NovelToon NovelToon
Gara-Gara COD Cek Dulu

Gara-Gara COD Cek Dulu

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta pada Pandangan Pertama / Wanita Karir / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Basarili Kadin

Berawal dari pembelian paket COD cek dulu, Imel seorang guru honorer bertemu dengan kurir yang bernama Alva.
Setiap kali pesan, kurir yang mengantar paketnya selalu Alva bukan yang lain, hari demi hari berlalu Imel selalu kebingungan dalam mengambil langkah ditambah tetangga mulai berisik di telinga Imel karena seringnya pesan paket dan sang kurir yang selalu disuruh masuk dulu ke kosan karena permintaan Imel. Namun, tetangga menyangka lain.

Lalu bagaimana perjalanan kisah Imel dan Alva?
Berlanjut sampai dekat dan menikah atau hanya sebatas pelanggan dan pengantar?

Hi hi, ikuti aja kisahnya biar ga penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Basarili Kadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mengajar di Kelas

Akhirnya aku pun benar-benar berangkat diantar Alva, dia mengantarku bahkan sampai tepat di depan kantor, yang mana di sana ada Pak Ardi yang senantiasa menungguku datang.

"Makasih, tapi aku gak mau diantar sampai sini," ujarku tegas.

"Biar semua orang tahu kamu tidak sendirian," timpalnya tanpa senyum, wajahnya sangat serius.

"Hemmh!" Aku mengangkat kedua alisku.

Aku berlalu dan masuk ke kantor melewati Pak Ardi, sedangkan Alva dia pulang lagi. Ternyata, dia bisa menyesuaikan bahasa tergantung situasi meskipun sedikit tidak enak didengar jika orangnya baperan, karena jujur saja wajahnya pada-pada judes dan bicara ketus.

"Berangkat sama siapa, Bu?" tanya Pak Ardi langsung menghampiriku.

"Teman," jawabku singkat.

"Oh, masih teman."

"Iya."

Setelah itu dia berlalu pergi, aneh dan tidak seperti biasanya. Harusnya kan dia bertanya dengan kepo kenapa aku diantar dia atau syukurlah kirain pulangnya lama, atau apalah gitu. Tapi ternyata dia cuek untuk hari ini.

Guru-guru juga belum datang semua, kantor terasa sepi tidak seperti biasanya ramai.

***

Hari ini aku kebagian mengajar di kelas Gian untuk menggantikan Bu Rema yang memegang mata pelajaran PKN. Bu Rema saat ini Absen karena ada kondangan katanya, aku sebagai guru honorer wajib menggantinya.

Semuanya di sini PNS kecuali aku dan Pak Ardi. Namun, Pak Ardi pun dengar-dengar sudah mendaftar CPNS dan tinggal menunggu hasilnya keluar. Entah akan bertugas di mana dia kalau lulus.

Aku berjalan gontai menuju ruang kelas 10 sambil membawa buku paket, setelah sampai di kelas mereka yang awalnya berisik mendadak hening dan langsung menuju ke mejanya masing-masing.

Aku masuk dan mengucap salam, mereka pun menjawabnya. Tanpa basa-basi, mereka serempak membaca doa belajar.

"Bu, kan hari ini gak ada mata pelajaran ibu?" tanya seorang murid laki-laki setelah doa selesai dibacakan, aku membaca nametag nya, samar-samar kulihat namanya Rangga.

"Bu Rema nya gak hadir, jadi ibu yang gantiin," jawabku.

Mereka langsung diam.

"Kenapa memangnya? Gak mau belajar sama ibu?" tanyaku lagi pada mereka, tetapi mataku tertuju dengan Gian yang terus menatapku tetapi sedikit sinis seakan menantang.

"Bukan tidak suka bu, tapi rasanya ingin lihat ibu terus," celetuknya sampai membuat seisi kelas bersorak kecuali Gian.

"Apaan sih, sudah-sudah. Buka bukunya dan mari belajar!"

"Tapi dipantau ibu kan? Bukan cuma ngasih tugas terus keluar," celetuk Rehan.

"Ya iyalah, ya kali saya ditugaskan jadi guru pengganti tapi pergi lagi!" Tegasku seperti marah.

Mereka langsung diam, jika aku terus-terusan lemah lembut, cengengesan, mudah digoda, mereka akan lebih bar-bar berani dan bisa menyepelekan guru juga.

"Sebelum lanjut menulis ke materi selanjutnya, silakan baca buku materi sebelumnya selama 10 menit dari sekarang!" Perintahku yang langsung mereka turuti.

