Dalam dunia korporasi yang berputar terlalu cepat, Ethan Solomon Montgomery, Presiden Direktur Montgomery Group, hidup dengan ketenangan yang dirancang oleh keluarga yang membentuknya. Ia tumbuh untuk memimpin, bukan untuk diperintah. Sejak kecil Celine Mattea selalu berdiri di sisinya, perempuan yang mampu masuk ke semua pintu keluarga Montgomery. Celine mencintai Ethan dengan keyakinan yang tidak pernah goyah, bahkan ketika Ethan sendiri tidak pernah memberikan kepastian. Hubungan mereka bukan hubungan lembut yang manis, melainkan keterikatan panjang yang sulit dilepaskan. Persahabatan, warisan masa kecil, ketergantungan, dan cinta yang Celine perjuangkan sendirian. Ketika Cantika, staf keuangan sederhana memasuki orbit Ethan, sesuatu di dalam diri Ethan bergeser. Sebuah celah kecil yang Celine rasakan lebih tajam daripada pengkhianatan apa pun. Ethan dan Celine bergerak dalam tarian berbahaya: antara memilih kenyamanan masa lalu atau menantang dirinya sendiri untuk merasakan sesuatu yang tidak pernah ia izinkan. Ini adalah kisah dua orang yang seharusnya ditakdirkan bersama, tetapi cinta yang bertahan terlalu lama tidak selalu berarti cinta yang benar. Disclaimer: Novel ini adalah season 2 dari karya Author, “Falling in Love Again After Divorce.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Abai
Markas Amox berdiri di tengah kawasan sunyi, tempat yang Florence Montgomery hadiahkan untuk Ethan. Bangunan beton hitam itu berdiri dingin, dikelilingi pagar baja berlapis kawat listrik. Aroma khas mesiu memenuhi udara malam. Anggota Amox berjaga di setiap sisi untuk memastikan keamanan.
Mobil Ethan berhenti tepat di depan pintu utama hampir bersamaan dengan mobil Jerry. Ethan turun lebih dulu, langkahnya panjang dan cepat, auranya masih berbahaya meski jas yang melekat di tubuhnya tidak lagi rapi. Jerry menyusul setengah berlari, refleks seorang pengawal yang tahu kapan harus bicara tanpa diminta.
“Tuan Sean, Nyonya Ariana, dan Nona Serena sudah tiba di mansion dengan aman, Tuan,” lapor Jerry singkat namun jelas. “Saya juga sudah mengantar Nona Cantika pulang.”
Langkah Ethan terhenti seketika. Ia menoleh perlahan, tatapannya dingin dan menusuk.
“Celine?” tanyanya. Satu kata yang datar, namun sarat tekanan.
Jerry sempat tersendat. “B-bukankah Nona Celine bersama Amox, Tuan?” jawabnya hati-hati.
Ethan tidak menjawab. Ia berbalik dan melangkah lebih cepat, nyaris berlari. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang berjalan tidak sesuai rencana.
Ia menempelkan ibu jarinya pada panel. Sistem keamanan berbunyi, dan pintu ruang khusus anggota inti Amox terbuka.
Kosong.
Ruangan itu biasanya hidup oleh suara keyboard, peta digital, dan kehadiran empat orang yang paling ia percaya. Kini hanya ada lampu putih dingin dan layar-layar yang menyala tanpa siapa pun di depannya.
Ethan keluar dengan rahang mengeras.
“Di mana inti Amox?” tanyanya pada anak buah yang berjaga.
Seorang pria maju setengah langkah, menunduk hormat.
“Lapor, Tuan. Anggota inti belum kembali hari ini.”
Ethan mengeluarkan ponselnya dengan cepat, menekan nomor ke empat inti Amox dalam panggilan. Namun seperti sudah diatur sedemikian rupa, semua nomor tidak terhubung. Ia mencengkram ponselnya, lalu menurunkannya perlahan. Tatapannya terlalu tenang untuk disebut wajar.
Detik berganti detik. Dada Ethan naik turun lebih dalam. Ia kembali masuk ke ruangan itu, tangannya bergerak cepat membuka sistem internal. Jarinya menari kasar di atas layar sentuh, mencoba membuka titik koordinat wanita yang mengisi pikirannya sejak tadi.
