NovelToon NovelToon
TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

TAWANAN RAHASIA SANG KAELITH

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Obsesi / Identitas Tersembunyi / Sugar daddy
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: aufaerni

Nayara Elvendeen, mahasiswi pendiam yang selalu menyendiri di sudut kampus, menyimpan rahasia yang tak pernah diduga siapa pun. Di balik wajah tenangnya, tersembunyi masa lalu kelam dan perjanjian berduri yang mengikat hidupnya sejak SMA.

Saat bekerja paruh waktu di sebuah klub malam demi bertahan hidup, Nayara terjebak dalam perangkap yang tak bisa ia hindari jebakan video syur yang direkam diam-diam oleh seorang tamu misterius. Pria itu adalah Kaelith Arvendor Vemund, teman SMA yang nyaris tak pernah berbicara dengannya, tapi diam-diam memperhatikannya. Kini, Kaelith telah menjelma menjadi pemain sepak bola profesional sekaligus pewaris kerajaan bisnis ternama di Spanyol. Tampan, berbahaya, dan memiliki pesona dingin yang tak bisa ditolak.

Sejak malam itu, Nayara menjadi miliknya bukan karena cinta, tapi karena ancaman. Ia adalah sugar baby-nya, tersembunyi dalam bayang-bayang kekuasaan dan skandal. Namun seiring waktu, batas antara keterpaksaan dan perasaan mulai mengabur. Apakah Nayara hanya boneka di tangan Kaelith, atau ada luka lama yang membuat pria itu tak bisa melepaskannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SETIAP PERBUATAN BAIK TAK BERNILAI BAIK

Tidak terasa sudah seminggu mereka menghabiskan waktu di Lisboa. Kini, Kaelith dan Nayara kembali ke Sevilla menggunakan pesawat pribadi keluarga Vemund, milik orang tua Kaelith.

Di dalam kabin mewah yang sepi penumpang lain, hanya suara mesin pesawat dan deru angin di luar yang terdengar. Nayara duduk di kursinya, menatap keluar jendela, melihat awan-awan putih yang berarak, sementara pikirannya melayang pada kenangan selama liburan momen-momen yang bercampur antara manis dan getir.

Kaelith, yang duduk di seberangnya, tampak santai bersandar, sesekali meneguk minumannya, namun matanya tetap memperhatikan Nayara, seolah ingin memastikan gadis itu tidak lepas dari pengawasannya.

“Bagaimana kesan liburanmu, Nayara?” tanya Kaelith sambil mengulurkan tangan, jemarinya mengelus perlahan rambut panjang gadis itu.

Nayara mengerjap, seakan tersadar dari lamunannya. “Cukup… melelahkan,” jawabnya singkat, memilih kata yang aman, meski senyum tipisnya sulit menyembunyikan rasa ragu yang ia rasakan.

Kaelith terkekeh pelan, mencondongkan tubuhnya. “Melelahkan, hm? Aku anggap itu pujian, baby.”

Nayara hanya mendengus pelan, memilih menatap keluar jendela pesawat pribadi keluarga Vemund yang kini melaju di atas awan.

Kaelith meraih segelas wine di meja kecil di samping kursinya, lalu menyesapnya sambil tetap menatap wajah Nayara. “Kita akan kembali ke rutinitas, tapi ingat… aku tetap mengatur segalanya untukmu. Tidak ada yang berubah.”

Nayara menelan ludahnya, merasakan berat di dadanya. Ia tahu, sekalipun liburan telah usai, dirinya tetap berada dalam genggaman pria itu.

“Bisakah nanti kau mengizinkanku pergi ke rumah sakit? Ada hal penting mengenai ibuku yang harus aku urus,” ucap Nayara dengan nada memohon, suaranya nyaris berbisik.

"Hanya tiga puluh menit. Setelah itu, kau harus kembali ke apartemen," ucap Kaelith dengan nada dingin, tatapannya tajam tanpa memberi ruang untuk tawar-menawar.

Nayara hanya mengangguk pelan, menundukkan kepala untuk menyembunyikan raut kecewanya.

Perjalanan di pesawat pribadi itu berlangsung hening, hanya terdengar suara mesin yang stabil.

Begitu pesawat mendarat di bandara pribadi milik keluarga Vemund, Kaelith langsung menggandeng tangan Nayara menuju mobil yang sudah menunggu.

Sepanjang jalan menuju Sevilla, tak banyak kata yang terucap hanya genggaman Kaelith yang erat, seolah mengingatkan Nayara bahwa kendali tetap ada di tangannya.

Mobil berhenti tepat di depan rumah sakit. Sebelum Nayara sempat membuka pintu, Kaelith menoleh, menatapnya tajam dari balik kacamata hitam yang ia kenakan.

“Tiga puluh menit, Nayara. Aku tidak akan menerima alasan jika kau terlambat,” ucapnya tegas, nada suaranya dingin dan tak memberi ruang untuk tawar-menawar.

Nayara hanya mengangguk singkat, menelan rasa tertekan yang membelit dadanya, lalu turun dan melangkah masuk ke dalam rumah sakit.

Begitu masuk, aroma antiseptik langsung menyambutnya. Langkah Nayara tergesa melewati lorong putih yang terasa panjang, sementara pikirannya penuh kekhawatiran tentang kondisi ibunya.

Setibanya di depan ruang rawat, ia melihat Brigite duduk di bangku tunggu sambil memainkan ponselnya. Begitu melihat Nayara, wanita itu berdiri dan tersenyum tipis.

“Keadaannya membaik, tapi dokter bilang masih harus banyak istirahat,” ujar Brigite pelan.

