NovelToon NovelToon
PENGAKUAN DIJAH

PENGAKUAN DIJAH

Status: tamat
Genre:Romantis / Komedi / Petualangan / Contest / Tamat
Popularitas:15.7M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.

Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.

***

"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."

Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.

Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.

Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

21. Perdana Pacaran

Berakit-rakit ke hulu,

berenang-renang ke tepian.

Sebelum membaca novelku,

Tombol like-nya harap ditekan.

Cakeeep...

************

"Hari ini yang anak baru akan digabungkan dengan seniornya. Pergrup empat orang. Dijah ikut kelompok satu. Nanti langsung ikut seniornya. Dilihat bagaimana teknik selling mereka seperti yang diajarkan waktu role play (latihan) tadi. Hari ini sebagai pembuka cuma dikasi dua slop dulu. Tapi kita juga ada bawa merchandise yang bisa ikut dijual ya. Topi, kaos, pemantik, tumbler dan mug. Cuma piring cantik aja kita yang nggak ada. Kalo ada yang ngegodain dan minta nomor hape, kasi aja. Tapi suruh beli satu kardus."

Itu adalah wejangan seorang leader grup yang memimpin 16 orang wanita muda berpakaian seksi untuk berkeliling promosi malam hari itu.

Produk rokok yang Dijah bawa hari itu bukan brand rokok baru. Bisa dibilang, perusahaannya sudah sangat mendominasi dan brandnya termasuk kelas atas.

Keberadaan SPG bulan hanya sebagai sarana promosi utama, tapi juga merupakan perpanjangan tangan perusahaan untuk menciptakan brand image.

Dijah bisa dikatakan beruntung bisa bekerja sebagai SPG di sana meski hanya tiga kali seminggu. Pekerjaannya tak berat dan tak ada target. Mereka memang harus berjalan seluwes dan seelegan mungkin.

Sesampainya di perusahaan itu, Dijah sedikit terkejut melihat Tini yang biasa asal dalam berbicara, di sana tampak lebih kalem. Meski terkadang umpatan-umpatan wanita itu masih terdengar jika ada seorang calon pembeli yang mengatakan hal aneh soal rambutnya.

Dalam setengah jam pertamanya, Dijah telah berhasil menghabiskan satu slop rokok yang dibeli oleh seorang pria gemuk yang sepertinya memang seorang perokok berat. Dijah tak perlu berkata banyak-banyak, pria itu langsung mengeluarkan dompetnya dan mengangsurkan lima lembar uang seratus ribu seraya berkata, "ambil aja kembaliannya."

Andai saja mencari uang semudah ini, pikir Dijah. Ia cepat belajar, dan tiga orang seniornya berpencar untuk menghabiskan dagangan mereka malam itu.

Sudah mulai malam dan Dijah belum terlalu jauh berjalan. Ia baru menyusuri setengah jajaran warung. Kakinya yang tak terbiasa memakai sepatu hak tinggi, langsung terasa sakit di bagian telapaknya. Untungnya stocking yang dikenakan Dijah menghalangi kakinya bergesekan langsung dengan kulit sepatu murah yang keras.

Dijah sampai di sebuah warung dan menuju sebuah meja yang terisi seorang pria muda. Namun bukannya membeli rokok yang berada di tangannya, pria itu malah meminta nomor ponselnya. Ternyata hal seperti ini memang ada, pikir Dijah. Pantas saja leadernya tadi mengingatkan mereka akan hal itu.

"Eh tunggu, sini dulu deh. Itu temen saya belum ditanyain. Kamu udah punya pacar belum?" tanya pria muda itu saat Dijah mau melangkah meninggalkannya.

Namun saat Dijah melangkah, seorang pria yang dimaksudkan berbalik menatapnya. Bara. Sedang apa pria itu di sini.

Sesaat Dijah juga terperangah menatap Bara. Pandangan laki-laki itu langsung mengulitinya. Dijah merasa pandangan Bara sampai menembus ke tulang-belulang saking tajamnya tatapan pria itu.

Menghindari sedikit kekakuan yang sedang terjadi, Dijah langsung bertanya apa yang dilakukan pria itu di sana. Bara masih diam seperti sedang berpikir-pikir.

"Ngapain di sini? Berburu Berita?"

"Iya..." sahut Bara. Tapi wajah Bara seperti masih tak sadar dengan lingkungan sekitarnya.

