Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenapa Repot
Pram mengantar Nika sampai ke apartemennya. Begitu pintu terbuka, Pram langsung masuk, mulai membereskan barang belanjaan Nika yang menumpuk. Sementara Pram sibuk dengan belanjaan, Nika bergegas mengambil kotak P3K dari lemari. Ada beberapa luka di wajah Pram, bekas perkelahian tadi.
Nika duduk di sofa ruang tamu dan menepuk bantal di sebelahnya, menyuruh Pram mendekat. Pram menurut, duduk di samping Nika. Nika mengambil kapas, membasahinya dengan antiseptik, dan mulai membersihkan luka di sudut bibir Pram.
Wajah mereka begitu dekat, napas Nika yang lembut terasa di kulit Pram. Saat Nika dengan hati-hati mengobati lukanya, Pram merasakan getaran aneh di dadanya. Matanya tak bisa lepas dari Nika.
Dari jarak sedekat ini, Pram melihat detail wajah Nika yang sebelumnya hanya ia perhatikan sekilas. Bulu mata Nika yang lentik bergerak pelan, menaungi sepasang mata cokelat yang dalam, memancarkan kelelahan namun juga keteguhan. Kulit Nika terlihat begitu halus, bersih, dengan rona alami yang menawan, meskipun ada sedikit pucat karena kelelahan.
Hidungnya yang mungil sedikit memerah di ujungnya, mungkin karena cuaca. Dan bibir Nika... bibir tipis berwarna merah muda itu terlihat begitu lembut, sedikit mengerucut saat ia fokus mengobati lukanya.
Rambut Nika yang sebagian tertutup hoodie tadi, kini tergerai, beberapa helai anak rambut terlepas dan membingkai wajahnya, membuat Nika terlihat semakin manis di mata Pram. Ada aroma sabun dan samar-samar wangi vanilla yang menguar dari tubuh Nika, memabukkan indra Pram.
"Selesai," ucap Nika pelan, menarik tangannya. Pram tersadar dari lamunannya. Getaran aneh di dadanya masih terasa.
Nika selesai mengoleskan salep dan menempelkan plester kecil di sudut bibir Pram. Ia menatap hasil kerjanya sebentar sebelum akhirnya mendongak. Pram duduk diam, ekspresinya sulit ditebak, seperti biasa—dingin dan nyaris tak menunjukkan emosi.
"Sudah," ucap Nika singkat, lalu berdiri, hendak menjauh.
Namun Pram menahan pergelangan tangannya. Bukan kasar, tapi cukup membuat langkah Nika terhenti.
"Kenapa repot-repot ngelakuin ini semua?" tanya Pram datar, tanpa memandang langsung ke matanya.
Nika menatapnya bingung. "Karena kamu terluka, Pram. Apa aku salah?"
Pram mengerutkan alis, lalu melepaskan genggamannya perlahan. "Kamu tahu aku nggak suka basa-basi. Jangan terlalu berharap sesuatu yang lebih, Nika."
Nika menahan napasnya. Ucapan itu seperti tamparan, tapi ia sudah terlalu lelah untuk melawan.
"Aku nggak berharap apa-apa," balas Nika tenang, meski ada nada terluka dalam suaranya. "Cuma merasa ini hal yang manusiawi. Kamu mungkin lupa rasanya dipedulikan."
Pram mengalihkan pandangannya. Ada jeda, lalu ia mendesis pelan. "Aku nggak butuh peduli. Terutama dari perempuan yang hamil karena kecelakaan satu malam."
Nika terdiam. Kata-kata itu menggigit. Tapi ia tetap berdiri tegak.
"Aku tahu kamu anggap aku cuma kesalahan. Tapi anak ini bukan. Dan kamu, suka atau nggak, tetap ayah dari anakku."
Pram menatap Nika akhirnya, tajam. "Kamu menginginkan Pernikahan? Jangan mimpi, Nik. Aku nggak tertarik. Wanita hanya peduli pada uang, dan anak ini mungkin... cuma cara buat ngikatku."
