NovelToon NovelToon
Cinta Kecil Mafia Berdarah

Cinta Kecil Mafia Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Beda Usia / Fantasi Wanita / Cintapertama / Roman-Angst Mafia / Persaingan Mafia
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Zawara

Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.

Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.

Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.

Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Reuni Bram dan Rian

Bram melangkah menjauh dari bangku besi itu, meninggalkan Zoya yang masih terkekeh sendirian. Ia membelah kerumunan pengunjung Dufan yang sibuk dengan gulali dan tawa lepas mereka. Niat awalnya sederhana: mencari makanan, atau mungkin sebotol air mineral dingin untuk mendinginkan kepalanya yang mendadak 'panas' akibat insiden puk-puk barusan.

​Namun, baru sepuluh langkah ia berjalan, radar bahayanya kembali berbunyi.

​Insting pembunuhnya menangkap anomali. Ada ritme langkah kaki yang tidak selaras dengan hiruk-pikuk keramaian. Seseorang sedang mengikutinya. Bukan turis yang tersesat, bukan pula badut yang membagikan balon. Gerakan pengikut ini taktis, menyatu sempurna dengan bayang-bayang stan burger, berhenti saat Bram berhenti, dan bergerak senyap saat Bram kembali melangkah.

​Wajah Bram tetap datar menatap ke depan, namun otaknya memetakan area dengan presisi dingin. Di sebelah kiri, ada lorong sempit menuju area genset yang sunyi dan terlupakan.

​Sempurna.

​Bram membelokkan langkahnya tajam, menyelinap masuk ke celah sempit di antara dua bangunan.

​Langkah kaki di belakangnya mempercepat tempo, takut kehilangan target. Tepat saat sosok itu berbelok di tikungan yang sama…

​SRET!

​Bram menyergap dari titik buta. Satu tangannya mencengkram kerah jaket si pengintai, sementara tangan lainnya mendorong tubuh orang itu hingga menghantam dinding beton.

​"Siapa yang mengirimmu?" desis Bram. Suaranya rendah, namun sarat akan ancaman kematian.

​Sosok di cengkeramannya tidak meronta. Tidak ada kepanikan yang biasanya muncul dari seorang amatir. Pria itu justru mengangkat kedua tangannya perlahan setinggi dada sebuah gestur menyerah yang tenang dan penuh kendali.

​"Saya sarankan Anda melonggarkan tekanan di karotid saya, Tuan. Nanti saya pingsan, siapa yang akan mengawasi punggung Anda?" Suara itu berat, tenang, dan sangat familiar.

​Cengkeraman Bram melonggar. Ia menarik tubuh orang itu agar terkena bias cahaya. Bram mundur selangkah dengan alis terangkat, menatap sosok di hadapannya.

​Berdiri disana, seorang pemuda dengan postur tegap dan rapi. Rian. Namun kali ini, ia mengenakan jaket kulit hitam yang membalut tubuh atletisnya, rambutnya ditata klimis sempurna, dan aroma parfum maskulin menguar samar namun elegan darinya.

​"Rian?" Bram menaikkan satu alisnya. Nada suaranya merupakan campuran antara rasa lega dan kekesalan. "Refleksmu melambat. Langkahmu terlalu berat, terdengar seperti gajah yang berjalan di atas kerupuk."

​Rian merapikan kerah jaketnya yang sempat kusut dengan gerakan anggun dan berwibawa. Tidak ada sedikitpun rasa tersinggung di wajahnya.

​"Saya harus beradaptasi dengan lingkungan, Tuan," jawabnya tenang, suaranya terdengar profesional. "Menjadi terlalu senyap di tempat ramai justru akan menarik perhatian."

​Bram mendengus pelan, matanya memindai penampilan Rian dari atas ke bawah. "Apa yang kau lakukan disini? Membuntutiku seperti penggemar fanatik?"

​Rian tidak langsung menjawab. Ia menatap sekeliling lorong sempit itu dengan waspada, memastikan tidak ada telinga lain yang mendengar, sebelum akhirnya menatap Bram dengan serius.

