Asillah, seorang wanita karir yang sukses dan mandiri, selalu percaya bahwa jodoh akan datang di waktu yang tepat. Ia tidak terlalu memusingkan urusan percintaan, fokus pada karirnya sebagai arsitek di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Namun, di usianya yang hampir menginjak kepala tiga, pertanyaan tentang "kapan menikah?" mulai menghantuinya. Di sisi lain, Alfin, seorang dokter muda yang tampan dan idealis, juga memiliki pandangan yang sama tentang jodoh. Ia lebih memilih untuk fokus pada pekerjaannya di sebuah rumah sakit di Jakarta, membantu orang-orang yang membutuhkan. Meski banyak wanita yang berusaha mendekatinya, Alfin belum menemukan seseorang yang benar-benar cocok di hatinya. Takdir mempertemukan Asillah dan Alfin dalam sebuah proyek pembangunan rumah sakit baru di Jakarta. Keduanya memiliki visi yang berbeda tentang desain rumah sakit, yang seringkali menimbulkan perdebatan sengit. Namun, di balik perbedaan itu, tumbuhlah benih-benih cinta yang tak terduga. Mampukah Asillah dan Alfin mengatasi perbedaan mereka dan menemukan cinta sejati? Ataukah jodoh memang tidak akan lari ke mana, namun butuh perjuangan untuk meraihnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liburan romantis,kejutan tak terduga, dan kekesalan yg memuncak
Liburan di villa pegunungan berjalan sangat menyenangkan. Asillah dan Alfin menikmati setiap momen bersama Aisyah. Mereka bermain di taman, berenang di kolam renang, dan menikmati pemandangan indah dari balkon villa.
Suatu malam, setelah Aisyah tertidur, Alfin mengajak Asillah untuk makan malam romantis di restoran villa. Restoran itu memiliki suasana yang sangat romantis dengan lampu-lampu yang temaram dan lilin-lilin yang menyala di setiap meja.
"Aku memesan tempat ini khusus untukmu. Aku ingin kita memiliki waktu berdua saja," kata Alfin, sambil menarik kursi untuk Asillah.
"Terima kasih, Alfin. Aku sangat menghargainya," balas Asillah, tersenyum manis.
Mereka berdua menikmati makan malam dengan obrolan ringan dan canda tawa. Alfin terus memuji kecantikan Asillah dan membuat Asillah tersipu malu.
"Kamu semakin cantik saja, Asillah. Aku semakin jatuh cinta padamu setiap hari," kata Alfin, sambil menggenggam tangan Asillah.
"Kamu juga semakin gombal saja, Alfin. Tapi, aku suka," balas Asillah, tertawa kecil.
Setelah selesai makan malam, Alfin mengajak Asillah untuk berdansa di lantai dansa restoran. Mereka berdua berdansa dengan mesra, melupakan semua masalah dan kekhawatiran mereka.
"Aku merasa sangat bahagia bersamamu, Alfin. Aku tidak ingin malam ini berakhir," kata Asillah, sambil menyandarkan kepalanya di dada Alfin.
"Aku juga merasa sangat bahagia bersamamu, Asillah. Aku akan melakukan apapun untuk membuatmu bahagia selamanya," balas Alfin, mencium rambut Asillah dengan lembut.
Saat mereka sedang berdansa, tiba-tiba seorang wanita menghampiri mereka. Wanita itu adalah Renata.
"Alfin? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Renata, dengan nada yang terkejut.
Asillah terkejut melihat Renata. Ia merasa sangat kesal dan cemburu. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan Renata di tempat ini.
"Renata? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alfin, dengan nada yang tidak kalah terkejut.
"Aku sedang berlibur di villa ini. Aku tidak tahu kamu juga ada di sini," jawab Renata, dengan nada yang sinis.
"Aku juga sedang berlibur di sini bersama istri dan anakku," kata Alfin, sambil merangkul Asillah dengan erat.
Renata menatap Asillah dengan tatapan yang sinis dan meremehkan. "Jadi, ini istrimu? Dia tidak secantik yang aku bayangkan," kata Renata, dengan nada yang merendahkan.
Asillah merasa sangat marah mendengar perkataan Renata. Ia ingin sekali membalas perkataan Renata, tapi ia berusaha untuk menahan diri.
"Maaf, Renata. Aku dan istriku sedang menikmati waktu berdua. Sebaiknya kamu pergi dari sini," kata Alfin, dengan nada yang tegas.
"Kenapa aku harus pergi? Aku juga punya hak untuk berada di sini. Aku ingin berbicara denganmu, Alfin," kata Renata, dengan nada yang memaksa.
"Aku tidak ingin berbicara denganmu, Renata. Aku sudah menikah. Aku tidak ingin mengkhianati istriku," kata Alfin, dengan nada yang semakin tegas.