"Aku nggak butuh pernikahan darimu, Pram. Aku butuh tanggung jawab. Itu saja." Nika mundur satu langkah. "Dan kamu... kamu butuh belajar jadi manusia."
Nika berbalik, meninggalkan Pram yang hanya bisa terdiam. Ada sesuatu dalam dadanya yang menegang. Ia tak paham. Tak nyaman. Tapi juga tak bisa mengalihkan pikirannya dari perempuan itu.
Aroma antiseptik masih menempel di kulitnya, dan untuk pertama kalinya, Pram merasa terganggu bukan karena luka di wajahnya—melainkan luka yang entah kenapa muncul di tempat yang tak terlihat: dadanya sendiri.
Keheningan yang tegang itu pecah oleh suara... krucuk krucuk dari perut Pram.
Nika menoleh refleks. Pram langsung menunduk, wajahnya kaku. Ia mencoba berdiri dari sofa, berniat pergi begitu saja, tapi Nika lebih sigap.
"kamu lapar,!" katanya, menahan lengan Pram agar tetap duduk. "Tunggu. Aku masak sesuatu, ya?"
"Aku nggak minta," jawab Pram cepat, menghindari tatapan.
"Aku tahu," balas Nika ringan. "Anggap aja ini ucapan terima kasih karena kamu sudah bantu bawa semua belanjaan."
Pram diam. Hatinya menolak, tapi tubuhnya tidak bergerak. Mungkin karena lapar. Mungkin juga karena... entah. Ia akhirnya hanya mengangguk sekali, singkat, lalu membiarkan dirinya duduk kembali.
Nika berbalik menuju dapur kecil yang menyatu dengan ruang tengah. Ia mulai sibuk membuka kantong belanjaan dan mengeluarkan bahan-bahan seadanya. Pram memperhatikannya dari balik meja pantry, diam, tapi matanya tak lepas dari punggung Nika yang sibuk di dapur.
Gadis itu mengikat rambutnya ke atas, lalu mulai memotong bawang. Gerakannya cekatan, sederhana, tapi... damai. Ada aroma bawang putih dan tumisan yang perlahan memenuhi ruangan kecil itu.
Pram bersandar di kursinya, matanya menyipit. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa... hangat. Bukan karena makanan yang sedang dimasak. Tapi karena momen ini.
Seseorang memasakkan makanan untuknya. Suara spatula bersentuhan dengan wajan. Bau harum dari dapur. Seorang perempuan yang berdiri di depannya, bukan untuk menuntut, bukan untuk memanipulasi, hanya... memasak.
Perlahan, sebuah kenangan menyeruak dari sudut pikirannya—kenangan akan mendiang mamanya yang dulu selalu bersenandung kecil saat memasak. Senyum lembut, suara gemericik minyak, dan aroma yang selalu membuatnya pulang ke rumah.
Dan kini, semuanya terasa familiar. Terlalu familiar hingga rasanya mengusik tembok tinggi yang selama ini Pram bangun rapat-rapat.
"Aku nggak jago masak," kata Nika, memecah lamunan Pram. Ia menoleh, melihat Nika menoleh separuh, masih dengan punggung menghadap. "Tapi semoga kamu nggak keracunan."
Pram tak menjawab. Ia hanya memandanginya, lalu pelan-pelan, bibirnya terangkat setengah—nyaris seperti senyum. Tapi ia segera menepisnya sendiri dengan mendecak pelan dan mengalihkan pandangan.
"Jangan GR. Aku cuma lapar," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Tapi di dalam hatinya, ada ruang kecil yang tiba-tiba terasa penuh. Dan itu, jujur saja, jauh lebih mengganggu daripada suara perutnya tadi.
Beberapa menit kemudian, Nika bicara, "Makan dulu sebelum kamu berubah pikiran."
