Mengisahkan seorang crazy rich, Ditya Halim Hadinata yang memperjuangakan cinta seorang gadis dari keluarga biasa, Frolline Gunawan yang tidak lain adalah kekasih keponakannya sendiri, Firstan Samudra.
Ikuti terus ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Casanova, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Kita akan membawanya ke Singapura
Begitu jarak tinggal selangkah, Ditya langsung memeluk erat Frolline.
“Jangan khawatir, Fro. Semua akan baik-baik saja. Aku akan mengurusnya untukmu,” bisiknya lembut, sembari membungkuk. Memeluk Frolline yang duduk mematung di kursi depan ruang ICU.
Frolline tidak menjawab, tetapi gadis itu juga tidak menolak. Menikmati ketenangan yang disalurkan ke dalam dirinya melalui pelukan hangat. Pelukan hangat dan memabukan seorang Ditya Halim Hadinata.
“Semuanya pasti baik-baik saja,” ucap Ditya menenangkan sebelum akhirnya melepas pelukan.
Lelaki itu mengambil tempat duduk tepat di sebelah Frolline. Bersandar di dinding sembari memejamkan matanya. Saat ini, dia merasa harus menjadi seseorang yang bisa diandalkan Frolline, menjadi pundak tempat Frolline bersandar.
Lama terpejam, sampai Ditya tertidur. Bukan itu saja, kepalanya sudah terjatuh menumpang di bahu Frolline. Beruntung gadis itu tidak protes seperti biasanya, membiarkannya terlelap. Mungkin kesedihan membuat gadis itu tidak memiliki tenaga lagi untuk sekedar menolak.
Melihat itu, Matt bergegas membangunkan. Tidak membiarkan harga diri majikannya hancur karena tidur sembarangan. Apalagi sampai terkena omelan gadis incarannya.
“Bos, mau aku siapkan baju ganti?” tanya Matt, menguncang kecil pundak Ditya, mencari alasan yang paling masuk akan untuk membangunkan Ditya.
Ditya terlalu lelah. Semalam berpesta dengan temannya sampai menjelang pagi. Rencanaya dia ingin tidur sampai matahari menyingsing tepat di atas kepala. Namun, panggilan Matt di ponselnya membuat semua rencananya batal. Belum lagi berita yang disampaikan Matt, membuat dia tidak bisa memejamkan matanya kembali sebelum bertemu Frolline.
Masih dengan wajah bantal, rambut berantakan dia menyeret tubuhnya bangun dan naik ke burung besi raksasanya hanya demi menemani gadis yang disayanginya. Membatalkan rencana ke Singapura dan memilih menghabiskan waktu bersama Frolline di rumah sakit.
“Maaf Fro, aku kurang tidur,” sahut Ditya dengan suara serak. Berusaha menegakan duduknya.
“Bos, mau aku bawakan baju ganti?” Matt mengulang pertanyaan.
“Tidak perlu, sepertinya aku harus mandi juga,” ucap Ditya, menggoyang kecil kepalanya. Berusaha mengusir jauh pusing yang menyerang kepalanya.
“Fro, aku tinggal sebentar tidak apa-apa?” tanya Ditya, mengusap matanya yang memerah.
“Nanti aku akan kembali ke sini. Kamu mau dibawakan apa?” tanyanya lagi.
Namun, gadis yang sejak tadi diajaknya bicara hanya menggeleng. Menatapnya sekilas, kemudian menjatuhkan pandangannya lagi.
Melihat Frolline yang bersikap dingin seperti itu, membuat Ditya mengurungkan niatnya. Meraih pundak gadis dengan setelan orange dan membawanya ke dalam dekapan. Di saat seperti ini, dekapan hangat adalah penyemangat terbaik untuk Frolline.
Dan benar saja, lima menit memeluk Frolline, akhirnya gadis itu bereaksi. Menangis tersedu-sedu sembari memeluk balik pinggang Ditya.
Suara tangis yang begitu memilukan disertai tarikan nafas panjang membuat Ditya tersentuh.
“Semuanya akan baik-baik saja. Kita lihat bagaiamana perkembangan papamu. Kalau tidak ada perubahan, kita akan membawanya ke Singapura,” ucap Ditya sembari mengusap lembut rambut panjang Froline yang tergerai indah.
“Terimakasih,” bisik Frolline di sela isak tangisnya. Hanya itu saja kata yang sanggup keluar dari bibir mungilnya. Otaknya tidak bisa diajak untuk berpikir lebih.
“Kamu sudah memberitahu mamamu? Kemana keluargamu yang lain?” tanya Ditya. Sejak tadi, dia tidak melihat Angella ataupun Firstan ada di sini.
Sebuah gelengan kuat berasa di dada, sebagai bentuk jawaban Frolline dan pertanyaan yang diajukan Ditya.
“Mau aku bantu menghubungi?” tawar Ditya.