"Kamu yakin? Apa kamu sudah melupakanku sepenuhnya? Apa kamu tidak merindukanku?" tanya Renata, dengan nada yang menggoda.
"Aku sudah melupakanmu, Renata. Aku hanya mencintai istriku. Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum aku memanggil keamanan," kata Alfin, dengan nada yang mengancam.
Renata menatap Alfin dengan tatapan yang penuh amarah dan kebencian. "
Renata menatap Alfin dengan tatapan penuh amarah dan kebencian. "Kamu akan menyesal telah menolakku, Alfin. Aku akan membuat hidupmu dan istrimu menderita," ancam Renata, dengan suara berbisik namun penuh dengan racun.
Asillah yang sedari tadi berusaha menahan diri, kini terpancing emosinya. Ia maju selangkah, berdiri di depan Alfin, melindungi suaminya dari tatapan Renata.
"Dengar ya, Renata. Aku tidak tahu apa masalahmu dengan Alfin, tapi jangan pernah berani mengancam keluargaku. Kalau sampai kamu berani menyentuh kami, aku tidak akan tinggal diam," ucap Asillah, dengan nada dingin namun penuh dengan ketegasan.
Renata tertawa sinis. "Oh, jadi kamu berani melawanku? Kamu pikir kamu siapa? Kamu hanya seorang istri yang tidak tahu apa-apa tentang masa lalu Alfin," balas Renata, meremehkan.
"Aku memang tidak tahu semua tentang masa lalu Alfin, tapi aku tahu satu hal. Alfin mencintaiku dan aku mencintainya. Itu sudah cukup untuk membuatku yakin bahwa kami akan baik-baik saja," jawab Asillah, dengan nada yang penuh keyakinan.
"Cinta? Cinta itu omong kosong! Alfin hanya kasihan padamu. Dia tidak benar-benar mencintaimu," sergah Renata, berusaha memprovokasi.
"Cukup, Renata! Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu lagi. Pergi dari sini sekarang!" bentak Alfin, yang sudah tidak tahan dengan tingkah Renata.
Renata terkejut mendengar bentakan Alfin. Ia menatap Alfin dengan tatapan yang terluka. "Kamu membentakku demi wanita ini? Kamu sudah berubah, Alfin," ucap Renata, dengan nada sedih.
"Aku memang sudah berubah. Aku sudah menemukan kebahagiaanku bersama Asillah dan Aisyah. Aku tidak membutuhkanmu lagi," balas Alfin, dengan nada tegas.
Renata terdiam sejenak. Ia tampak berpikir keras. Kemudian, ia tersenyum sinis. "Baiklah, aku akan pergi. Tapi, ingat Alfin, aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan kembali dan merebutmu dari wanita ini," ancam Renata, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan mereka.
Asillah merasa lega setelah Renata pergi. Namun, ia juga merasa khawatir dengan ancaman Renata. Ia takut Renata akan melakukan sesuatu yang buruk pada keluarganya.
"Jangan khawatir, Asillah. Aku tidak akan membiarkan Renata menyakitimu atau Aisyah. Aku akan melindungimu dengan segenap jiwa ragaku," ucap Alfin, memeluk Asillah dengan erat.
"Aku percaya padamu, Alfin. Aku tahu kamu akan melindungiku," balas Asillah, membalas pelukan Alfin.
Namun, tanpa mereka sadari, Renata ternyata belum pergi jauh. Ia bersembunyi di balik pilar restoran dan mendengarkan percakapan mereka. Ia merasa sangat marah dan sakit hati melihat kemesraan Alfin dan Asillah.
"Aku tidak akan membiarkan mereka bahagia. Aku akan menghancurkan mereka," gumam Renata, dengan tatapan penuh dendam.
Keesokan harinya, saat Asillah sedang bermain dengan Aisyah di taman villa, tiba-tiba seorang pria menghampirinya. Pria itu mengaku sebagai teman lama Alfin.
"Hai, Asillah. Apa kabar? Aku teman lama Alfin," sapa pria itu, dengan senyum ramah.
"Hai. Kabarku baik. Siapa ya?" tanya Asillah, merasa curiga.
"Aku Rian. Dulu aku sering bermain dengan Alfin saat masih kuliah," jawab pria itu, memperkenalkan diri.
"Oh, Rian. Aku baru dengar nama "Oh, Rian. Aku baru dengar nama kamu dari Alfin. Maaf, aku sedikit lupa," kata Asillah, mencoba bersikap ramah meskipun hatinya merasa tidak enak. Ada sesuatu dari tatapan Rian yang membuatnya tidak nyaman.
"Tidak apa-apa, wajar saja. Sudah lama sekali sejak aku bertemu Alfin. Aku dengar dari teman-teman kalau dia sudah menikah dan punya anak. Selamat ya," ucap Rian, tersenyum sambil melirik Aisyah yang sedang bermain di dekat Asillah.