"Mbak, kenal Mas Bara ya? Aku boleh minta nomor hapenya kalo gitu?" suara pria muda yang ternyata teman Bara membuyarkan mata mereka yang sedang beradu pandang.

"Apa? Nomor hapenya? Pacar gue ini. Masih mau nomor hapenya Lo?" tanya Bara yang sepertinya sudah menyadari tingkah Bayu.

"Eh, maaf. Kan katanya ke sini mau ngeliput demo. Aku yang nggak tau kalo ketemu pacar Mas Bara di sini. Kenalin Mbak, aku Bayu. Juniornya Mas Bara di kantor." Bayu mengulurkan tangannya pada Dijah. Dijah menyambut uluran tangan Bayu sekilas kemudian kembali memandang Bara.

"Aku lanjut jalan dulu ngabisin ini ya... Nggak enak kalau diliat leadernya. Dia keliling terus soalnya." Dijah menatap Bara yang masih berdiri di depannya.

Malam itu Bara mengenakan sebuah kemeja flanel berwarna hijau lumut. Tangannya masih menggenggam sebuah jaket yang belum sempat diletakkannya di stang motor seperti biasa.

"Selesainya jam berapa?" tanya Bara pelan. Mendadak ia merasa kembali ke zaman kuliah dulu. Masa-masa awal Bara jatuh cinta dengan seorang wanita dan mengantar jemputnya ke mana-mana.

"Mungkin dua jam lagi, atau bisa lebih. Emang kenapa?" tanya Dijah.

"Pulangnya bareng aku, aku tunggu."

"Lah Mas? Nggak jadi ngeliput demo? Aku pulang gimana?" tanya Bayu. Bara hanya melirik sekilas pada juniornya kemudian kembali menatap Dijah.

"Aku tunggu,"

"Tapi kalau kelamaan bakal capek, aku nggak enak ditungguin."

"Kenapa harus nggak enak? Kan aku yang nungguin," tukas Bara sedikit cemberut.

"Kalau kelamaan tinggalin aja nggak apa-apa. Aku biasa pulang sendiri."

"Aku nggak mau itu jadi hal biasa lagi," tambah Bara.

Tiba-tiba,

"Dijah! Udah habis?" Tini yang sedang melintas dengan seorang SPG cantik lainnya menghampiri Dijah.

"Ada Mas Bara juga rupanya..." tukas Tini.

"Iya, nggak sengaja ketemu. Katanya mau meliput berita," terang Dijah.

"Halaaahh... Nggak percaya aku. Paling juga ke sini karena ngintilin kamu Jah! Terlalu kebetulan kalo ketemu di sini nggak sengaja. Ngaku Mas Bara... Udah kecantol ama aroma Dijah." Tini terkikik sendirian.

Dijah yang sebenarnya sudah mengerti bahwa Bara ke sana pasti memang mencarinya, menjadi sedikit geli mendengar kejujuran Tini berpendapat.

"Sembarangan..." gumam Bara.

"Gimana? Dijah cantik kan? Aku yang makeup-in dia looh... Pasti suka, Dijah manglingi. Nanti malem mau nginep lagi di kostan pasti..." Tini kemudian kembali tertawa dan menggandeng lengan temannya pergi menjauhi mereka.

Benar saja dugaan Bara. Tini adalah biang kerok make up Dijah. Meski Bara suka melihat Dijah makin cantik, tapi Bara membayangkan bahwa sepanjang malam itu pria seperti Bayu yang meminta nomor ponsel Dijah pasti akan bertambah.

"Aku pergi dulu ya..." ujar Dijah kemudian.

"Aku tunggu di sini," jawab Bara. Dijah tersenyum tipis kemudian melanjutkan langkahnya melewati meja mereka.

"Kenalan di mana Mas? Kenalin aku satu, biar aku nggak nonton film begituan lagi," ujar Bayu.

"Terus kamu mau apa?" tanya Bara.

"Yah sapa tau, diajak nginep di kostan juga. Itu temennya pacar Mas, semok-semok semua. Apa SPG rokok harus semok gitu ya Mas... Gemes banget," ucap Bayu dengan polosnya.

"Bay, Lo pulang naik ojek atau taksi aja ya. Gue tadi maksudnya mo minta temenin biar nggak mati gaya aja,"

"Mas Bara memanfaatkan aku. Aku nggak apa-apa, tapi kenalin dulu ama cewe. Itu temennya yang rambutnya merah tadi juga nggak apa-apa. Semok juga."