​"Sebaiknya kita cari tempat yang lebih aman untuk bicara, Tuan. Situasinya tidak sesederhana itu."

​Bram mengangguk singkat. Tanpa banyak bicara, ia memberi isyarat mata, menunjuk ke arah celah sempit di balik deretan mesin pendingin udara raksasa yang bergemuruh halus. Tempat itu terlindung dari pandangan pengunjung, namun memiliki celah visual yang cukup untuk memantau pergerakan orang lewat.

​"Bicara," perintah Bram begitu mereka sampai di titik buta itu.

​Rian menyandarkan punggungnya ke dinding bata dengan santai namun tetap siaga. Ia mulai menatap Bram dengan tatapan yang tulus namun sarat makna.

"Jadi, bagaimana rasanya?" tanya Rian pelan. "Kehidupan normal yang Anda jalani sekarang... apakah menyenangkan?”

Bram mengernyit. "Hah? Apa ini? Ku kira kau akan membicarakan sesuatu yang penting. Kenapa kau malah bertanya soal hidupku?"

​"Saya serius bertanya, Tuan."

​"Tidak usah pedulikan hidupku," potong Bram dingin.

​"Ayolah, Tuan. Jangan terlalu keras. Hati saya sakit mendengar Anda berkata seperti itu. Padahal saya rela menjaga Anda dari kejauhan selama beberapa hari ini demi Anda dapat menikmati kedamaian yang sementara itu," ucap Rian dengan nada dramatis yang dibuat-buat, namun matanya tetap serius.

Bram bersedekap, pertahanannya masih kokoh. "Aku tidak pernah memintamu untuk menjagaku.”

​"Menjaga Anda adalah pilihan saya. Dan membiarkan Anda merasakan kehidupan yang damai, jauh dari darah dan mesiu, adalah keputusan terbaik yang pernah saya ambil." Suara Rian terdengar dalam dan sungguh-sungguh.

​Bram menatap tajam tangan kanannya itu. ​"Omong kosong apa yang sedang kau muntahkan itu?" Bram memalingkan wajah, meski nada suaranya sedikit melunak. "Itu membuatku merinding.”

Ia diam sejenak, lalu nada suaranya melembut sedikit. "Tapi... aku berterima kasih padamu. Meski sesaat, kedamaian tetaplah kedamaian. Itu adalah hal mahal yang diinginkan setiap orang seperti kita. Ini adalah hal terbaik dalam hidupku belakangan ini."

​Rian tersenyum tipis, sebuah senyum tulus yang jarang terlihat.

​"Sekarang aku ingin tahu," lanjut Bram, tatapannya kembali menajam. "Hal bodoh apa saja yang sudah kau lakukan demi 'kedamaian sesaat' ku itu?"

​Rian menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresinya. "I-itu… saya telah melanggar perintah Tuan David untuk membawa Anda pulang."

​Bram tidak terkejut.

​"Setelah insiden menghilangnya Anda, Tuan David murka. Ia memerintahkan saya untuk mencari Tuan sampai ketemu dan membawa Anda pulang dengan selamat," jelas Rian.

"Namun, saya memberikan laporan palsu. Saya memberikan informasi pada Tuan David bahwa jejak Anda hilang tanpa sisa. Padahal, selama beberapa hari ini saya mengawasi rumah itu dari jarak aman. Memastikan Tuan bisa memulihkan diri tanpa gangguan."

​"David pasti sangat khawatir," gumam Bram. "Kami saling mengenal sejak kecil. Dia sudah kuanggap adik, begitupun dia menganggapku kakak. Wajar jika ia murka kakaknya menghilang."

​Bram terdiam sejenak. Namun, otaknya yang tajam tiba-tiba menghubungkan beberapa titik janggal yang ia rasakan belakangan ini. Kilatan di kejauhan. Perasaan diawasi yang terlalu intens.

​"Tunggu," kata Bram tiba-tiba. Tatapannya menajam menusuk Rian, mengubah atmosfer santai menjadi mencekam. "Malam itu... dan pagi ini. Saat aku makan malam, dan tadi pagi saat gadis itu pulang sekolah. Aku merasakan ada mata yang mengawasi."

