Keyz, pemuda berusia sekitar lima belas tahun tanpa sengaja menelan dua buah kristal kehidupan milik Gabrielle dan Lucifer.
Dua kekuatan yang bertolak belakang, cahaya dan kegelapan. Air dan Es. Menyelimuti dirinya.
Dan tiga kesadaran telah bersemayam di dalam jiwanya. Siapakah yang akhirnya nanti berkuasa atas tubuh Keyz?
Gabrielle?
Keyz sendiri?
Ataukah sang laknat dari neraka jahanam, Lucifer?
Ini sedikit berbeda dengan world without end yang sudah tamat, tapi akan saya tulis kembali dengan nuansa yang lebih mendalam. lebih gelap, dan lebih sadis. dan cerita yang sedikit berbeda.
dan pastinya, Keyz yang disini, bukan Keyz yang cemen!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Paraoh.... Ra'Horakthy....
1
_______________________________________________
Suara langkah bergema di ruang dalam piramida yang remang-remang. Pilar-pilar batu menjulang bagai penjaga bisu dari zaman yang terlupakan. Dindingnya dihiasi ukiran-ukiran kuno yang tak lagi bisa dibaca, namun masih menyimpan hawa kutukan. Di tengah ruangan yang luas dan tak berujung itu, sosok tinggi menjulang berdiri. Perban emas yang sudah memudar melilit dan membalut tubuh raksasa setinggi tiga meter. Di punggungnya, dua sayap besar terbentang, namun bukan dari bulu atau tulang—melainkan pasir yang terus bergerak, berputar pelan, seolah hidup. Dia adalah Paraoh.
Tanpa aba-aba, Paraoh mengayunkan kedua belati yang menancap di dadanya. Bunyi gemerincing dan desir pasir mengiringi setiap gerakannya. Belati itu tak hanya tajam, tapi tampaknya menyatu dengan kutukan ribuan tahun. Ia menyasar langsung ke leher Keyz.
"Cih...!" Keyz menyilangkan pedangnya, Elerion, menangkis serangan itu. Seketika pedang itu menyala—bukan dengan api, melainkan cahaya merah kehitaman yang menyerap cahaya di sekitarnya. Dentuman keras terdengar ketika logam bertemu logam, dan percikan energi menghantam lantai batu.
Paraoh tidak memberi jeda. Ia menyerbu dengan kecepatan yang tak masuk akal untuk tubuh sebesar itu. Serangan demi serangan seperti badai pasir yang tak henti, menyambar dari atas, bawah, samping, dan bahkan dari bayangan sendiri. Keyz hanya bisa bertahan, berusaha mengimbangi.
Di balik pilar, Alice mengangkat tongkat sihirnya. Matanya terpejam, bibirnya komat-kamit.
"Sagitta Corpus, Enchantia!" Cahaya biru lembut melesat dari tongkatnya dan membungkus tubuh Keyz. Seketika, tubuh Keyz bergerak lebih ringan, lebih cepat. Ia melompat ke belakang, lalu melesat ke depan lagi—kali ini, dia menyerang balik.
"Devil's Steb..." Dengan bisikan pelan, tubuh Keyz berubah menjadi bayangan gelap yang menyambar nyaris tak terlihat. Dia menukik dari sisi kiri Paraoh, lalu menghilang, muncul lagi dari belakang, lalu di atas. Pedangnya, yang kini berubah menjadi dua—Zaphkiel, pedan penjaga surga—menebas cepat.
Paraoh mundur, tapi tidak cukup cepat. Salah satu tebasan itu menembus balutan kain dan menggores daging busuk di bawahnya. Ia mengaum marah, pasir dari sayapnya beterbangan, dan ruangan bergetar.
Namun belum selesai.
Alice mengangkat kedua tangannya. Aura keemasan melingkari tubuhnya.
"Holy Light!!"
Puluhan pedang cahaya muncul di udara, berputar membentuk formasi melingkar di sekitarnya. Dengan gerakan tangannya, pedang-pedang itu meluncur ke arah medan pertempuran.
