Sequel : Aku memilihmu.
Rega adalah seorang arsitek muda yang tidak hanya berbakat, namun dia juga menjadi CEO muda yang sukses di bidangnya. Dia memiliki tunangan bernama Rhea yang seorang dokter muda, pertunangan mereka sudah berjalan hampir satu tahun.
"Maaf, Rhea. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita,"
"Baiklah! Silahkan kak Rega katakan pada kedua orang tua kita," jawaban Rhea membuat Rega terkejut, alih-alih marah padanya. Rhea justru dengan mudah menyetujui untuk membatalkan pernikahan keduanya yang tinggal dua minggu.
Apa yang terjadi dengan keduanya setelah itu? bagaimana kisah mereka dan pada siapakah akhirnya Rega maupun Rhea akan melabuhkan hati ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sindiran dan cibiran dari bocil cadel
Rega duduk bersama puluhan anak-anak panti, anehnya riuh suara dari anak-anak tidak mengganggu Rega. Di sana berjajar kursi-kursi dan meja-meja panjang mirip kantin kampus. Netranya menyambangi setiap sudut ruangan tersebut, jiwa arsiteknya seolah langsung keluar begitu saja. Harusnya ruangan tersebut bisa dibuat lebih nyaman untuk anak-anak seusia mereka, itulah yang ada dipikiran Rega.
Hingga lamunannya buyar karena suara bu Latifa yang menggelegar terdengar dari pengeras suara.
“Anak-anak, ibu boleh minta tolong diam dulu sebentar? Ibu mau bicara,” ucap bu Latifa melalui pengeras suara.
Semua anak-anak langsun diam, setelah mereka diam baru bu Latifa melanjutkan bicara. “Hari ini kak Rhea datang bersama kak Rega, mereka membawakan makan siang untuk semuanya. Anak-anak harus bilang apa?”
“Terimakasih kak Rhea. Terimakasih kak Rega,” ucap mereka bersamaan.
“Sekarang anak-anak duduk yang baik, tenang. Tidak boleh berantem, nanti semua dapat satu-satu. Oke!”
“Baik ibu,” jawab mereka semua.
Bu Latifa kemudian kembali duduk satu meja dengan Rhea dan Rega, bahagia terlihat dari wanita paruh baya tersebut saat melihat anak-anak asuhnya tersenyum.
Anak-anak yang lebih dewasa kemudian mulai membagikan makanan dan minuman pada anak-anak kecil yang sudah duduk dengan tenang dikursi dan meja masing-masing.
“Terimakasih, nak Rhea. Mereka selalu senang setiap kali kamu datang,” ucap bu Latifa yang duduk berhadapan dengan Rhea.
Rhea menggeleng. “Rhea yang harusnya berterimakasih, karena ibu yang melindungi dan menjaga Rhea saat kecil. Ibu menampung Rhea disini,”
“Ibu senang bisa merawatmu meskipun hanya sebentar, Rhea. Setidaknya ibu bisa memenuhi janji ibu pada Alana mamamu, meskipun ibu menyesal karena hari itu ibu mengijinkan keluarga Darmawan mengadopsimu. Ibu tidak tahu kalau kamu sampai mengalami hilang ingatan sementara setelah ikut mereka,” sendu bu Latifa menatap Rhea.
Alana yang tidak lain mama Rhea adalah salah satu pendiri panti asuhan tersebut, dan bu Latifa adalah sahabat Alana. Keduanya berjuang untuk mendirikan panti asuhan hingga mereka bisa berdiri sendiri dan tentu dengan bantuan Huan suami Alana yang selalu menjadi donatur tetap. Hingga kecelekaan merenggut nyawa kedua orang tua Rhea dan Axel, kedua bocah tersebut dititipkan dipanti karena memang tidak ada keluarga lain. Hingga datang keluarga Darmawan yang bu Latifa tahu adalah sahabat sekaligus partner bisnis Huan, namun saat itu keluarga tersebut hanya ingin mengadopsi Rhea tanpa membawa Axel.
“Mama Alana dan papa Huan sudah bahagia disana bu, pasti setiap hari pacaran. Mereka curang karena ninggalin Rhea sendirian,”
“Kamu tidak sendirian, Rhea. Ada…” Rhea mengedipkan matanya memberi kode pada bu Latifa untuk tidak menyebut nama Axel sang kakak dihadapan Rega. “Ada kami bersamamu,” lanjut bu Latifa setelah paham kode dari Rhea.