Mereka sudah paham, jika setiap mata pelajaranku selalu dibiasakan membaca buku sepuluh menit sebelum lanjut ke meteri berikutnya, mereka langsung nurut karena aku akan mengajukan beberapa pertanyaan tanpa melihat buku. Mereka juga tahu konsekuensinya jika tidak bisa menjawab.

Tidak ada yang nakal atau bersuara dan jahil ke teman, mereka semua fokus dengan buku tulisannya sampai akhirnya sepuluh menit itu pun habis dan berlalu.

"Waktunya habis, tutup bukunya!" Perintahku, tetapi tidak semua murid langsung menutupnya, ada yang masih membaca bahkan nampak sekali terlihat menghafal hi hi, apalagi perempuan.

"Tutup bukunya! Tegasku sekali lagi sambil melihat satu persatu buku tertutup di atas meja.

"Oke, sebelum lanjut. Apa kalian sudah benar-benar membaca bukunya?"

"Iya, Bu," jawabnya serempak.

"Sudah sarapan juga semuanya?"

"Sudah!"

"Baik, kita lanjut ke pertanyaan pertama. Apa yang disebut dengan integrasi nasional?"

"Jawablah sesuai dengan pengertian kalian masing-masing sesuai dengan yang kalian pahami dari apa yang kalian tulis asal tidak keluar konteks!"

Aku tidak menunjuk mereka langsung, tetapi membiarkan mereka mengacungkan tangannya, jika tidak ada baru aku menunjuknya.

"Saya!" Seorang murid perempuan mengacungkan tangannya. Dia duduk di posisi paling depan dan dia juga bisa dibilang aktif di kelas jika menjawab pertanyaanku.

"Iya, Naila silahkan dijawab."

"Integrasi Nasional adalah proses penyatuan berbagai kelompok sosial, budaya, ekonomi, dalam sebuah negara untuk membentuk identitas negara kuat dan terintergrasi. Agar menciptakan sebuah negara dengan bangsa yang memiliki loyalitas yang tinggi karena menciptakan sebuah kesatuan dan persatuan antar warga negara. Jadi, kalau suatu negara yang berintegrasi, pasti masyarakatnya gak akan tinggal diam jika ada yang melakukan tindakan ketidak adilan, karena masyarakatnya pasti bersatu dan kompak. Mereka juga tidak akan asal menyerang tanpa masalah yang jelas." Jelasnya.

Aku memberikan apresiasi dengan tepuk tangan.

"Jawabannya benar, ada lagi yang lain?"

Rangga mengacungkan tangan.

"Sama saja seperti Naila, tetapi menurutku begini integrasi nasional adalah upaya sebuah negara dalam menciptakan sebuah proses persatuan dan kesatuan negara dari berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, baik itu melalui pendidikan, ekonomi, maupun politik agar tercipta negara yang terintegrasi, karena kata Naila tadi Integrasi itu untuk menciptakan identitas negara, jadi jika negara sudah memiliki integrasi nasional yang kuat pasti warga atau masyarakatnya akan kompak dan setia untuk terus menjunjung negara dan menjadikan negara yang adil dan makmur, membela jika tidak ada keadilan atau peperangan misal. Gak salah dong kalau masyarakat juga demo jika merasa tidak adil dalam pemerintahan, namun jika mereka memahami integrasi nasional, mereka yang demo tidak akan asal-asalan menghancurkan segalanya. Tapi aku pribadi nih ya, Bu. Aku juga bakalan demo kalau kelewatan, aku sekolah dan berpendidikan, bahasa pun dijaga. Tapi kalau kelewatan ya gak salah juga dong kalau kasar?

Kalau negara ga bisa membuat warga atau masyarakatnya bersatu untuk sebuah kebenaran, setia dalam pembelaan yang benar maka gagal lah itu negara menurutku, Bu. Intinya negaranya tidak terintegrasi, asal berdiri tanpa pondasi."

Jawaban Rangga membuatku tersenyum kagum. Bisa sampai sana otak dia.

"Oke bagus Rangga."

"Ada tambahan lagi, Bu," ujat Rangga.

"Iya apa?"

"Sebuah negara yang terintegrasi itu warganya harus sudah memiliki pemahaman dalam pendidikan berupa nilai-nilai dan prinsip-prinsip serta sejarah dan budaya negara, dalam segi ekonomi warga sudah mendapatkan manfaat dari kemajuan negara yang artinya warga bisa merasakan hidup sejahtera, dalam segi buda warga bisa saling menghargai keragaman budaya di negara dan saling menghormati, dan melalui sistem politik warga bisa merasakan keadilan dari sebuah pimpinan aturan negara, warga diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, intinya warga bisa ikut andil dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sebuah pemimpin negara. Begitu mungkin, Bu."

