"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 21
Pagi menjelang siang saat jarum pendek sang penunjuk waktu berada di angka sepuluh sebuah pesan masuk di ponsel Renata. Membuat sang empunya yang tengah membersihkan lantai kamar segera mengambil benda pintar tersebut.
Sebuah foto sang suami yang tengah duduk didalam mobil dilengkapi keterangan terpampang jelas di layar ponselnya.
"Sayang mas sudah di mobil ini lagi on the way ke kantor, maaf telat ngabarin. Kamu lagi apa sekarang?"
"Alhamdulillah kalau sudah sampai, aku lagi beresin kamar. Ibu ada menghubungi mas enggak? tadi nelepon aku nanyain mas kenapa nomor nya enggak aktif."
"Ada tadi ke nomor kerja pas masih di Soetta, mas sudah bilang ke ibu mas akan bicarakan dulu sama kamu. Jadi enggak usah dipikirkan meskipun lusa habis dari sini mas langsung ke Bandung, mas tidak akan ambil keputusan tanpa persetujuan mu sayang. Sudah dulu ya, sebentar lagi sampai mungkin habis itu mas off hp mau prepare meeting. Baik-baik disana sama ibu, doakan mas biar kerjaannya lancar dan bisa cepat pulang. Sudah rindu lagi ini."
"Iya mas juga baik-baik disana, jaga mata dan hati ya. Aku juga merindukan mas." Renata tatapi layar dengan senyum merekah, gelisah yang sedari tadi memenuhi dada seketika menguap entah kemana saat mengetahui suaminya sudah berada di Surabaya dengan selamat. Kata-kata manis sang suami yang merindu bak obat penenang tanpa dosis yang membuatnya seperti menemukan oase di tengah gurun pasir.
.
.
.
Fauzan turun dari mobil, ia tatapi bangunan tinggi nan megah dihadapannya itu yang sudah hampir satu tahun tidak ia datangi. Ada harapan, bangga dan sedikit nervous mengganggu kepercayaan dirinya mengingat kedatangannya kali ini adalah mewakili seorang Lukman. Saat tubuh tegapnya mulai melangkah masuk menuju pintu utama hawa sejuk langsung menyapa wajah dan tubuhnya kala pintu kaca nan besar terbuka otomatis.
Lobby terasa lengang hanya ada beberapa orang lalu lalang yang seketika menyambutnya dengan senyum dan jabat tangan saat kakinya menginjak marmer yang mengkilap.
"Selamat datang pak Fauzan, bapak langsung saja naik ke lantai tiga disana sudah ada pak Eko dan Mr. Hon sedang nunggu bapak."
"Pak Fauzan, mari!"
Fauzan berikan anggukan kepala pada sang receptionist yang mengarahkannya dengan ramah. Kemudian ia memutar leher mengarah pada suara seorang laki-laki yang memanggil namanya.
"Terimakasih banyak."
"Selamat datang kembali disini pak, lama ya tidak kesini?"
"Iya, saya hampir setahun tidak kesini semenjak memegang proyek yang di Bandung. Dan kebetulan hari ini saya ditugas untuk menggantikan pak Lukman."
Denting lift menyudahi percakapan keduanya, Fauzan ayunkan kaki mengikuti langkah Ferdy yang baru diketahuinya sebagai sekretaris pak Eko. Dalam kurun waktu yang hampir satu tahun tak mendatangi kantor cabang Surabaya banyak hal yang berubah membuatnya sedikit canggung sebab yang ia temui sekarang kebanyakan orang baru.
Dua jam berlalu, satu persatu para petinggi perusahaan yang mewakili cabang dari tiap kota keluar dari ruang meeting termasuk Fauzan. Raut puas terpancar dari wajahnya menyamarkan gurat lelah setelah perjalanan jalur udara dari ibukota ke Surabaya ditambah meeting yang menghabiskan waktu dua jam membuat pria berusia 30 tahun itu berencana langsung ke hotel untuk istirahat dan mengisi perut yang mulai terasa keroncongan. Meski saat meeting di sediakan snack, namun hanya mampu mengganjal selama acara itu berlangsung.
"Pak, antar saya langsung ke hotel saja sekarang." Pinta Fauzan pada sopir kantor yang sudah berjaga depan pintu lobby.
"Iya pak, mari!"
.
.
.
Fauzan melepas sepatu dan pakaian kerjanya, tubuh yang lelah dengan perut yang sudah kenyang membuatnya ingin segera merapatkan diri pada kasur empuk yang sedari tadi seakan melambai-lambai memanggilnya.
Ia merogoh ponsel bermaksud untuk memberi kabar pada sang istri, namun bersamaan dengan itu layar benda pintar itu lebih dulu menyala. Nama yang tertera dilayar membuatnya mengerutkan kedua alis. Sophie gumamnya, namun tak urung ia menggeser layar yang seketika menampakkan wajah Sophia, namun tak lama kemudian kamera beralih menampakkan wajah ibunya yang tengah bercanda dengan si kembar.
Seketika bibirnya pun melengkung membentuk senyuman kala melihat dua keponakan tersayangnya. "Hai, kesayangan papa lagi apa? Main ya sama Oma?" Panggilnya sembari membenahi duduknya diatas kasur.
"Zan, gimana kerjaanmu disana lancar?"
"Alhamdulillah Bu lancar semuanya, doakan ya besok Zan mau bertemu investor dari luar. Dan sorenya langsung pulang ke Bandung."
"Jadi benar yang dikatakan Rena kalau kamu langsung kesini?"
"Iya bu, sebenarnya jadwalnya hari ini ke Bandung tapi berhubung ada perubahan jadinya besok. Ibu mau dibawakan oleh-oleh apa dari sini?"
"Apa saja ibu terima dengan senang hati, tapi jangan lupa juga beliin si kembar dan Sophie juga ya. Lihat Zan, mereka senang sekali dengar suara kamu mungkin mereka menganggap kamu ayahnya."
"Bu..." Fauzan menghela napas, tak tega melihat reaksi sang ibu yang masih sering sedih kala mengingat Fajar.
"Sophie" Fauzan akhirnya memanggil Sophia hendak mengakhiri obrolannya sebab tak ingin melihat kesedihan sang ibu.
"Iya mas"
"Mas tutup dulu ya teleponnya, mau istirahat dulu mumpung masih siang soalnya nanti masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Kakak, Kia! Sudahan dulu ya sayang, sampai ketemu besok malam." Ucapnya diakhiri salam bersamaan dengan ponselnya yang satu lagi menyala, menampakkan nama sang istri di layarnya. Namun ia hanya memandangnya sekilas, bukan niat untuk mengabaikan namun mata yak bisa lagi diajak kompromi lelah dan kantuk telah menguasai raga.
Maaf sayang, mas ngantuk sekali, mas janji nanti akan telepon balik. Gumamnya sembari mengalihkan panggilan. Kedua ponselnya yang sudah ia ganti ke mode silent diletakkannya diatas nakas, lalu merebahkan tubuh melupakan janjinya yang tadi ia ucapkan pada sang istri akan menghubunginya setelah selesai meeting.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