Layar merah memenuhi layar,‘Not connected’. Data terakhir terputus sejak 05.05 WIB.
“Apa yang sebenarnya terjadi denganmu, Celine?” bisiknya parau.
Detik berikutnya, kesadaran itu menghantamnya telak. Napas Ethan memburu. Tangannya kembali bergerak, kali ini lebih cepat dan lebih brutal. Ia memutar ulang riwayat aktivitas Celine sehari sebelumnya. Layar menampilkan garis-garis rute yang saling bertumpuk mulai dari Montgomery Corp, rumah sakit, dan yang terakhir… Jalan Harema nomor 4.
Rahang Ethan mengeras, Celine mengikutinya seharian penuh.
Ingatannya melompat pada satu titik yang tadi ia abaikan, detik-detik sebelum pemberkatan dan sebelum Cantika pingsan. Tatapan Celine, genggaman tangannya, kalimat yang diucapkan dengan suara lembut namun mata yang dingin.
“Aku mencintaimu lebih dari hidupku,” suara Celine terngiang jelas di kepalanya, “tapi jika kau ragu pada pernikahan ini, lepaskan tanganku, Ethan.”
Ethan menggeram rendah.
“Aku tidak peduli apa yang terjadi di antara kalian,” lanjut suara itu, “tapi sekali kau melangkah… aku akan membuang keyakinanku dan berhenti sampai di sini.”
Ia mengira itu hanya sikap posesif, manja, cemburu yang bisa ia redam seperti selama ini. Namun kalimat itu bukan ledakan emosi biasa, melainkan peringatan yang sudah direncanakan rapi sejak awal. Dan entah mengapa, untuk pertama kalinya ia merasa takut. Takut Celine tidak sedang menguji. Takut ia sungguh-sungguh dan memilih untuk benar-benar berhenti.
Kontrol yang selalu ia miliki runtuh seketika. Dengan satu gerakan kasar, Ethan menyapu layar hingga konsol itu bergetar. Tinju menghantam meja baja, suara benturannya menggema keras di ruangan inti Amox. Kaca retak, alarm sistem berdering singkat.
“Arrrghhhh…”
Matanya menggelap, Ethan berdiri di tengah kehancuran yang tak sadar ia ciptakan sendiri.
Ethan menghembuskan napas kasar, menekan layar yang sudah retak dengan emosi yang membabi buta. Layar besar di depannya menampilkan peta. Titik-titik koordinat Rega, Raga, dan Sambo menyala.
Keluar dari kota. Tujuan tidak terdeteksi. Koneksi terputus sejak dua jam yang lalu.
Ethan menatap layar itu lama seolah menelaah. Tangannya mengepal, urat-urat di pelipisnya menegang.
“Kalian bertiga…” suaranya rendah, bergetar oleh amarah yang ditahan, “…akan kubunuh kalian.”
Teriakannya menggema di ruang baja Markas Amox.
BRAK.
Kursi melayang menghantam dinding, sebelum ia berbalik dan melangkah keluar. Jerry berdiri kaku di depan ruang khusus. Pria itu menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap wajah tuannya. Ia tahu ini bukan sekadar amarah, tuannya sedang kehilangan kendali. Hal yang paling berbahaya bisa terjadi.
“Aku tidak pulang malam ini,” kata Ethan dingin, tanpa menoleh sedikit pun.
Jerry mengangguk cepat. “Saya akan menyampaikannya pada Tuan Besar,” jawabnya hati-hati.
“Awasi dia,” perintah Ethan singkat.
Jerry kembali mengangguk. Ia tahu persis siapa dia yang dimaksud, meski nama itu tak pernah diucapkan. “Baik, Tuan.”
“Hans, ikut aku.”
Tanpa menunggu jawaban, Ethan melangkah. Hans segera menyusul, langkahnya dipercepat. Namun Ethan sudah lebih dulu membuka pintu mobil dan duduk di kursi kemudi sebelum Hans sempat meraih gagang pintu.
