Di tepi Hutan Perak, pemuda desa bernama Liang Feng tanpa sengaja melepaskan Tianlong Mark yang merupakan tanda darah naga Kuno, ketika ia menyelamatkan roh rubah sakti bernama Bai Xue. Bersama, mereka dihadapkan pada ancaman bangkitnya Gerbang Utama, celah yang menghubungkan dunia manusia dan alam roh.
Dibimbing oleh sang bijak Nenek Li, Liang Feng dan Bai Xue menapaki perjalanan berbahaya seperti menetralkan Cawan Arus Roh di Celah Pertapa, mendaki lereng curam ke reruntuhan Kuil Naga, dan berjuang melawan roh "Koru" yang menghalangi segel suci.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat Jiwa Bumi Tua Yang Menghantui Desa
Desa Bayangan larut dalam keheningan tengah malam. Lampion-lampion di sepanjang jalan telah dipadamkan, menyisakan tiga buah di alun-alun yang berpendar lembut, menuntun bayangan pepohonan pinus menari di dinding kayu gubuk. Hembusan angin dingin menerpa ujung jerami, menghadirkan suara “sreeeek” yang samar-samar.
Liang Feng melangkah pelan di jalan setapak, pedang naga tergantung di punggungnya, sabuk bunga edelweiss menempel di pinggangnya. Ia menatap ke arah langit, purnama hanya setengah menampakkan wajahnya, membuat desa itu tampak setengah terang dan setengah gelap. Hatinya berdegup sedikit lebih cepat daripada biasa. “Ada yang tidak beres malam ini.” gumamnya.
Di sampingnya, Bai Xue terbang rendah, bulu peraknya memancarkan kilauan perak di kegelapan. Dengan lembut ia membelai udara malam, membiarkan getaran roh mengalir melalui inderanya. “Feng… kurasa Jiwa Bumi Tua berbicara lagi. Ia tidak senang dengan segel sementara yang kita pasang.” Desis telepati itu mengusik benak Liang Feng, meneguhkan kecemasannya.
Liang Feng menutup mata sejenak, mencoba menangkap kata-kata. “...bangkit...terancam...” ia mendengar sekilas. Ketika membuka mata, ia melihat bayangan penduduk desa, dimana ia melihat siluet samar-samar berdiri di tepi jalan, kemudian lenyap begitu cepat.
“Ada apa, Bai Xue?” gumamnya. “Adakah tanda yang kau rasakan?”
Bai Xue menukik turun, membelai kepala Liang Feng dengan moncongnya. “Beberapa jam lalu, air sumur desa bergetar saat angin bertiup. Ada gema gaung di batu-batu pondasi gubuk, itu tanda gema Jiwa Bumi Tua yang bergemuruh tanpa adanya petir.”
Liang Feng menelan ludah. “Gema gaung tanpa petir… salah satu ramalan Nenek Li. Kita harus menemui Nenek Li.”
Dengan hati-hati, mereka mendekat ke gubuk Nenek Li. Daun pintu kayu tua berderit nyaring saat Liang Feng mendorongnya. Di dalam, cahaya lilin menari-nari di wajah rentanya sang pertapa tua. Nenek Li duduk bersila di depan tungku kecil, mukanya berpijar dengan keriputnya.
“Feng, Bai Xue." sapanya tanpa menoleh. “Aku merasakan gelombang kesakitan Jiwa Bumi Tua semalam. Ritual penutup kita masih basah, jadi belum sepenuhnya memulihkan keseimbangan.” Suaranya pelan, hampir tenggelam oleh desahan angin luar.
Liang Feng menunduk dengan hormat. “Maaf, Nenek Li. Aku baru menyadarinya. Apa yang harus kita lakukan?”
Nenek Li menepuk tangan, memanggil seorang pertapa muda yang duduk di sudut. “Ambil gulungan ramuan Jiwa Bumi Tua dan saling kubik biru.” Pertapa itu mengangguk dan menyerahkan dua gulungan kecil berwarna perak dan biru. “Kita perlu mengulangi ritual sesajen di lima titik lemah dimana Mata Air Senja, Batu Merah, Bendungan Darah, Tebing Gaung dan Bukit Api.”
Bai Xue mengepak lembut. “Itu lima tanda yang merayakan kebangkitan Jiwa Bumi Tua.”
Nenek Li mengangguk perlahan. “Kita harus bergerak dini hari esok, agar tanda berikutnya tidak menimbulkan bencana.”
Keluar dari gubuk, Liang Feng dan Bai Xue disambut pemandangan ganjil dimana alun-alun desa dipenuhi bayangan siluet warga, seolah semua jiwa mereka berkumpul di sana. Namun saat lampion terakhir dipadamkan, bayangan itu menguap. Warga desa tidur nyenyak, tetapi bayangan mereka masih tertinggal, berkelana di udara.
Liang Feng merapat ke Bai Xue. “Mereka belum sadar.” katanya dengan suara pelan. “Coba halau bayangan itu.”
Bai Xue menyalurkan aura peraknya, menciptakan gelombang cahaya halus yang memantul di permukaan alun-alun. Bayangan-bayangan itu bergerak perlahan ke tepi, lalu larut bak kabut subuh. Liang Feng menepuk pedang ke tanah, menyalakan Tianlong Mark yang memancarkan kilauan hijau, menuntun bayangan untuk kembali ke tubuh pemiliknya.
Sesaat kemudian, alun-alun kembali kosong, hanya terdapat jejak kaki yang samar-samar di pasir yang tersisa. Liang Feng menarik napas lega. “Setidaknya kita berhasil menyelamatkan jiwa mereka.” ujarnya.