“Jangan,” tolak Frolline.
Ditya yang tidak tahu apa-apa, hanya mengerutkan dahi, melanjutkan penawaran keduanya. “Aku akan memberitahu Kak Rissa,” ucapnya.
Setelah merasa tidak ada penolakan, tangannya langsung mengeluarkan ponsel dari saku celana, menghubungi nomor kakaknya, Marisa. Dengan kehadiran kakaknya, Ditya bisa lebih tenang meninggalkan Frolline.
***
Tidak berselang lama, dari ujung lorong tampak Marisa belari dengan nafasnya yang memburu. Dia sedang memasak saat Ditya menghubunginya. Dengan panik langsung berlari ke rumah sakit begitu mendapat kabar mengejutkan dari sang adik.
Senyum Marisa terkembang kala langkah kakinya kian mendekat. Adiknya Ditya sedang memeluk erat Frolline. Keduanya duduk bersisian di depan ruang ICU.
“Apa yang terjadi?” tanya Marisa. Menatap keduanya, menunggu jawabannya. Nafasnya masih tersengal, kepanikan membuatnya tidak bisa berpikir jernih. Nyaris saja dia lupa mematikan kompor saat buru-buru berlari ke rumah sakit.
“Papa kecelakaan,” sahut Frolline tercekat. Melepaskan pelukannya pada Ditya, berganti menghambur pada Marisa.
“Lalu First dan Angella dimana? Mami tidak melihat mereka.” Marisa mengedarkan pandangannya. Rasanya aneh di saat segenting ini, keduanya tidak ada. Menyisahkan Frolline sendirian mengurus semuanya.
“Kak Angell pingsan. First sedang menungguinya,” sahut Frolline, terlihat lebih tegar, sudah mau bercerita.
“Angell baik-baik saja?” tanya Marisa lagi. Mendengar Angella yang pingsan, rasa khawatirnya muncul ke permukaan. Bagaimanapun, menantunya itu sedang hamil. Dia tidak mau sampai terjadi sesuatu pada Angella dan bayinya.
“Sudah, jangan menangis. Papi sedang dalam perjalanan ke sini,” jelas Marisa, dengan ujung jarinya, mengusap airmata yang menghiasi wajah Frolline, sesekali mengusap lembut pucuk kepala gadis yang sudah dianggapnya seperti putrinya sendiri.
Memandang kakaknya dan Frolline memeluk sembari berdiri, Ditya memberi tempat duduknya pada Marisa.
“Duduk Kak!” pintanya, berganti dia yang berdiri saat ini.
“Kak, aku juga harus pamit. Aku titip Fro,” pintanya lagi.
“Kamu mau kemana?” tanya Marisa heran.
“Aku baru tiba di Jakarta. Masih jetlag, Kak,” canda Ditya, mengusap wajah kurang tidurnya, dengan garis hitam di bawah matanya.
Tamparan keras mendarat mulus di lengan kekar Ditya, menimbulkan bekas kemerahan.
“Ah.. Kak! Ini sakit sekali!” keluh Ditya mengusap bekas pukulan sang kakak.
“Jangan bilang kamu pesta sampai pagi lagi!” omel Marisa.
“Sudah, jangan mengomel seperti mama. Aku pulang sebentar. Tidak lama, aku akan segera kembali. Aku titip Fro, Kak,” pamit Ditya.
Lelaki itu menatap Frolline, rasanya ingin memeluk gadis itu kembali. “Fro, aku pulang sebentar,” bisiknya pelan pada gadis yang dipeluk kakaknya.
***
Ditya sudah duduk di mobilnya saat memberi perintah pada Matt. Lelaki itu tampak masih kepayahan, terlalu mengantuk dan kurang tidur. Memijat pelipisnya perlahan.
“Matt, cari semua informasi tentang kecelakaan Gunawan!” perintah Ditya.
“Baik Bos!”
“Cari informasi mengenai kondisi Gunawan di rumah sakit. Aku tidak tahu bagaimana caramu mendapatkan informsi rahasia itu. Segera laporkan padaku dan aku harus mengetahui semuanya tanpa terkecuali.”
Jeda sejenak, Ditya terlihat berpikir.
“Aku mungkin akan membawanya ke Singapura, siapkan segala sesuatunya. Cari rumah sakit terbaik di sana dan siapakan tempat tinggal untuk Frolline disana.”
“Baik Bos,” sahut Matt singkat.
“Kalau jarak rumah sakit dekat dengan apartemenku, tidak masalah Fro menempatinya selama di sana. Tetapi kalau terlalu jauh, cari apartemen terdekat. Pastikan gadisku nyaman,” lanjut Ditya.
Matt hanya mengangguk pertanda dia sudah mengerti. Mengerti akan cinta majikannya yang tidak main-main.
***
T b c
Love you all
Terima kasih.
ngulang baca lagi