Hans refleks berhenti, lalu berputar mengitari mobil dan masuk dari sisi penumpang.
Mesin menyala dengan geraman rendah. Begitu pedal gas diinjak, mobil melesat keluar dari area markas dengan kecepatan yang jauh melampaui batas wajar. Lampu-lampu malam berubah menjadi garis-garis cahaya panjang. Tikungan dilewati tanpa ragu, seolah hukum fisika tunduk pada kemauan pria di balik kemudi.
Hans menggenggam sabuk pengamannya lebih erat, menelan ludah.
Habislah kalian, Tuan-Tuan… batinnya getir, membayangkan nasib Rega, Raga, dan Sambo jika benar mereka terlibat dalam amarah tuannya kali ini. Karena ia tahu satu hal pasti, Ethan Solomon Montgomery tidak mengemudi seperti ini untuk kehidupan orang lain. Kali ini, masalah yang terjadi pasti menyangkut kehidupannya sendiri.
Florence Montgomery duduk tegak di kursi emas dengan ukiran keluarga Montgomery menopang punggungnya, simbol kekuasaan yang melekat dalam dirinya sejak puluhan tahun lalu. Ia menghirup aroma teh kesukaannya, membiarkannya memenuhi inderanya terlebih dahulu, sebelum menyeruputnya perlahan. Setiap gerakannya presisi, tenang, lahir dari darah bangsawan yang tak pernah lupa cara menempatkan diri.
Ia meletakkan cangkir porselen tipis itu kembali ke atas tatakan dengan bunyi nyaris tak terdengar.
“Katakan,” ucapnya datar, berwibawa, “informasi apa yang kau bawa.”
Pengawal pribadinya melangkah setengah maju, lalu menunduk hormat.
“Wanita itu bernama Cantika Santoro, Nyonya. Bekerja sebagai staf keuangan di Montgomery Corp. Yatim piatu, memiliki satu adik laki-laki bernama Bedo Santoro. Tinggal berdua di Jalan Harema nomor 4.”
Ia berhenti sejenak, menelan ludah sebelum melanjutkan.
“Ayahnya… Wibowo Santoro.”
Udara di ruangan seolah berubah. Wajah Florence menegang sepersekian detik, begitu singkat hingga orang awam tak akan menyadarinya. Namun jari-jarinya yang ramping sempat berhenti di udara sebelum kembali menyentuh gagang cangkir. Posturnya tetap anggun, seolah tidak ada informasi apa pun yang mampu menggoyahkan dirinya.
Pengawal itu melanjutkan, kali ini lebih hati-hati.
“Belakangan ini, Tuan Muda cukup dekat dengan gadis tersebut, Nyonya. Dari analisis kami, Cantika Santoro memiliki ketertarikan pribadi terhadap Tuan Muda.”
Florence mengangkat wajahnya perlahan, lalu menyeruput teh sekali lagi. Ia mengangguk kecil, meletakkan cangkir teh kembali ke tempatnya dengan tenang.
Balas dendam kah?
Siapa Barlex?
Berhubungan dengan ortunya Cantika kah?
Haiisz.. makin penisiriin iihh.. 😅😅🤣🤣
Thanks kk Demar 🤌🏻🤌🏻
next kak 🫰🫰
dari pronolog cerita ini soal celine dan ethan yang mungkin akan disisipin orang ketiga. trus muncul barlex ntah genk apa ini. trus tibatiba udah dirumah cantika dan berhubungan sama barlex 🤔
ini yg clue dari rega kah? tapi mengarah kemandose ini kisah ya. maap agak agak kurang nangkep saya 🫣
inget ke celine yang bucin dari kecil tapi dicuekin,disia²in pokoknya ethan dingin bgt ke celine mentang² tau cinta celine begitu besar jadi bersikap se enaknya,gk perduli alasan apapapun....ethan harus merasakan yg sama.buat celine bener² dingin dan biasa² aja ke ethan thor mau ethan kena masalah jangan libatkan celine ke amox.
semoga celine ketemu cogan yg ngejar² dia biar biar tau rasa ethan....
sakit hatiku melebihi celine wkwkwkwk
apa cantika ada sangkut pautnya dengan barlex 🤔