​Bram maju selangkah, mengunci pergerakan Rian. "Pagi ini bahkan ada kilatan lensa dan laras senapan yang terarah ke jendela kamar gadis itu dari dahan pohon. Itu kau?"

​Ekspresi tenang Rian lenyap seketika. Wajah tampannya menegang, alisnya bertaut serius.

​"Pohon?" ulang Rian pelan, suaranya berubah waspada. Ia menggeleng tegas. "Bukan, Tuan. Posisi saya pagi ini ada di dalam van, lima ratus meter dari rumah, memantau lewat tropong. Saya tidak pernah melanggar protokol keamanan dengan mendekat ke zona merah."

​"Kau yakin?" desak Bram, suaranya memberat.

​"Saya mempertaruhkan leher saya untuk melindungi Tuan, bukan untuk bermain menjadi penembak jitu amatir," jawab Rian dengan nada tersinggung yang sopan namun menusuk. "Jika saya yang membidik, saya pastikan saya tidak akan ragu menarik pelatuk saat itu juga. Tapi saya tidak melakukannya."

​Keheningan yang mencekam turun di antara mereka berdua. Deru wahana Halilintar di kejauhan kini terdengar seperti jeritan peringatan. Angin sore terasa membawa kabar buruk.

​Jika bukan Rian, lalu siapa? Penguntit tadi juga…

​"Sial," umpat Bram pelan. Wajahnya yang biasanya datar tanpa emosi kini menegang. "Berarti David tidak mempercayai laporanmu sepenuhnya."

​"Tuan David memasang double agent," sambung Rian cepat, kecerdasannya menyamai insting Bram. "Dia mengirim anjing pemburu lain untuk mengawasi pergerakan saya, dan orang itu... dia sudah tahu di mana Anda berada. Sekarang, saya benar-benar dianggap pengkhianat oleh Tuan David."

​"Dan dia tahu wajah gadis itu," tambah Bram dingin.

Rian mengangguk berat.

​"Situasi saat ini sudah tidak terkendali, Tuan. Anda harus kembali. Jika tidak, gadis itu dalam bahaya besar. Dia bisa menjadi sasaran amarah Tuan David hanya karena Anda tak kunjung kembali," desak Rian.

​Bram memejamkan matanya sejenak, mengingat Zoya. Gadis polos yang terseret ke dalam dunianya yang kelam, lalu membukanya dengan tatapan yang berbeda. Tatapan yang mengartikan kedamaiannya sudah berakhir. 

"Iya," gumam Bram, suaranya terdengar lelah namun tegas. "Ini sudah waktunya.”

"Baiklah," kata Bram lagi, menatap Rian. "Kembalilah. Dan jangan awasi aku lagi. Itu perintah.”

​"Baik, Tuan. Perintah diterima," jawab Rian tegas.

Rian membungkuk sedikit, memberikan hormat. Tanpa kata lagi, ia berbalik. Sosoknya yang tegap dan berkarisma segera membaur dengan arus pengunjung, menghilang seperti hantu di tengah pesta pora manusia.

​Bram mengepalkan tangannya. Sekarang, ia harus segera kembali ke realita kehidupannya yang penuh mayat demi menghindarkan Zoya dari bahaya yang mengintai.

​Ia berdiri diam sejenak di lorong gelap itu. Matanya menatap tajam ke arah danau buatan Dufan. Liburan konyol ini sudah berakhir. Realitas, seperti yang ia katakan pada Zoya tadi, benar-Benar datang menggigit.

​Dan kali ini, gigitannya beracun.

1
knovitriana
iklan buatmu
knovitriana
update Thor saling support
partini
🙄🙄🙄🙄 ko intens ma Radit di sinopsis kan bram malah dia ngilang
partini
ini cerita mafia apa cerita cinta di sekolah sih Thor
partini
yah ketauan
partini
Radit
partini
😂😂😂😂😂 makin seru ini cerita mereka berdua
partini
ehhh dah ketauan aja
partini
g👍👍👍 Rian
partini
seh adik durjanahhhhhh
partini
awal yg lucu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!