"Hah? Tini? Jangan... Dia udah ada pacarnya. Pacarnya rajin," sahut Bara.

"Rajin gimana?" tanya Bayu heran.

"Rajin pokoknya. Bukan tandingan Lo," jawab Bara dengan pandangan yang melayang ke arah Dijah yang sedang berbicara dengan seorang laki-laki di kejauhan.

Pukul 10 malam, Bara yang telah ditinggalkan Bayu sejam yang lalu masih duduk mengaduk gelas kopinya yang ketiga. Dijah beberapa kali melintasinya tanpa menoleh seolah tak mengenalnya.

Perasaan dicuekin itu membuat Bara semakin tak sabar menunggu jam kerja wanita itu berakhir.

Beberapa menit kemudian, Dijah datang mendekati meja Bara. Di bahunya sudah tersampir sebuah Tote bag yang biasa dikenakannya.

"Udah selesai?" tanya Bara mendongak menatap pacarnya. Ia, Dijah sekarang pacarnya kan? Itu alasannya dia duduk di warung kopi itu dan minum kopi sampai kembung.

"Udah, kakiku pegel." Dijah berdiri di seberang meja Bara.

"Duduk dulu sini," ujar Bara menarik sebuah kursi plastik di sebelahnya.

"Kalau langsung pulang aja bisa?" tanya Dijah. "Aku capek," sambung wanita itu lagi dengan wajah yang menyiratkan kelelahan.

"Oke, langsung pulang." Bara berdiri dan menuju ke balik steling kaca untuk membayar semua tagihannya sejak sore tadi.

Bara mengeluarkan sepeda motornya dari himpitan sepeda motor yang kini semakin padat memenuhi tepi jalan yang berbatasan langsung dengan jajaran warung kopi.

Beberapa pasang mata pria tak segan-segan memperhatikan Dijah yang berdiri di sebelah Bara yang tengah menyalakan motornya.

"Sini tasnya." Bara meminta tas yang dikenakan Dijah untuk diletakkan di stang motornya.

"Aku pegang aja nggak apa-apa," sahut Dijah.

"Aku pegang tasnya, kamu pake jaket aku ini Dijah. Itu rok kamu pendek banget. Dari rumah tadi langsung pake itu?" tanya Bara seraya mengangsurkan jaketnya.

"Enggak, pake jeans. Ini gantinya di kantor. Jeansnya dalem tas." Dijah menyodorkan tasnya pada Bara dan segera dicantolkan pria itu ke stang. Bara kemudian mengambil helm pink dan memakaikannya pada Dijah.

"Ya udah naik, itu jaketku buat nutup pahanya. Ada banyak lampu merah yang bakal dilewatin. Naik, pegangan ke aku." Bara sedikit mengomel kemudian mengatupkan mulutnya. Ia menunggu Dijah yang sedang menginjak sadel boncengan dengan kaki kanannya dan duduk menyamping.

Bara tersenyum puas. Kali ini Dijah tak ada pilihan. Wanita itu harus duduk di boncengan sambil memeluknya.

Boncengan motor besar yang memang menukik ke depan, langsung membuat Dijah merosot ke punggung Bara.

"Tangannya mana?" tanya Bara yang merasakan Dijah hanya mencengkeram tepi kemejanya.

"Udah, ayo jalan." Dijah masih rikuh jika harus menyentuh- nyentuh tubuh Bara. Meski sebenarnya ia juga memiliki keinginan untuk melakukan hal itu.

Bara meraih tangan Dijah kemudian melingkarkan tangan itu ke pinggangnya.

"Peluk aja, kan udah pacaran. Kamu nggak pernah pacaran emangnya?" tanya Bara masih menggenggam tangan kanan Dijah di atas perutnya.

"Nggak pernah," jawab Dijah singkat. Bara terdiam kemudian melajukan motornya.

"Kalo capek, nggak usah jadi SPG lagi ya... Cari kerjaan lain." Bara masih membuka kaca helmnya untuk mendengar jawaban Dijah, tapi wanita itu hanya diam tak menjawab. Dijah masih berpegangan memeluk pinggangnya dengan satu tangan saja.