"Tepuk tangan untuk Rangga."

Mereka serempak bertepuk tangan, sedari tadi aku melihat Gian masih dengan tatapan dingin, tapi biarlah aku tidak peduli.

"Bu, kalau bahas gini rasanya ingin selalu koar-koar," kata Rangga.

"Kenapa?"

"Suka pengen ngomentari negara dan warganya," ujarnya."

"He he, sudahlah. Intinya jawaban kamu pun sudah membuat jelas, meskipun kemana-mana tetapi tidak keluar konteks."

"Bu, aku ada pertanyaan buat ibu."

"Apa?"

"Kenapa warga negara di konoha ga bisa maju-maju dan kadang nih yang dekat-dekat aja di kampung aja nih, orang-orang lebih muji dikasih bantuan berupa uang yang jarang, tapi gak sadar kalau dirinya ditolong setiap hari itu sama siapa gitu, seakan gak menghargai usaha orang-orang terdekatnya, lebih senang diberi daripada mengapresiasi orang terdekatnya yang senantiasa memberikan uang, makanan, atau apa gitu, kenapa coba bu?" Pertanyaan Rangga membuatku geleng-geleng kepala.

"Makanya kalau hidup di konoha jangan terlalu dekat sama orang dan sering-sering membantu, karena yang dipuji itu yang jarang terlihat tapi sekali ketemu ngasih uang. Tanyakan aja sama hati dan otaknya, punya masalah apa gitu?

Pelajaran aja nih ya buat kita di sini, kalau dalam sebuah kelompok memiliki sifat iri dengki, dan salah salah satu di antara mereka ada yang memiliki usaha jangan harap dibantu mereka, yang ada akan dihancurkan. Jadi kalau kalian ingin maju, evaluasi diri sendiri dari sekarang, kembangkan potensi yang ada, berkembanglah sendirian tanpa bantuan siapa pun termasuk teman, jangan bilang apa rencana kamu. Kalau mau ngasih tahu nanti aja setelah sukses."

"Kenapa, Bu?" tanya Naila menyela.

"Karena hidup kita, baik senang maupun pahit yang bantu kita tetap bertahan itu diri kita sendiri bukan teman maupun orang lain, bukan ngasih tahu jangan punya teman, tetapi jangan terlalu terbuka tentang rencana dengan teman, privasikan apa yang akan menjadi tujuan kamu. Kita gak tahu isi hati seseorang. Kalau gak percaya silakan kalian rasakan kehancuran dalam hidup, siapa yang akan membela habis-habisan sampai full selain diri sendiri. Sudah terpuruk sahabat pun cuma bilang sabar."

"Pengalaman ya, Bu?" celetuk Rehan.

"Maybe."

"Jadi jawaban yang tadi saya ajukan apa, Bu?" tanya Rangga.

"He he, iya tanyakan hati dan otaknya. Itu alasan kenapa gak maju-maju, karena ada rasa saling ingin tinggi dan tidak tersaingi, bukan saling kerja sama untuk tinggi bareng-bareng."

"Gitu ya, Bu?" tanya Rangga.

"Iya iya iya, deh."

Aku menjadi pusing sendiri dengan pertanyaan yang aku ajukan.

"Lanjut nulis aja deh, ya?" kataku untuk mengakhiri kebiasaanku awal masuk kelas.

"Kenapa, Bu?" tanya Rosa.

"Soalnya waktunya sudah mau habis, tapi belum ada bukti ke Bu Rema kalau kalian lanjut materi, jadi lanjut nulis aja ya soalnya ini bukan mapel ibu," kataku. Padahal aku takut ini jadi kelas debat.

"Yah, padahal seru loh. Daripada nulis terus monoton," ujar Rangga mengeluh.

"Masalahnya ibu bukan ahli negara ha ha."

"Ya gak gitu juga Bu, setidaknya kita semangat belajar."

"Ya sudahlah, nanti ibu ajak bu Rema agar belajarnya kayak gini."

"Gak lah, ga seru ah, Bu," timpal Naila.

"Ah sudahlah ibu pusing, semua guru punya cara belajarnya masing-masing," ucapku memegang kepala dengan kedua tanganku dan tidak sengaja menoleh ke arah Gian dan dia menyunggingkan senyum.

Hemm, melihat dia tersenyum rasanya aku berasa hidup berwarna kembali.

1
Bonsai Boy
Jangan menunda-nunda lagi, ayo update next chapter sebelum aku mati penasaran! 😭
Hiro Takachiho
Gak sabar nih baca kelanjutannya, jangan lama-lama ya thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!