"Onichan! Jangan mundur!"
Keyz tak punya pilihan. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia berdiri di jalur serangan itu, namun tak bergeming. Pedang-pedang itu menembus tubuhnya tanpa melukainya. Seperti cahaya yang mengenal siapa kawan dan siapa musuh.
Berbeda dengan Paraoh. Puluhan pedang itu menancap di tubuhnya, menghancurkan sebagian sayap pasirnya, dan membuatnya jatuh berlutut. Tapi ia tidak hancur. Ia masih hidup. Matanya yang menyala hijau kini penuh amarah.
Dengan teriakan yang menggetarkan udara, Paraoh berdiri lagi. Ia berputar cepat, pasir dari sayapnya kini berubah menjadi badai yang memutar belati-belati kecil, melesat ke segala arah.
Keyz menghindar, melompat, berguling, dan menyelinap di antara serpihan pasir mematikan itu. Ia tidak lagi terlihat sebagai manusia, melainkan bayangan yang hidup. Kilat hitam yang tak bisa disentuh.
Alice berteriak lagi. Tangannya menjulang tinggi. Sebuah mantra baru keluar dari bibirnya. "Holy Blessing!!"
Cahaya hijau membungkus tubuh Keyz. Luka-luka di pundaknya sembuh. Darah yang sempat menetes kini kembali ke tubuhnya, menyatu. Nafasnya tenang kembali, dan matanya bersinar lebih terang.
"Terima kasih, Alice," ucapnya pelan, sebelum mengangkat pedang kembarnya dan bersiap untuk menyerang lagi.
2
_______________________________________________
Debu belum sepenuhnya reda ketika Keyz menarik napas dalam-dalam, tubuhnya masih berkilau oleh sisa-sisa sihir penyembuhan Alice. Luka-lukanya mulai menutup, tapi hatinya belum benar-benar tenang. Di depannya, Paraoh—makhluk yang tidak yang mungkin seharusnya tidak hidup di dunia ini—masih berdiri, meskipun tubuhnya kini tertusuk dan tercabik.
Sebuah desiran tenaga mengalir dari ujung jari hingga pundaknya. Keyz merunduk, lalu memutar tubuhnya perlahan. Ia menggenggam Elerion yang telah terpecah menjadi dua—Zaphkiel kembar—pedang legendaris yang kini terisi penuh dengan kekuatan gelap dan cahaya yang saling bertarung dalam bilahnya.
"Phantom... SLASH!!!"
Suara Keyz menggema di dalam Kuil Piramida itu. Seketika tubuhnya berubah menjadi bayangan hitam yang menari-nari di sekeliling Paraoh. Gerakannya begitu cepat hingga hanya siluet yang tampak, menyisakan jejak bayangan berlapis-lapis di udara. Setiap satu bayangan—meski hanya pantulan cahaya geraknya—menebas tubuh sang mumi raksasa, merobek kulitnya yang terbuat dari balutan kain suci dari zaman kuno dan menggores daging kutukannya yang abadi.
—ZRAATT—
—ZRAATT—
—ZRAATT—
—ZRAATT—
Tubuh Paraoh tersentak. Denting senjata yang menabrak tulang kering dan suara kain yang terkoyak memenuhi udara. Keyz, setelah beberapa putaran, melompat ke belakang. Beberapa salto ia lakukan sebelum akhirnya mendarat dengan mantap di lantai kuil yang berdebu. Matanya berkilat.
Ia tidak menyia-nyiakan momentum.
Dengan satu gerakan cepat dan penuh kekuatan, Keyz melemparkan kedua Zaphkiel itu ke arah Paraoh. Kedua pedang itu melesat membentuk pola X yang bercahaya merah menyala. Dalam waktu sekejap, X itu menjadi simbol kehancuran.
"X... Slash!!!"
