NovelToon NovelToon
Ibu Kos Ku

Ibu Kos Ku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Lari Saat Hamil / Dikelilingi wanita cantik / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta
Popularitas:16.6k
Nilai: 5
Nama Author: Aak ganz

roni, seorang pemuda tampan dari desa terpencil memutuskan untuk merantau ke kota besar demi melanjutkan pendidikannya.

dengan semangat dan tekat yang kuat iya menjelajahi kota yang sama sekali asing baginya untuk mencari tempat tinggal yang sesuai. setelah berbagai usaha dia menemukan sebuah kos sederhana yang di kelola oleh seorang janda muda.

sang pemilik kos seorang wanita penuh pesona dengan keanggunan yang memancar, dia mulai tertarik terhadap roni dari pesona dan keramahan alaminya, kehidupan di kos itupun lebih dari sekedar rutinitas, ketika hubungan mereka perlahan berkembang di luar batasan antara pemilik dan penyewa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23

"Bisakah kamu keluar sebentar? Aku ingin menjaga Roni sendirian," ucap Miya dengan nada datar namun penuh maksud, menatap Mbak Maya yang duduk tenang di samping ranjang.

Mbak Maya hanya tersenyum miring, lalu menjawab santai, "Kalau aku nggak mau, kenapa? Hmmm?"

Nada menantang itu membuat Miya naik darah. Ia berbalik dan menatap tajam wanita yang lebih tua itu.

"Kenapa sih kamu selalu di sini? Bukankah kamu seorang dokter? Harusnya kamu sibuk! Tapi kamu malah terus di sini, seolah kamu juga—jangan-jangan... kamu jatuh cinta pada Roni, ya?"

Pertanyaan itu dilontarkan Miya tanpa ragu. Tapi Mbak Maya tak kehilangan senyum liciknya. Ia menjawab santai, tapi menusuk.

"Kalau iya, kenapa? Lagi pula, aku mengenalnya lebih dulu dari kamu. Dan aku tidak yakin dia menganggapmu pacarnya. Bisa jadi, cuma kamu yang merasa begitu."

Miya mendengus, lalu melipat tangan di dadanya. "Kalau memang begitu, kenapa Roni tidak pernah menyebutkan namamu? Sedangkan aku... dia selalu bersamaku. Bahkan kami tidur bersama. Jadi, kamu terlalu percaya diri."

Senyuman Mbak Maya tak luntur. Matanya menyipit, bibirnya menyeringai. "Oh ya? Soal itu... kamu pikir kamu yang pertama? Aku bahkan sudah lebih dulu tidur dengannya. Hampir setiap malam. Jadi apa yang kamu banggakan, hah?"

Suasana kamar seketika panas. Mereka saling beradu kata, tak peduli mereka sedang berada di rumah sakit, di samping pria yang masih terbaring tak sadarkan diri.

"Kamu mengarang cerita! Nggak mungkin Roni tertarik padamu!" bentak Miya.

"Percaya nggak percaya, itu urusanmu. Yang jelas, aku juga mencintainya. Jadi jangan pernah berpikir bisa mengusirku dari sini."

Perdebatan mereka terhenti saat suara dering ponsel Miya memecah ketegangan. Ia buru-buru mengambilnya dari tas.

"Aku akan urus kamu nanti, wanita tua!" desis Miya sebelum menjawab panggilan.

"Siapa yang tua, hah? Dasar cewek genit!" balas Mbak Maya tak mau kalah.

"Halo? Ada apa, Pah?"

"Miya, kamu di mana? Cepat ke rumah sakit! Mamamu kecelakaan. Sekarang sedang ditangani dokter!" suara ayah Miya terdengar panik di seberang.

"Apa? Ya Tuhan! Aku segera ke sana!" ucap Miya terguncang. Ia buru-buru merapikan tas, lalu mendekat ke Roni yang masih terbaring.

"Roni, aku akan segera kembali. Kamu jangan tidur terus, ya... Cepat sadar. Aku butuh kamu," katanya sambil mengecup kening Roni, sengaja dilakukan tepat di hadapan Mbak Maya.

Mbak Maya melotot marah, tapi Miya hanya menjulurkan lidah sebelum pergi.

Begitu Miya pergi, Mbak Maya mendesah, lalu mengambil tisu dan mengusap bekas ciuman di kening Roni. Saat itu, ia melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup—kening Roni bergerak sedikit. Matanya terbuka samar-samar.

"Roni? Kamu sadar?" bisiknya panik, namun Roni tak menjawab lagi. Ia hanya bergerak tipis sebelum kembali terlelap.

Sementara itu, di ruang tunggu rumah sakit lain, Miya menatap ayahnya cemas. "Bagaimana Mama, Pah?"

"Ayah juga belum tahu, Nak. Kita tunggu kabar dari dokter."

