Antara Benci Dan Cinta

Maura menatap tak berkedip sosok yang nampak tertelungkup di hadapannya itu.

Kata kata yang keluar dari bibir sosok itu cukup membuat jantungnya berdebar kencang dan seolah akan meloncat keluar.

Jujur...

Ia sangat bahagia mendengar kata kata itu.

Selain itu kedua orang tuanya juga selalu menekannya untuk bisa segera menikah dengan Ibra.

Siapa yang tidak mau menikah dengan pemuda itu dan menjadi menantu keluarga kaya raya seperti keluarga Hamzah Tarek ini.

Namun,

tak dapat ia pungkiri, ada setitik rasa ragu tersemat di hatinya.

Sosok di hadapannya itu kini sungguh membuat hatinya trenyuh.

Ibrahim yang dulu nampak gagah lambat laun terlihat kian jauh berbeda.

Maura Said Abbas,

Sejak pertama bertemu dengan Ibrahim, ia memang sudah jatuh hati dan mencintai laki laki itu meski respon Ibra sangat jauh berbeda dengan yang ia harapkan.

Selama ini ia tahu,

Ibra tak pernah menganggapnya lebih dari seorang teman walau kedua orang tua mereka jelas jelas berencana menjodohkan keduanya.

Ibra cenderung bersikap dingin dan acuh kepadanya meski ia selalu memberikan perhatian dan kelembutan kepada pemuda itu.

Dan sekarang....

Ketika pria dingin itu akhirnya menawarkan pernikahan kepadanya ?!

Apa yang akan ia lakukan ?!

" kenapa kau diam saja....?! Kau ragu menikah denganku ?! Atau kau sudah tak memiliki keinginan menikah denganku ?! " tanya Ibra.

Maura masih terdiam. Gadis itu masih setia menatap pemuda yang nampak tak berdaya di hadapannya itu.

" Ra...." panggil Ibra ketika ia tak kunjung mendapatkan balasan

" Bra....aku...."

" kenapa ?! Apa karena sekarang aku gila ?! "

" gila...?! " cicit Maura

" siapa yang bilang kau gila....kau tidak gila Ibra...." lanjut Maura lagi.

Ibra tersenyum miris.

" aku tahu aku gila Maura...hampir gila, gejala gangguan mental.

Memangnya apalagi artinya itu jika bukan gila ?! " kata Ibra lagi.

Brugh....

Maura menubruk tubuh Ibra yang masih menelungkupkan kepalanya di atas meja kemudian memeluknya dengan erat.

" kamu tidak gila Ibra....kamu tidak gila. Ya...aku mau menikah denganmu.

Tidak perduli meski dunia mengatakan kau gila, bagiku kau tidak gila.

Kau hanya sedang sakit " cicit Maura sambil memeluk Ibra dengan erat.

Sementara Ibra,

Mendapat pelukan dari Maura, ia justru teringat akan seseorang.

" Rea...." desisnya pelan di dalam hati.

Perlahan Ibra bergerak dan mulai menegakkan tubuhnya, kemudian ia melepaskan pelukan Maura darinya.

" pikirkan baik baik Maura, kau tahu aku tidak mencintaimu.....

dan kau sangat tahu kenapa akhirnya aku menawarkan pernikahan ini padamu.

Aku tak mau kau menyesal di kemudian hari.

kau sangat tahu jika aku hanya mencintaiku diriku sendiri " kata Ibra lagi seolah memperingatkan Maura.

Ia sadar,

desakan papanya untuk menerima perjodohan ini tak bisa ia hindari.

selain itu, Ibra merasa putus asa dengan dirinya sendiri dan berpikir...

Mungkin ini adalah hal terakhir yang bisa ia berikan kepada papanya itu sebelum mungkin takdir buruk akan menjemputnya.

" iya..aku tahu...

Aku akan membuatmu jatuh cinta kepadaku " jawab Maura penuh percaya diri.

" kalau begitu terserah padamu, setelah aku menyelesaikan gelar doktorku...kita menikah..."

Ketika Ibra tenggelam dalam rasa putus asanya sehingga memutuskan menawarkan pernikahan kepada Maura.

Sementara itu di tempat lain.

Sama seperti Ibra, Rea juga mampu meraih pendidikan sarjananya hanya dalam kurun waktu dua tahun saja dengan nilai IPK yang sangat sempurna yakni 4.00.

Dan sekarang adalah tahun kedua bagi Rea menjalani pendidikannya untuk meraih gelar dokter.

Masih panjang baginya untuk bisa meraih gelar yang ia inginkan yakni dokter spesialis kejiwaan.

Namun Rea tak patah semangat sama sekali, ia berusaha sangat keras dan berharap bisa menyelesaikan pendidikan dokternya lebih awal dari yang seharusnya.

🌿🌿🌿

Rea sedang melangkah menuju ruang perpustakaan ketika seorang bocah perempuan kecil berlari menghampirinya.

" mama ...!! " pekik bocah kecil berusia sekitar hampir empat tahunan itu.

Rea segera tersenyum menyambut gadis kecil itu sembari berjongkok.

Kemudian ia memeluk bocah perempuan itu setelah bocah itu berada dalam dekapannya.

" Kalila sayang...." kata Rea sambil mencium pipi tembem bocah itu.

Bocah itu tak mau kalah, ia juga menciumi pipi Rea.

Kalila adalah putri dosen pembimbingnya sejak hampir empat tahun lalu.

Evander Harvey Clinton adalah papa Kalila yang merupakan dosen Rea.

Evander Clinton selain menjadi seorang dosen ia juga seorang dokter spesialis kejiwaan.

Ia juga memiliki sebuah klinik tempat ia praktek yang lumayan besar.

Di klinik itu ia juga mempersilahkan Rea untuk mengasah kemampuannya sebagai seorang psikiater.

Tak mau menyia nyiakan kesempatan,

Rea pun menerima tawaran dokter Evan.

Karena hal itu lah membuat Rea sangat akrab dengan dokter juga mendiang istrinya dahulu.

intensitas pertemuan antara dokter Evan dan Kalila dengan Rea tentulah sangat lah intens sejak itu.

Sehingga Kalila pun sangat menempel kepadanya.

Apalagi Kalila tak memiliki ibu karena istri dokter Evan meninggal beberapa bulan setelah melahirkan Kalila karena pendarahan hebat yang kembali ia alami setelah beberapa bulan melahirkan Kalila.

Rea sedang duduk dengan memangku Kalila di pangkuannya ketika tiba tiba seseorang yang tak lain dokter evan menyapanya.

" Rea...." panggil dokter Evan dan membuat Rea segera berdiri sambil menggendong Kalila di gendongannya.

Namun perhatian gadis itu masih terpusat kepada Kalila.

Saat itu seseorang juga berdiri di sisi dokter Evan menatap Rea tak berkedip.

Seseorang yang sontak terkejut hingga membuat matanya melebar ketika melihat Rea.

Rea sendiri belum menyadari kehadiran seseorang itu karena ia yang sibuk dengan Kalila.

" Rea...!! " desis seseorang itu di dalam hatinya.