—Zraaattt!!!!—
Dua bilah suci-surga itu melesat dan menghantam tubuh Paraoh. Suara robekan daging dan logam bercampur menjadi satu, lalu... sunyi. Zaphkiel kembali, perlahan, terbang memutar kembali ke tangan Keyz seperti dua roh yang tahu siapa tuannya.
Dan tubuh Paraoh...
...tercincang menjadi ratusan bagian.
Namun kengerian belum berakhir. Bagian-bagian tubuh itu mulai berkumpul. Serpihan kain suci bergerak menyatu, memaksa potongan-potongan tubuh raksasa itu untuk bergabung kembali. Tapi sebelum regenerasi itu sempurna...
Alice melangkah ke depan. Tubuhnya diselimuti aura putih lembut yang menyilaukan.
Ia mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, matanya menyala oleh cahaya surgawi. Dengan suara nyaring, ia mengucapkan, "Holly Rain!!!"
Langit-langit kuil yang gelap terbuka oleh pusaran cahaya. Dari atas, jutaan jarum bercahaya—jarum suci yang mengandung esensi cahaya murni—turun seperti hujan abadi. Mereka menghujani tubuh Paraoh, menusuk setiap potongan dagingnya, menghancurkan ikatan kutuk yang menjadikannya abadi.
Cahaya menelan kegelapan. Tubuh Paraoh hancur, meleleh, lalu memuai menjadi serpihan kain emas yang berterbangan—menari tertiup angin yang tiba-tiba muncul dari segala penjuru kuil. Suara dentingan kecil seperti lonceng menemani kepergiannya.
Dan di tengah kehampaan itu, di antara serpihan cahaya yang melayang, muncullah sebuah item.
Sebuah mahkota. Terbuat dari duri-duri emas yang teranyam melingkar.
"Drop item," gumam Alice, matanya tetap menatap tempat Paraoh lenyap. "Mahkota Duri Emas."
Keyz melangkah pelan, memungut mahkota itu dengan tangan kosong. Ia menatap benda itu sejenak, lalu menoleh pada Alice. "Entah aku harus takjub dengan sihirmu atau malah takut."
"Aah... Onichan jahat." Alice memasang wajah cemberut, namun setelah itu dia tersenyum dan mendekat ke arah Keyz. "Onichan juga hebat. Baru pertama kali ini aku melihatmu bertarung."
"Kita lanjutkan memeriksa tempat ini. Setelah itu kita ke tempat Suki dan Selene." kata Keyz.
"Benar. Kita sudah menyelesaikan bagian kita."
3
_______________________________________________
Sementara itu, di tempat yang lain. Suki fan Selene sudah mencapai lantai tertinggi Kuil Piramida kedua. Angin gurun menderu di sekeliling kuil piramida tertinggi, pasir beterbangan seakan enggan menyentuh tanah suci tempat Ra’Horakhty bertahta. Puncak piramida menjulang di atas awan kelabu, dan langit pun tampak terbakar oleh aura ilahi yang memancar dari satu sosok: Ra’Horakhty, sang dewa matahari, berdiri di depan takhta emas murni yang berkilau dalam kemegahan surgawi.
Dua sosok perempuan menapaki tangga terakhir: Suki, dengan pedang hitam pembawa kutukan gelap, dan Selene, penyihir bulan yang tenang dengan Book Of Solomon yang menggantung di udara di sampingnya.
Ra’Horakhty mengangkat tangannya—tanpa sepatah kata pun, ledakan cahaya menyambar dari telapak tangannya, menghancurkan sebagian lantai batu Kuil Piramida. Suki melompat ke depan, menarik pedang hitamnya yang berdesis bagaikan bisikan kegelapan, dan menangkis serangan itu dengan percikan energi yang menyalak seperti petir gelap dan cahaya surya yang bertubrukan.
"Dia tidak akan bicara, ya?" gumam Suki, menggeretakkan giginya. "Kalau begitu, kita kalahkan dia secepatnya."
Selene mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi. Kitab Solomon terbuka sendiri, halaman-halamannya berputar cepat, seperti merespons kemarahan pemiliknya.