Rega hanya mendengarkan obrolan Rhea dengan bu Latifa, dia memang tahu kalau perusaan dibawah pimpinan Andi Darmawan tersebut dibangun oleh tiga orang termasuk papa Harun. Namun Rega tidak tahu siapa nama satu orang lagi, dan ternyata orang tersebut adalah Huan papa Rhea. Perhatian Rega pada dua perempuan beda generasi tersebut terpecah saat seorang gadis kecil menarik-narik lengan kemejanya dari samping.
“Om…om pacalna kak Lhea bukan?” Amara yang dari tadi duduk diantara Rhea dan Rega mulai memberanikan diri bertanya pada pria tersebut.
Rega menggaruk tengkuknya, dia bingung harus menjawab apa pada gadis kecil tersebut. “Bu-bukan. Om teman kak Rhea,” jawabnya.
“Oh, kilain om pacalna kak Lhea. Cayang cekali om tampan tapi belekan, ndak liat kak Lhea yang cantik. Om milih ondel-ondel dali pada kak Lhea, ya?” cerocos Amara.
Rega hanya tersenyum kikuk. “Ondel-ondel? Maksudnya Karin ondel-ondel begitu?” monolog Rega dalam hati, sedangkan Rhea menahan tawa saat melihat ekspresi Rega yang sedikit kesal.
“Tidak apa-apa makan beginian kan, kak?” Rhea menggeser makanan kearah Rega.
“Aku bukan pemilih, Rhe. Bisa makan apa saja,” jawabnya.
“Eum. Hanya masakanku yang tidak bisa kamu makan, kak. Bukan masuk lambung tapi masuk tong sampah,” sindir Rhea.
Rega menghela napas kasar, dia tidak berkutik soal itu. Iya dia akui, Karin menyingkirkan semua bekal yang dibuat Rhea untuknya. Bo dohnya Rega sama sekali tidak melarang Karin, dia justru makan bekal yang katanya dibuat sendiri oleh Karin. Padahal Karin tidak bisa memasak, ingin mie rebus saja dia minta dibuatkan mbak yang dirumah.
“Punaku mana kak Lhea?” suara Amara mampu mengalihkan perhatian Rhea, hal tersebut membua Rega bernapas lega.
“Khusus buat Amara yang cantik,” Rhea menaruh kids meal dihadapan Amara, Rhea memang sengaja memesan menu khusus untuk anak-anak usia dibawah lima tahun. Mereka harus makan sayuran, jadi Rhea menambahkan menu sup ayam jagung untuk mereka.
“Mala ndak cuka cayul kak Lhea,” Amara mendorong cup berisi sup jagung.
“Amara harus makan sayur, biar nanti bisa tumbuh dengan baik. Pintar dan cerdas juga cantik, nanti kalau tidak makan sayur bisa seperti om itu” tunjuk Rhea kearah Rega.
“Om na kenapa?”
“Plin plan,” jawab Rhea, Rega langsung melotot kearah Rhea.
“Mala mau cayulna,” Amara berubah pikiran. “Dali pada Mala plin plan, ndak celdas kaya om. Tampan tapi plin plan, ada doktel cantik malah pilih yang ondel-ondel. Ndak mau cepelti Mala,” cibir bocah itu kearah Rega yang hanya bisa mengangga mendengar ocehan Amara.
“Dasar bocah,” gerutu Rega. “Aku dengal ya,” ocehnya membuat Rega kembali fokus dengan makan siangnya, sungguh si al memang. Selain mendapatkan ucapan demi ucapan Rhea yang menohok, dia juga harus mendapatkan sindiran juga cibiran dari bocil yang bahkan bilang huruf R saja belum bisa.
“Cucah cekali ini mau makan cayul. Jangan-jangan cayul ndak cuka Mala,” ocehnya yang kesusahan menyendok sayur.
Rhea terkekeh, dia tahu Amara hanya beralasan agar tidak makan sayur. “Sayur suka kok dimakan sama Amara. Sini kakak suapi,” Rhea mengambil cup berisi sup jagung.