Tak lama, dokter keluar dari ruang gawat darurat. "Kondisi istri Bapak kritis. Ada cedera saraf di kepala akibat benturan keras. Saat ini beliau koma. Kami akan berusaha semaksimal mungkin, tapi semuanya kita serahkan pada Yang Maha Kuasa."

Miya langsung menangis, tubuhnya bergetar. Ayahnya memegangi kepala, menahan tangis yang tak bisa dibendung. Ini terlalu berat.

"Mama..."

Tuan Bram menatap dokter dengan harapan terakhir. "Tolong selamatkan istri saya, Dok. Saya akan bayar berapa pun biayanya."

"Kami akan melakukan yang terbaik, Pak. Tapi kami tak bisa menjanjikan hasilnya."

Seminggu kemudian, Roni menunjukkan tanda-tanda sadar. Mbak Maya selalu merawatnya dengan sabar, memandikannya, memeriksa kondisinya, dan menemaninya setiap hari.

Hari itu, saat sedang memeriksa detak jantung Roni, matanya tiba-tiba terbuka.

"Roni... Kamu sadar?" bisik Mbak Maya dengan senyum bahagia, hampir tak percaya.

Roni tampak bingung, matanya menerawang. "Ini di mana? Dan... Anda siapa?"

Mbak Maya terdiam sejenak. Lalu, dengan cepat ia mengambil peluang. "Kamu di rumah sakit. Aku... dokter yang merawatmu. Dan juga... calon istrimu."

Roni mengangguk pelan, masih linglung. "Calon istri... Oh... Tapi... Ayu? Di mana Ayu?"

Pertanyaan itu membuat Mbak Maya tercekat. Jadi, dia masih mengingat Ayu? Namun ia segera menenangkan diri.

"Ayu? Dia di kampung. Punya urusan keluarga. Tapi dia akan ke sini nanti," jawabnya cepat.

Tiba-tiba Roni meringis kesakitan. Mbak Maya panik, langsung memintanya tetap tenang. Ia memeriksa kondisi Roni, lalu mulai membersihkan tubuhnya seperti biasa. Saat itu, Roni menatapnya penuh rasa ingin tahu.

"Anda cantik... Benarkah Anda calon istri saya?" tanyanya polos.

"Iya, kamu sendiri yang melamarku beberapa bulan lalu. Namaku Maya," jawabnya lembut, menyembunyikan kebohongan di balik senyuman.

Tapi dalam hatinya, ia bertanya-tanya, Kenapa Miya belum muncul lagi ya? Biasanya dia datang tiap hari.

Tiga hari kemudian, Roni diizinkan pulang atas permintaan Mbak Maya. Ia bersikeras ingin merawat Roni di rumahnya, karena pria itu tak tahan dengan bau obat rumah sakit. Saat ia mendorong kursi roda Roni keluar dari bangsal, sebuah suara familiar terdengar.

"Roni...!" Miya berteriak, lalu berlari dan memeluk Roni erat.

"Heh! Jangan peluk-peluk seenaknya!" bentak Mbak Maya, menarik Miya kasar.

"Apa sih? Kenapa kamu marah-marah?" protes Miya.

"Dia lumpuh! Kamu mau bikin dia tambah parah?"

Miya langsung melepaskan pelukannya. "Astaga... Roni, maaf! Kamu nggak apa-apa?"

Tapi Roni hanya memandangi Miya tanpa ekspresi, matanya menyipit.

"Kamu siapa?" tanyanya pelan.

Pertanyaan itu menghantam Miya seperti palu godam.

"A... Apa?" gumamnya. Ia menatap Mbak Maya, mencari penjelasan, tapi hanya mendapat tatapan penuh kemenangan.

“Tolong jelaskan kenapa dia tidak mengenaliku! Jangan-jangan kamu memberinya obat aneh supaya dia melupakan aku!” teriak Miya penuh tuduhan, menatap tajam ke arah Mbak Maya.

“Bodoh! Dia kehilangan ingatan karena benturan di kepalanya,” balas Mbak Maya dingin dan tegas.

“Apa?” Miya terhuyung mundur. “Jadi... dia benar-benar lupa padaku?” Matanya membelalak, seakan menolak kenyataan. Lalu ia buru-buru memegang tangan Roni. “Roni, ini aku, Miya! Pacarmu! Ingat aku, tolong...”

Melihat Miya mulai panik, Mbak Maya segera menariknya menjauh. “Miya, cukup. Dia masih dalam masa pemulihan. Jangan paksakan dia mengingat apa pun sekarang, itu bisa membahayakannya. Kalau kamu benar-benar peduli, kamu harus menahan diri dan percaya padaku untuk menanganinya.”

Miya menatap Maya dengan mata berkaca-kaca. “Apa dia... bisa sembuh?”