“Ritus Pemanah Langit... Release.”
Di belakangnya, lingkaran sihir perak berputar dengan kecepatan luar biasa, membentuk pola geometris kuno. Udara mendesis, dan dari dalam pusaran itu, cahaya-cahaya menyala satu per satu—panah energi tak terhitung jumlahnya terbentuk dalam detik.
“MAGIC ARROW!!!”
—Sat!!—
—Sat!!—
—Sat!!—
Suara Selene mengguncang ruangan, dan panah-panah sihir melesat dalam badai cahaya mematikan ke arah Ra. Mereka menghujam tubuh Ra’Horakhty tanpa ampun, menembus armor emas, menciptakan ledakan kecil di setiap titik yang terkena.
Ra terhuyung. Dadanya berlubang. Sayap emas di punggungnya meleleh. Darah bercahaya menetes ke lantai piramida. Tapi ia... tertawa.
“Nehk'hu arat khar ra’shemun...” ucapnya dalam bahasa Mesir kuno yang terlupakan.
Aura matahari menyelubungi tubuhnya. Rantai sihir kuno muncul dan melingkari lukanya. Dalam sekejap, setiap luka menghilang, ototnya kembali utuh, dan sayapnya meregenerasi lebih megah dari sebelumnya.
Selene terperanjat. “Dia... Dia bisa melakukan sihir penyembuhan!!”
Suki mengayunkan pedangnya, menciptakan retakan pada lantai. "Kalau begitu, kita hanya perlu menghajarnya hingga dia tidak sempat melakukan sihir penyembuhan."
Ra’Horakhty membuka kedua tangannya, dan di atasnya, matahari mini terbentuk, menggeliat seperti bola api hidup. Seekor ular raksasa dari cahaya muncul dari dalam bola itu—Apophis—roh kekacauan kuno yang dirantai oleh Ra sendiri. Ular itu mendesis dan bersiap menyerang.
“Selene, lindungi dirimu!” teriak Suki. Ia melompat, mengayunkan pedangnya dengan energi kegelapan absolut.
Serangan pedangnya menghantam kepala ular itu dan membelokkannya, tapi ekornya menyeret Selene ke samping. Buku Solomon bereaksi, menciptakan perisai bulan untuk menyerap dampaknya, tapi tubuh Selene tetap terpental jauh.
Ra turun dari singgasananya. Cahaya matahari meledak di tiap langkahnya. “Kalian terlalu lemah... untuk melawan sang fajar abadi.” Kata Ra dalam bahasa Kuno.
Suki mendesis. Darah mengalir dari pelipisnya. "Maka mari ku buktikan, bahwa malam... bisa membungkam fajar." jawab Suki seolah dia mengerti apa yang dikatakan oleh Ra.
Ia melepaskan pengekang di lengannya. Pedangnya meledak dalam aura hitam kebiruan. Mata Suki kini bersinar—bukan dengan cahaya, tapi bayangan yang membisikkan kematian.
Selene bangkit dari reruntuhan. Buku Solomon menyala hingga membakar halaman-halamannya sendiri. "Kau tidak sendiri, Suki. Serangan berikutnya... akan aku hajar dia."
Suki mengangguk.
Ra melompat ke udara, mengangkat matahari mini di tangannya. “Ra’sh Emun!!!” Sebuah hujan api mulai turun dari langit-langit Piramida, membakar segala hal di sekeliling mereka.
Tapi dalam pusaran hujan api, dua cahaya bertabrakan: hitam dan hitam yang menghancurkan ruangan tingkat tertinggi dari Kuil Piramida.
NB. Ilustrasi Ra'Horakthy.
4
_______________________________________________
Langit di atas piramida seolah retak oleh hujan api. Suhu di dalam ruangan memanas hingga batu-batu mulai mencair, tapi Suki dan Selene berdiri tegak di tengah neraka itu. Aura keduanya menyatu dalam pusaran kekuatan yang membelah dimensi antara sihir dan kutukan.