Saat menyeberang jembatan kayu, mereka melihat air Sungai Bayangan memerah, itu bukan air sungai, melainkan kilauan darah yang menyelimuti permukaannya seperti cermin. Fenomena itu sesuai ramalan kedua yaitu darah mengalir tanpa luka nyata.
Di tengah jembatan, dua pertapa muda menunggu. “Airnya memerah.” lapor salah satu. “Tidak ada luka di tubuh siapa pun. Sepertinya Jiwa Bumi Tua menangis darah.”
Liang Feng membuka gulungan ramuan Jiwa Bumi Tua, mencampurkan setetes air embun purnama, serbuk kristal perak dan tetesan darah rubah suci dari Bai Xue ke mangkuk batu. Ia melantunkan mantra:
“Darah jiwa yang merintih,
Jemput kembali ke asal,
Bersihkan tangis kelam,
Pulihkan arus hidup.”
Setetes ramuan dituangkan ke sungai. Bergemuruh sekejap dan air sungai kembali jernih.
Bai Xue mengepak senang. “Tanda kedua tersapu.” Liang Feng mengangguk. “Ayo ke tanda berikutnya, sebelum gema gaung itu berubah menjadi gempa.”
Perjalanan mereka menuntun ke lereng utara desa, di mana sebuah bongkahan batu besar yaitu Batu Ponco. Dulu batu ini dianggap suci, tetapi semalam terdengar gema dentuman besi memantul tanpa sumber suara.
Liang Feng mengetuk tiga kali dengan ujung pedang, lalu memekik. “Gaung jiwa… pulang ke hatimu!” Gema pun terhenti, berubah menjadi bisikan yang lembut. Bayangan gelap sekitar batu mencair menjadi kilauan cahaya, lalu menembus ke dalam kerikil.
Seorang pertapa menunduk, memungut serpihan cahaya yang jatuh. “Batu Ponco… bersih kembali.”
Liang Feng menarik napas panjang. “Tiga tanda sudah kita atasi. Tinggal Bendungan Darah dan Tebing Gaung.”
Mereka berjalan menyeberang sawah basah, lampion kecil menuntun ke arah bendungan tua. Bocoran kecil di dinding bendungan tanpa air membuat hembusan air bagai air terjun walau tidak ada sumber. Dasar bendungan bergema denting air yang memekakkan telinga.
Bai Xue menyalurkan aura peraknya ke permukaan batu bendungan, menciptakan perisai perak. Liang Feng menggores pedangnya ke dinding batu, mengukir lambang naga. “Bendung suara ” gumamnya. “Aku akan kunci resonansi.”
Ia merapal mantra Tianlong Mark sambil memutar pedang:
“Gaung tanpa air, kau terikat di sini,
Tarik kembali, alirkan sunyi.”
Suara air terhenti perlahan. Tungku gemuruh lenyap, menyisakan keheningan yang menenangkan. “Empat tanda.” lapornya. “Satu lagi, Tebing Gaung.”
Langkah mereka terhuyung di kaki Tebing Gaung yang merupakan tebing batu curam yang retak-retak, memantulkan gema teriakan pendaki ilusi. Konon, saat Jiwa Bumi Tua gelisah, tebing itu akan mengaum seperti dikerumuni ribuan mulut.
Liang Feng menyalakan obor asap biru, menerangi permukaan tebing. Dari celah sempit terdengar suara teriakan samar. “Tutuplah kami… kami tersesat…”
Bai Xue menjerit, aura peraknya merambat di dinding batu. “Mereka jiwa pendaki yang terjebak… tolong lepaskan!”
Liang Feng menancapkan pedang ke batu, lalu menggoyangkan gagang tiga kali untuk memecah gema.
“Batu gaung, bebaskan jeritan,
Satukan jiwa yang terbelah.”
Gema teriakan berubah menjadi nyanyian, lalu menghilang, meninggalkan tebing tanpa gemuruh. Hawa menenangkan menelusup di antara retakan.
Dengan empat tanda tertangani, mereka bergegas ke Bukit Api, yang terletak di gundukan kecil di luar desa, di mana pijar api kecil menari-nari di celah batu walau tanpa api. Batu-batu itu sering memercikkan api keramat pada malam tertentu.
Mereka mendaki dengan napas memburu. Saat tiba, pijar api di celah menggelora lebih besar, menyala oranye-merah. Api itu membakar semak-semak kering di sekitarnya, menyebar bisikan. “Kami menuntut korban…”
Liang Feng menutup mata, merapal sumpah terakhir.
“Api kelabu, padamkan amarah,
Hentikan teriakan Jiwa Bumi Tua.”
Setetes ramuan Jiwa Bumi Tua yang tersisa ditaburkan ke bara api, menciptakan asap biru tebal. Api meredup, lalu padam total. Bukit Api kembali dingin dan bergeming sunyi.
Liang Feng dan Bai Xue berdiri di alun-alun, menatap warga yang telah berkumpul menanti kabar. Mereka menghela napas bersama.
“Lima tanda telah diselesaikan.” kata Liang Feng dengan suara tegas namun lembut. “Ritual penutup Jiwa Bumi Tua berhasil. Keseimbangan bumi dan roh kembali suci.”
Sorak riang membahana dari warga. Air sumur di alun-alun memantulkan kilauan matahari, sungai jernih mengalir, Tebing Gaung kembali hening dan pijar api menghilang, serta semua tanda kegelapan mereda.
Nenek Li muncul di tengah kerumunan, wajahnya berseri-seri. “Kalian telah melakukan tugas besar.” ia memuji. “Kini, segel kita semakin kuat. Esok, perjalanan kita membawa kita ke Puncak Perak untuk meraih Hati Bumi.”
Liang Feng menunduk hormat. “Kami siap.”
Bai Xue meloncat kecil, menyalurkan aura peraknya ke udara pagi. “Petualangan berikutnya menanti.”