"Terima kasih," balas Asillah singkat. Ia merasa tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Rian.
"Aku lihat kalian sedang liburan. Villa ini memang tempat yang bagus untuk bersantai," kata Rian, mencoba memulai percakapan.
"Iya, kami butuh sedikit waktu untuk beristirahat," jawab Asillah, sambil terus mengawasi Aisyah.
"Alfin pasti sangat bahagia memiliki istri secantik kamu. Dulu, dia tidak pernah tertarik dengan wanita. Aku kira dia akan jadi bujangan selamanya," kata Rian, terkekeh pelan.
Asillah mengerutkan kening. "Maksud kamu?" tanyanya, merasa tidak nyaman dengan arah pembicaraan Rian.
"Ah, tidak. Lupakan saja. Dulu Alfin memang sedikit berbeda. Dia sangat fokus dengan kuliahnya dan tidak punya waktu untuk pacaran. Tapi, syukurlah dia akhirnya menemukan wanita yang tepat," kata Rian, mencoba memperbaiki perkataannya.
"Aku permisi dulu ya. Aku harus menjaga Aisyah," kata Asillah, mengakhiri percakapan dan beranjak pergi.
Rian hanya tersenyum dan mengangguk. Namun, Asillah merasa tatapan Rian mengikutinya. Ia merasa semakin tidak nyaman dan curiga.
"Siapa pria itu?" tanya Alfin, tiba-tiba muncul di samping Asillah.
"Dia mengaku teman lama kamu, namanya Rian," jawab Asillah, menatap Alfin dengan tatapan menyelidik.
"Rian? Aku tidak ingat punya teman bernama Rian," kata Alfin, mengerutkan kening.
"Dia bilang dia teman kuliah kamu," kata Asillah, semakin curiga.
"Aku benar-benar tidak ingat. Mungkin dia salah orang," jawab Alfin, terlihat bingung.
"Dia tahu nama kamu, nama aku, bahkan dia tahu kalau kita punya anak. Apa mungkin dia salah orang?" tanya Asillah, dengan nada yang menantang.
Alfin terdiam sejenak. Ia tampak berpikir keras. "Aku benar-benar tidak ingat. Tapi, jangan khawatir. Aku akan mencari tahu siapa dia," kata Alfin, mencoba menenangkan Asillah.
"Aku tidak suka ini, Alfin. Aku merasa ada yang tidak beres," kata Asillah, memeluk Alfin erat.
"Aku tahu. Aku akan melindungimu dan Aisyah. Aku janji," balas Alfin, membalas pelukan Asillah.
Namun, dalam hati, Alfin juga merasa tidak tenang. Ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ia memutuskan untuk mencari tahu siapa Rian sebenarnya.
Malam itu, saat Asillah dan Aisyah sudah tidur, Alfin keluar dari villa dan mencari Rian. Ia menemukan Rian sedang duduk di bar villa, minum sendirian.
"Siapa kamu sebenarnya?" tanya Alfin, langsung menghampiri Rian dengan nada mengancam.
Rian tersenyum sinis. "Akhirnya kamu datang juga, Alfin. Aku sudah menunggu," jawab Rian, dengan nada mengejek.
"Apa mau kamu?" tanya Alfin, semakin marah.
"Aku ingin kamu mengakui siapa aku sebenarnya," jawab Rian, menantang Alfin.
Alfin terdiam sejenak. Ia menatap Rian dengan tatapan menyelidik. Tiba-tiba, ia teringat sesuatu.
"Renata yang menyuruhmu?" tanya Alfin, dengan nada yang penuh amarah.
Rian tersenyum lebar. "Kamu pintar juga, Alfin. Ya, Renata yang menyuruhku. Dia ingin kamu menderita," jawab Rian, mengakui segalanya.
"Apa yang sudah kamu lakukan pada istri dan anakku?" tanya Alfin, dengan nada yang sangat marah.
"Belum ada. Tapi, aku akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal seumur hidupmu," jawab Rian, dengan tatapan penuh dendam.
Tanpa berpikir panjang, Alfin langsung menyerang Rian. Mereka berdua terlibat perkelahian sengit di bar villa.
Sementara itu, di dalam villa, Asillah terbangun dari tidurnya. Ia merasa tidak enak hati dan khawatir dengan Alfin. Ia memutuskan untuk mencari Alfin.
Saat ia keluar dari villa, ia melihat Alfin dan Rian sedang berkelahi di bar. Ia sangat terkejut dan takut. Ia berlari menghampiri mereka.
"Alfin! Hentikan!" teriak Asillah, berusaha menghentikan perkelahian.
Namun, Alfin dan Rian tidak mendengarnya. Mereka terus berkelahi dengan