Pram menoleh dan melihat Nika menaruh dua piring di meja makan kecil. Isinya sederhana: nasi hangat, telur dadar, dan tumis sayur. Tak ada hiasan, tak ada plating mewah, tapi aromanya menggoda dan... familiar.
Dengan langkah enggan, Pram bangkit dari kursinya dan menghampiri meja. Ia duduk tanpa bicara, menatap piringnya sejenak sebelum mulai menyendok nasi.
Nika memperhatikannya diam-diam. Saat Pram menyuap suapan pertama, ekspresinya tetap datar, tapi tak ada reaksi negatif. Ia bahkan langsung mengambil suapan kedua.
"Rasanya nggak buruk, kan?" tanya Nika, setengah ragu.
Pram mengunyah perlahan, lalu meneguk air putih. "Bisa dimakan," jawabnya singkat.
Nika mendengus pelan. "Itu pujian, ya?"
Pram tidak menjawab, tapi ia terus makan. Diam, tapi piringnya mulai kosong setengah.
"Aku jarang masak buat orang lain," lanjut Nika, mencoba mengisi keheningan. "Biasanya cuma buat diri sendiri. Tapi hari ini... entah kenapa aku pengen masak buat kamu."
Pram meletakkan sendoknya perlahan. Tatapannya menatap Nika lekat, tajam, tapi kali ini ada sesuatu yang berubah—bukan sinis, bukan dingin, lebih ke... bingung.
"Jangan terlalu baik sama aku, Nika. Kamu bisa kecewa."
Nika terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Aku nggak baik karena berharap balasan. Aku baik karena aku manusia."
Pram terdiam. Di dalam dirinya, ada benturan—antara logika dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Wanita di depannya ini terlalu tenang. Terlalu tulus. Dan itu justru yang membuatnya gelisah.
"Terima kasih sudah makan siang di sini," kata Nika pelan, sambil menyendok sisa tumis sayur di piringnya.
Pram menghela napas. "Terima kasih... sudah masak." Kalimat itu keluar seperti dipaksa, tapi tetap terdengar.
Nika menoleh cepat, menatap Pram dengan ekspresi terkejut. Ia nyaris tak percaya Pram bisa mengucapkan kata itu.
Pram menyadarinya dan langsung bangkit dari kursinya. "Aku pergi dulu. Jangan pikir terlalu jauh soal apapun yang terjadi hari ini."
Sebelum Nika sempat menjawab, Pram sudah berjalan menuju pintu. Tapi sebelum membuka, ia sempat berhenti. Tak menoleh, hanya berdiri diam selama dua detik... lalu pergi.
Nika menatap pintu yang kini tertutup. Di tangannya, masih ada sendok berisi nasi yang belum sempat ia makan. Tapi hatinya... penuh. Walau sedikit. Walau singkat.
Hari ini, Pram makan masakannya. Dan Pram—yang dingin dan arogan itu—mengucapkan terima kasih.
Itu cukup untuk hari ini.
Mobil Pram meluncur keluar dari parkiran apartemen, meninggalkan gedung tinggi yang perlahan menghilang dari kaca spion. Di dalam mobil, Pram masih tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajah Nika, tatapan lembutnya, suara pelan saat berkata "Terima kasih sudah makan siang di sini"—semuanya masih membayang. Ia mencoba mengusirnya, tapi gagal.
Pram menghela napas panjang. “Apa-apaan ini... Aku nggak boleh kebawa suasana. Dia hanya perempuan yang kebetulan hamil karena kebodohan semalam.” Tapi suara hatinya tak setegas biasanya.
Sementara itu, di balik sebuah pilar parkiran di lantai bawah, seseorang berdiri diam, menatap arah mobil Pram yang perlahan menjauh.
Pria itu mengenakan jaket hitam dan kacamata gelap meski cahaya redup. Matanya tajam mengikuti setiap gerakan mobil itu, seperti mengenali ancaman meskipun belum paham bentuknya.