terlebih dulu?
Tapi bukannya Artha sedang sibuk mengurus Mesa? Dia pasti sedang bahagia saat ini.
Naira akhirnya mengangguk setuju. Tidak ada alasan menolak. Paling tidak ini sebagai bentuk terima kasihnya karena sudah diantar pulang saat
Artha memilih mengantarkan perempuan lain.
Mobil berhenti di area distrik yang menjual berbagai macam street food. Galih sengaja mengajak Naira ke tempat seperti ini. Bukan lagi ke restoran seperti kebanyakan wanita. Melihat Naira bukanlah perempuan yang menyukai hal berlebihan, tentu street food adalah pilihan yang tepat. Bukannya membeli nasi atau makanan berat, Fadli malah mengajak Naira membeli jajanan.
Ada sate sea foodyang dipanggang saat memesan, juga beberapa olahan kentang yang
dibuat meliuk-liuk dalam satu untaian.
Mereka duduk berhadap-hadapan di salah satu
kedai, menunggu pesanan selesai dibuatkan.