⚠️ sebelum baca cerita ini wajib baca Pengantin Brutal ok⚠️
Setelah kematian Kayla dan Revan, Aluna tumbuh dalam kasih sayang Romi dan Anya - pasangan yang menjaga dirinya seperti anak sendiri.
Namun di balik kehidupan mewah dan kasih berlimpah, Aluna Kayara Pradana dikenal dingin, judes, dan nyaris tak punya empati.
Wajahnya selalu datar. Senyumnya langka. Tak ada yang tahu apa yang sesungguhnya disimpannya di hati.
Setiap tahun, di hari ulang tahunnya, Aluna selalu menerima tiga surat dari mendiang ibunya, Kayla.
Surat-surat itu berisi kenangan, pengakuan, dan cinta seorang ibu kepada anak yang tak sempat ia lihat tumbuh dewasa.
Aluna selalu tertawa setiap membacanya... sampai tiba di surat ke-100.
Senyum itu hilang.
Dan sejak hari itu - hidup Aluna tak lagi sama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim elly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 22
“Mau jajan,” ucap Ray sambil tersenyum lebar.
“Jajan apa?” tanya Aluna dingin tanpa menoleh, suaranya datar seperti biasa.
“Aku nanya, sayang,” balas Ray, mencoba bercanda.
“Aku biasanya Gue,” sahut Aluna menegaskan.
“Hm... mau aku–kamu aja, biar romantis,” goda Ray lagi sambil melirik manja.
“Boleh,” jawab Aluna singkat, matanya menatap deretan jajanan di warung pinggir jalan. Tapi sorotnya hambar.
“Mau apa?” tanya Ray lagi, menunggu.
“Nggak mau. Nggak ada yang enak,” gumam Aluna, lalu berbalik meninggalkan warung.
Ray hanya menghela napas kecil, lalu menyusulnya.
Keduanya berjalan pelan di antara kebun teh yang terbentang luas. Kabut tipis turun, udara mulai menusuk kulit. Daun teh bergoyang pelan diterpa angin, seolah ikut mendengar percakapan mereka yang perlahan berubah serius.
“Kalo Papa aku nikah lagi... gimana ya?” tanya Aluna tiba-tiba. Tatapannya kosong ke arah lembah hijau.
Ray menoleh. “Izinin aja, Al. Dari dulu Papa kamu kesepian.”
Aluna menarik napas panjang. “Aku tuh sakit hati kalo Papa kenalin cewek lain. Kayak... nggak rela aja kalau Papa nanti punya istri, punya anak lagi.”
Suaranya bergetar. Di ujung matanya, air bening mulai berkumpul.
Ray terdiam sejenak sebelum menjawab, “Tapi kasian loh Papa kamu. Dia kepikiran Ibu kamu terus. Kalau dia nikah... setidaknya dia bisa sedikit melupakan rasa sakit itu.”
Aluna menunduk, suaranya menipis, “Aku nggak mau Papa diambil orang lain...” ucapnya manja, tapi nadanya lebih mirip tangisan yang ditahan.
“Aluna, jangan egois ya. Papa kamu juga harus bahagia, sayang,” ucap Ray lembut, menatap wajah gadis itu yang kini mulai basah oleh air mata.
Tiba-tiba, ponsel Aluna berdering. Nada dering itu memecah suasana tenang kebun teh.
“Tumben... Nenek telepon,” gumamnya sambil menatap layar.
“Halo?”
“Sayang, kamu di mana?” suara Bu Ami terdengar cemas dari seberang.
“Lagi main, Nek. Kenapa?”
“Papa kamu sakit, sayang. Pulang ya.”
Aluna langsung tegak. “Apa?! Papa sakit apa?”
“Demam tinggi, darahnya naik. Sekarang dirawat di rumah sakit.”
Wajah Aluna seketika pucat. Tanpa pikir panjang, ia menarik tangan Ray. “Cepet! Kita pulang sekarang!”
Ray segera membereskan barang, lalu mereka berdua berlari menuju motor. Angin dingin menampar wajah mereka di sepanjang perjalanan turun dari kebun.
“Papa tuh kenapa sih? Kemarin baik-baik aja!” ucap Aluna kesal, air mata mengalir deras tanpa bisa ia tahan.
“Udah... tenang dulu, ya,” ucap Ray pelan sambil mempercepat laju motor sport-nya.
Satu jam kemudian, mereka tiba di rumah sakit. Aluna berlari masuk tanpa menunggu Ray mematikan mesin motor.
“Papa!” serunya panik begitu melihat Axel di ranjang.