“Bisa. Tapi prosesnya butuh waktu. Ini hanya amnesia sementara. Yang penting sekarang, jangan ganggu pemulihannya.”

Miya menggigit bibirnya, menahan emosi. Dia tahu Maya benar, namun hatinya tak rela. Perlahan ia melangkah mundur, membiarkan Maya mendorong kursi roda Roni menjauh darinya.

“Kenapa orang yang aku cintai selalu harus mengalami ini? Ya Tuhan... tolong jaga mereka, jaga Roni... dan selamatkan Mama juga,” bisiknya lirih sambil menatap punggung Maya yang semakin menjauh.

Dia tahu tak ada pilihan lain. Ibunya masih koma di rumah sakit lain. Roni kini berada di tangan wanita yang jadi rivalnya. Tapi Miya belum menyerah. Dia hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk merebut kembali cintanya.

Sesampainya di rumah, Maya memperkenalkan setiap sudut rumah kepada Roni seolah itu pertama kalinya mereka bertemu. Setiap langkah Roni, setiap pandangan polosnya, mengingatkan Maya pada momen awal saat dia melihat pria asing itu jongkok di dekat pot bunga di gerbang rumahnya—dan sejak saat itu, pria itu telah mencuri hatinya.

“Nah, ini kamar kita,” kata Maya lembut, membantu Roni naik ke tempat tidur. “Sekarang kamu rebahan, ya?”

“Tapi aku pengin jalan-jalan dulu,” protes Roni dengan suara manja.

“Kamu perlu istirahat. Jalan-jalan nanti aja, kalau kamu udah kuat. Ingat, kamu mau cepat sembuh, kan?” Maya tersenyum tegas.

Roni mengangguk. “Baiklah... demi bisa ketemu Ayu dan menikahimu, aku nurut,” ucapnya sambil tersenyum, polos tanpa sadar bahwa ucapannya menusuk hati Maya.

Senyum Maya sedikit pudar mendengar nama itu lagi. Ayu. Perempuan yang terus melekat di sisa-sisa ingatan Roni. Meski begitu, Maya tak menunjukkan rasa sakitnya. Ia tahu, cintanya pada Roni tak bisa dipaksakan. Tapi selagi pria itu masih lupa, ia ingin terus berada di sisinya, memberi kasih sayang sebanyak mungkin.

“Sekarang kamu tidur dulu, ya. Aku mau siapkan makanan dan obatmu,” ujarnya sambil menyelimuti tubuh Roni dengan lembut.

Roni hanya tersenyum dan memejamkan mata.

Di rumah itu, Maya menjalani peran sebagai istri dengan sepenuh hati. Meski kenyataannya hanya berdasarkan kebohongan kecil yang ia ciptakan, hatinya tetap tulus. Ia tak tahu bagaimana akhir dari kisah ini, tapi ia tahu satu hal: dia mencintai Roni, bahkan jika suatu hari pria itu mengingat segalanya dan memilih untuk pergi.

Sementara itu, jauh di kampung halaman, Ayu menjalani harinya dengan sibuk. Ia membantu kakeknya memeras susu sapi dan mengumpulkan telur dari kandang ayam. Senyumnya kembali muncul setiap kali melihat ladang terbentang luas, meski di hatinya masih ada beban yang tak kunjung pergi—perihal Reza dan paksaan pernikahan itu.

Reza belum menyerah. Ia terus menekan Tuan Hasan, memaksa agar Ayu tetap menikah dengannya. Ancaman demi ancaman dilontarkan. Jika pernikahan batal, Reza akan menarik semua modal yang telah ia keluarkan untuk pertanian milik Tuan Hasan. Bahkan, ia siap menuntut ganti rugi besar-besaran.

Di sisi lain, Tuan Hasan juga tahu risikonya. Jika pernikahan itu terlaksana, keluarganya akan menjadi salah satu yang terkaya di desa, hanya selangkah di bawah Juragan Said. Tapi jika gagal... seluruh usahanya bisa hancur dalam sekejap.

Pilihan yang dihadapi Ayu dan keluarganya kini bukan lagi sekadar tentang cinta, tapi tentang harga diri dan masa depan.

Dan sementara itu, jauh dari sana, Roni—lelaki yang sebenarnya dicintai Ayu—sedang dirawat oleh wanita lain yang diam-diam menyimpan rasa dan kebohongan di antara mereka.

Kisah cinta ini belum selesai. Justru baru akan dimulai. Dengan luka, kebohongan, dan harapan yang belum sepenuhnya pupus.

1
Mardelis
hal bisa, pasti putuss ditengah, jejejejje
Mardelis
roni roni, baik tapi mental kurang baik, heheheeh
Godoy Angie
Asik banget!
Aak Gaming: terus ikutin ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!