“Gagal ndak makan cayul ini,” ocehnya kembali, mau tak mau Amara makan sayur karena Rhea yang menyuapinya.
Selesai makan siang anak-anak harus tidur siang, mereka dibawa para staff dan juga suster kekamar masing-masing untuk tidur siang. Sedangkan Amara memang merengek masih ingin bersama Rhea, karena Rhea harus bicara dengan bu Latifa jadi dia menitipkan Amara apda Rega.
Rega bingung harus bagaimana, dia tidak ada pengalaman sedikitpun dengan anak-anak seusia Amara.
“Mala ngantuk om. Halus dipuk-puk cepelti ini bial bica tidul Mala na,” Amara mengerjai Rega, padahal dia kalau ngantuk ya tinggal minum susu dan bisa tidur dengan sendirinya.
Rega menghela napas. “Iya-iya,” dia menepuk-nepuk lengan Amara dengan lembut.
Beberapa saat kemudian Rhea sudah kembali bersama bu Latifa, dia melihat Amara yang sudah tidur.
“Ya ampun. Maaf nak Rega, Amara memang suka manja. Maklum dia merindukan kasih sayang mama dan papa,” ucap bu Latifa yang mengambil alih Amara dengan hati-hati.
“Tidak apa-apa bu,” jawab Rega.
“Rhea pulang dulu bu,” pamit Rhea pada bu Latifa.
“Semoga hari-harimu nanti lebih mengesankan, nak. Kapanpun kamu ingin pulang, ibu dan semua adik-adik akan menyambutmu. Jaga diri baik-baik,”
“Pasti bu. Rhea akan ingat itu,”
Mereka kemudian pamit, keduanya kembali menuju Bandung sore itu. Suasana diperjalanan menjadi hening, baik Rhea dan Rega bergelut dengan pikiran masing-masing.
Drrt
Drrt
Suara dering ponsel membuyarkan kesunyian dua insan tersebut, Rega mengangkat telepon dari Aldo.
“Hallo! Ada apa, Do?”
“Apa? Bagaimana bisa?”
“Baiklah! Kamu jemput diapartemenku,”
Dia mengakhiri sambungan teleponnya dengan sang asisten, Rega mengusak rambutnya dengan kasar.
“Rhea sorry…Karin salah membeli tiket, aku dan Aldo harus berangkat ke Singapura jadi malam ini. Aku tidak…”
“Tidak apa kak, sudah biasa. Lagi pula kita sudah berakhir. Terimakasih sudah menemaniku hari ini,” jawab Rhea tanpa menunggu perkataan apa yang akan Rega ucapkan.
Lagi-lagi nama Karin muncul dalam pembahasan apapun diantara mereka berdua, Rhea mengepalkan kedua tangannya. Tapi bukankah itu bagus untuk dirinya, dengan begitu dia tidak akan susah untuk pindah segera dari apartemen. Rega sesekali menatap kearah Rhea yang memalingkan muka melihat jalanan, rencana yang seharusnya berjalan dengan baik menjadi kacau. Setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan, akhirnya Rega menurunkan Rhea dirumah keluarga Setyadarma. Sementara dia bergegas pulang keapartemen karena harus terbang ke Singapura sore itu juga.
“Selamat tinggal kak Rega,” monolognya yang masih berdiri didepan gerbang rumah Setyadarma dengan membawa dua paper bag. Rhea menatap mobil Rega hingga tak terlihat lagi oleh pandangan matanya, dia kemudian memutar tubuhnya. Dihadapannya adalah puntu gerbang rumah Rega, Rhea menghela napas. Bagaimanapun da harus masuk, berpamitan pada mama Indah dan papa Harun secara tersirat tanpa membuat keduanya curiga.
bikin greget k rega, udh ditnggal baru nyesel...
di tunggu sepak terjangnya bang Axel buat jungkir balik si Rega yg sedikit extrim ya bang
rayen and rhea
wah blokir ini benaran ?
biar regaerasakannkehilangan rhea
ko pamit apa ada rencana pergi keluar negri ini
Rhea nunggu satu tahun loh biar impas regong nya nunggu lima tahun aja Thor kalau berjodoh sih
hilang ingatan jangan" dulu pernah ketemu regong waktu kecil kaya cinta monyet apa Kitty yah
😂😂