Axel tersenyum lemah. “Loh, kok pulang?”
“Nenek telpon katanya Papa sakit. Aku khawatir banget,” jawab Aluna dengan suara bergetar, mengusap air matanya cepat-cepat.
“Papa nggak apa-apa kok, cuma kecapekan. Banyak meeting,” ujar Axel menenangkan.
Tapi Aluna tiba-tiba terdiam. Tatapannya menajam — di sudut ruangan berdiri Laura, tersenyum lembut.
“Kenapa dia di sini?” tanya Aluna tajam.
“Tante cuma jenguk Papa kamu,” jawab Laura sopan.
Namun mata Aluna langsung berpaling ke Axel. “Katanya Papa nggak bakal ketemu dia lagi,” ucapnya marah, nada suaranya meninggi.
“Al...” Ray menepuk bahunya pelan, berbisik, “Papa kamu lagi sakit, jangan sekarang.”
Tapi Aluna tak menggubris. “Papa gitu... Papa nggak sayang Aluna!” teriaknya sambil menangis keras.
Axel menghela napas panjang. Ia ingin memeluk putrinya, tapi jarak di antara mereka terasa terlalu jauh siang itu.
“Sayang... Tante Laura cuma jenguk Papa. Masa nggak boleh?” ucapnya lembut, hampir memohon.
“Aluna nggak suka! Papa jahat!” seru Aluna. Dada kecilnya naik turun karena amarah dan sesak.
“Al, di luar yuk,” ucap Ray sambil mencoba menggenggam tangannya.
Namun Aluna menepisnya kasar. “Jangan ikut campur, Ray!”
Pintu ruangan terbuka. Bu Ami datang dengan langkah tenang, wajahnya teduh.
“Aluna, di luar yuk, sayang,” ucapnya lembut.
Suara neneknya seperti mantra. Perlahan, Aluna patuh. Ia keluar dan duduk di kursi tunggu rumah sakit.
“Aluna,” ucap Bu Ami lembut. “Jangan gitu, ya. Papa kamu harus nikah lagi.”
“Nggak mau! Aluna nggak mau punya ibu tiri!” teriaknya sambil menunduk, bahunya bergetar menahan tangis.
Bu Ami mengelus kepala cucunya dengan sabar. “Papa kamu udah lama menduda, sayang. Dia jagain kamu dari kecil, rela nggak nikah lagi demi besarin kamu. Sekarang kamu udah besar... biarin Papa kamu bahagia, ya?”
Suara Bu Ami tenang, tapi penuh makna.
Aluna terdiam. Matanya kosong, tapi air mata terus mengalir tanpa henti. Hanya Bu Ami yang bisa menenangkan badai di hatinya.
Tak lama, Aluna berdiri dan berjalan keluar rumah sakit. Pipinya basah, matanya sembab.
Ray mengikutinya dari belakang.
“Mau ke mana?” tanya Ray saat sampai di parkiran.
“Bawa aku ke mana aja... Aku nggak mau di sini,” ucap Aluna pelan tapi penuh luka.
Ray mengangguk, tak banyak bicara. Ia hanya menyalakan motor dan membiarkan gadis itu bersandar di punggungnya.
Angin sore berhembus dingin. Mereka akhirnya berhenti di sebuah kafe rooftop — tempat mereka biasa menenangkan diri. Dari sana, lampu kota terlihat seperti ribuan bintang yang jatuh.
Aluna duduk diam. Tatapannya kosong, menatap jauh ke jalanan di bawah sana.
Ray menatapnya dari samping, tangannya sibuk memutar gelas kopi yang sudah dingin. Ia tahu, tidak ada kata yang cukup untuk menenangkan Aluna sore itu.
Gelombang waktu berlalu tanpa suara. Minuman mereka sudah berganti beberapa kali, tapi Aluna tetap diam.
Telepon berdering berkali-kali, ia biarkan begitu saja.
Hingga akhirnya malam benar-benar larut.
“Pulang yuk,” ucap Ray pelan.
“Anter ke rumah Papa Romi,” jawab Aluna tanpa ekspresi.
Ray hanya mengangguk, menggenggam tangan Aluna sejenak sebelum berdiri.
Malam itu, ia mengantarnya pulang. Jalanan sepi, hanya lampu jalan yang menemani perjalanan sunyi mereka — seperti dua hati yang sama-sama tak tahu harus pulang ke mana selain ke rasa yang sama: kehilangan.
Bersambung...
Jangan lupa tinggalkan jejak vote like dan komen 🥰🥰🥰
tapi ruwetan baskara aluna🤣
tapi aku suka ama anaknya🤣