Suki menyalakan pedangnya. Aura hitam pekat menjalar seperti akar pohon kutukan, membungkus pedangnya dengan energi murni dari dimensi kegelapan. “Aku akan benar-benar serius melawannya,” katanya dengan napas teratur, matanya bersinar tajam.
Selene mengangkat Book Of Solomon, yang kini terbuka penuh, dan seakan hidup sendiri. Halaman-halaman kitab itu menciptakan lingkaran sihir raksasa di atas mereka, berputar perlahan, memancarkan mantra-mantra kuno dalam berbagai bahasa surgawi dan neraka.
“Dengarkan aku, Suki. Saat aku bilang serang, kamu tebas garis tengah tubuhnya,” ucap Selene cepat.
“Serahkan padaku.”
Ra’Horakhty turun dari udara, kedua tangannya kini memegang tombak cahaya ganda, dan di belakangnya muncul matahari kembar, simbol kekuasaan langit dan waktu.
“Manusia... kalian ingin menggulingkan matahari? Kalian akan aku hancurkan sehancur-hancurnya.” Masih dengan bahasa Kuno.
Ra mengayunkan tombaknya, menciptakan gelombang ledakan panas yang merobek lantai kuil. Suki melompat, menebas gelombang itu menjadi dua. Di sisi lain, Selene mengeksekusi serangkaian mantra dengan kecepatan luar biasa.
“Astaroth. Belial. Zagan. Buka gerbang utara—dan lepaskan panah takdir!” Empat simbol iblis surgawi terbentuk dalam lingkaran sihir, lalu menyatu menjadi satu titik cahaya perak menyilaukan. Dari sana, muncul satu panah energi besar berujung bulan sabit, berdentum bagaikan meteor yang jatuh dari angkasa.
“Sekarang!” teriak Selene.
Suki bergerak seperti kilatan petir gelap. Dengan satu langkah yang mirip Ghost Step, ia muncul di hadapan Ra dan mengayunkan pedang hitamnya secara vertikal, menebas seluruh pusat tubuh dewa itu tepat saat panah Selene menghantam dari belakang.
Tubuh Ra terhenti.
Cahaya dari panah dan tebasan pedang menyatu... lalu meledak dalam ledakan diam, seperti alam semesta menghentikan waktu untuk sesaat.
Ra menatap dadanya—sebuah celah besar membelah dirinya dari atas ke bawah. “Tidak mungkin...” gumamnya, aura keilahiannya mulai retak.
“Aku bilang,” bisik Suki, “...malam pun bisa membungkam sang fajar.”
Tubuh Ra mulai bergetar hebat. Retakan cahaya menjalar dari dadanya, dan dari dalamnya keluar asap hitam—roh ilahi yang terbakar dari dalam. Ra menjerit, bukan karena sakit, tapi karena kehancurannya sudah tertulis di takdir baru.
Dengan jeritan yang menggetarkan langit, tubuh Ra meledak menjadi pecahan cahaya dan serpihan logam emas, sebelum memuai perlahan menjadi asap hitam pekat, terhisap ke langit piramida seperti malam yang menelan bintang terakhirnya.
Keheningan.
Di tengah lantai kuil yang hangus, hanya ada dua sosok perempuan yang berdiri, napas terengah, keringat dan debu menempel di wajah mereka.
Dan dari atas langit yang kembali cerah, sebuah benda kecil berkilau jatuh perlahan—mendarat dengan lembut di kaki mereka.
Mahkota Ra.
Emas murni dengan permata merah menyala di tengahnya. Di atas permata itu, terukir simbol matahari... yang kini redup. Sebuah tulisan muncul di udara:
“Drop Item: Divine Sun Crown – Relik Dewa Cahaya.”
Suki menatap mahkota itu. “Kau yang simpan,” katanya.
Selene tersenyum kecil. “Kau yang menebasnya.”
“Tapi panahmu yang menguncinya.”
Keduanya saling pandang, lalu tertawa—meski peluh belum mengering.