Dijah keras kepala sekali pikirnya. Wanita itu benar-benar hanya sekedar melingkarkan satu tangannya saja. Beberapa malam yang lalu Dijah padahal sudah berhasil dilucutinya tanpa perlawanan berarti. Wanita itu juga ikut menikmati sentuhan dan ciuman yang dilakukannya. Tapi sekarang hanya untuk memeluknya pun, Dijah masih gengsi.

"Pegangan," teriak Bara dari balik helmnya. Sedikit kesal Bara menutup kaca helm dan menambah kecepatan motornya.

Posisi duduk Dijah kemudian semakin menempeli punggung Bara. Dijah sudah sedikit pegal. Kemudian dengan membuang rasa risih dan sungkannya karena khawatir dianggap murahan, ia mulai melingkarkan kedua tangannya memeluk pinggang Bara.

Jaket Bara menutupi paha dan terikat di pinggangnya. Dijah memeluk bahu lebar yang pertama kali dikaguminya dari Bara.

Punggung Bara hangat, batinnya. Padahal pria itu hanya mengenakan selembar kemeja yang tergulung sampai ke sikunya. Dijah menekankan tubuhnya dan semakin mengeratkan pelukannya. Perlahan ia meletakkan pipinya bersandar pada bahu pria itu.

Nyaman sekali, batin Dijah. Ia sangat lelah, dan bahu Bara terasa nyaman sekali dijadikan tempatnya bersandar.

Bara yang sedikit gemas karena Dijah tak mau memeluknya kini tersenyum simpul di balik helmnya. Angannya yang sempat buyar tadi, kini tersusun kembali.

Ia kembali membayangkan, setibanya di kamar Dijah nanti apakah ia harus menunggu di luar atau boleh tetap di dalam kamar saat wanita itu berganti pakaian. Ia mulai tersenyum licik dan sepasang tanduk tak kasat mata muncul di kepalanya.

Kemudian ia memikirkan soal Dijah yang lelah dan pegal. Haruskah malam ini dia yang memijat Dijah? Kalau Dijah tak menolak, ia bersedia sekali memijat Dijah malam ini pikirnya.

Bara bisa merasakan Dijah yang semakin mengeratkan pelukannya. Wanita itu juga telah menyandarkan kepalanya. Pelukan Dijah terasa mantap di tubuhnya.

Saat mereka berhenti di lampu merah, Bara mengusap dan membelai tangan Dijah yang sedang memeluknya. Dijah pasti lelah sekali.

Kini, Bara semakin sadar bahwa ia benar-benar harus segera menyelesaikan tesisnya.

To Be Continued.....

1
echa purin
👍🏻
lily
nah gitu stlh nikah langsung bsa nempatin rumh baru
lily
akhirnya wisuda juga ya bar
lily
pak Wirya dosen psikolog jdi tau pasti harus bagaimana menyikapi sudah sepatutnya seperti ini , tapi memang pak Wirya ayah yg bijaksana terlepas dari embel2 dosen dll
lily
nangis ke sekian kali,,, Dijah
lily
tiba tiba nangisin dijah
lily
deg serrrr
lily
tpi emang bner ada kok bapak model gni, ibu model morotin anak juga ada,,, gak penting anak mau pulang apa kagak yg penting duwitnya ,,,,
lily
kelakuan tini 🤣🤣
lily
🤣🤣🤣kelakuan tini
lily
tini ngerti amat sih
lily
aku ngajak banget,, biasanya yang bilang astaga, itu si bara skrng si Tini hahaha
lily
bijak amat pak Wirya
lily
kamvret 😂
lily
tini ih harus di sensor itu wkwkwk
lily
bara dih ceplos amat wkwkw
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ayo bude Tini...... bantai nih laki²
Hani Hanifah
pernah di posisi ini, saat kami ngotot berharap punya anak kedua, ga dikasih aja, saat 6 tahun berlalu, dan kami berdua sudah pasrah, ALLAH kasih kehamilan yang tak diduga bahkan saya minum obat warung abis 2 strip karena badan merasa demam dan kepala pusing, tapi klo ALLAH sudah berkehendak janin pun tetap tumbuh kuat di dalam rahim. sekarang anak kedua saya udah 8 tahun😇.
Hani Hanifah
Dijah mah wonder woman, cuma kaleng doang mah cetek...sekali pukul langsung gepeng..😂
Wandi Fajar Ekoprasetyo
ternyata kebiasaan Bara(astaga)tuh awalnya dr cerita ini ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!