Nayara mengangguk, lalu masuk ke dalam kamar. Di sana, ibunya terbaring lemah, namun ada sedikit warna di pipinya tanda kondisi mulai stabil. Nayara mendekat, menggenggam tangan ibunya erat.

Waktu terasa berjalan terlalu cepat, dan setiap detik hanya membuatnya semakin sulit menerima kenyataan bahwa dalam hitungan menit, ia harus kembali ke sisi Kaelith.

Fredricka membuka mata perlahan, tatapan dingin segera mengunci pada wajah Nayara yang berdiri di sisi ranjang.

“Mau apa kau kemari?” suaranya terdengar serak, namun penuh ketus.

Nayara menelan ludah, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang. “Aku… hanya ingin melihat kondisi Ibu.”

Fredricka mendengus, senyum miring terlukis di bibirnya. “Kau senang melihatku seperti ini, ya? Benar kan? Kau pasti puas melihat ibumu terbaring lemah begini.”

Ucapan itu menusuk, membuat Nayara terpaku di tempat, merasakan dada yang tiba-tiba sesak.

Brigite yang baru saja masuk dengan membawa termos air panas terhenti di ambang pintu. Ia mendengar jelas nada tajam Fredricka, membuat alisnya langsung berkerut.

“Ricka, tak sepantasnya kau berbicara seperti itu pada putrimu,” tegur Brigite dengan suara tegas, menatap sahabatnya yang terbaring di ranjang.

Fredricka hanya mengalihkan pandangan, sementara Nayara berdiri kaku, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.

Sesak di dadanya membuat napas Nayara terasa berat. Tanpa berkata apa-apa, ia memilih keluar dari ruangan, melangkah cepat menyusuri lorong rumah sakit hingga menemukan bangku panjang di dekat jendela. Ia duduk di sana, menunduk, berusaha menahan air mata yang akhirnya jatuh juga.

Tak lama kemudian, langkah pelan Brigite terdengar mendekat. Wanita itu duduk di samping Nayara, menghela napas sebelum meraih bahu gadis itu dengan lembut.

“Nayara… sudah, jangan kau pendam sendiri,” ucapnya pelan, membiarkan Nayara menangis di bahunya.

Nayara menggeleng pelan, mencoba menghapus air matanya, tapi justru semakin deras mengalir.

“Aku hanya… lelah, Brie. Bahkan saat aku berusaha datang dengan niat baik, dia tetap menolakku,” ucap Nayara dengan suara parau.

Brigite menatap anak sahabatnya itu dengan iba. “Kau sudah melakukan yang bisa kau lakukan. Kalau ibumu belum siap menerima, itu bukan salahmu.”

Nayara terdiam, menatap kosong ke arah jendela. Di luar, matahari sore mulai condong, memberi cahaya hangat yang terasa kontras dengan dinginnya hatinya saat ini.

“Aku hanya ingin dia tahu… aku masih peduli,” bisik Nayara lirih.

Brigite duduk di sebelah Nayara, meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.

“Aku tahu, Sayang… aku tahu. Tapi kadang, orang dewasa menyimpan luka yang membuat mereka sulit melihat niat baik orang lain,” ujar Brigite lembut.

Nayara menunduk, bahunya bergetar. “Aku bahkan tidak tahu… apakah dia pernah benar-benar menginginkanku sebagai anaknya.”

Ucapan itu membuat dada Brigite ikut sesak. “Dengar, Nayara… ibumu mungkin tidak pandai menunjukkan rasa sayang. Tapi aku yakin, jauh di dalam hatinya, dia tetap ibumu. Jangan biarkan semua ini membuatmu merasa tak berharga.”

Nayara mengangguk kecil, meski sorot matanya masih redup. “Aku cuma… ingin sekali saja, dengar dia bilang aku anak yang dia banggakan.”

Brigite merangkul Nayara erat, seakan mencoba menjadi pelindung dari semua rasa sakit yang sudah terlalu lama membebani gadis itu.

Beberapa menit kemudian, ponsel Nayara bergetar.

Nama Kaelith terpampang di layar.

Begitu diangkat, suara dingin pria itu langsung terdengar.

“Segera pulang ke apartemen. Aku tidak suka menunggu,” ucapnya tegas tanpa memberi ruang untuk bantahan.

Nayara menelan ludah, lalu menjawab lirih, “Baik…”

Brigite yang duduk di sebelahnya menatap dengan khawatir. “Kau harus pergi?” tanyanya pelan.

Nayara hanya mengangguk, lalu berdiri dan memeluk Brigite sebentar sebelum melangkah pergi, meninggalkan lorong rumah sakit yang terasa semakin sunyi.

Nayara membuka pintu apartemen perlahan. Aroma daging panggang langsung menyambutnya.

Di dapur, Kaelith berdiri santai dengan kemeja lengan digulung, sibuk membolak-balik potongan steak di atas wajan panas. Uap dan aroma bumbu memenuhi ruangan, membuat suasana terasa hangat meski ekspresi pria itu tetap tenang dan terkendali.

Tanpa menoleh, Kaelith berkata, “Cuci tanganmu. Makanannya hampir siap.”

Nayara hanya mengangguk pelan, melepas mantel, lalu melangkah menuju wastafel, mencoba menyembunyikan perasaan campur aduk yang masih tersisa dari rumah sakit tadi.

Tak lama kemudian, Kaelith mematikan kompor dan memindahkan dua piring steak yang sudah tertata rapi ke meja makan. Potongan daging berlapis saus pekat itu terlihat sempurna, dengan kentang panggang dan sayuran di sisinya.

Ia duduk, mempersilakan Nayara dengan gerakan tangan. “Makan. Kau butuh tenaga,” ucapnya datar, tapi tatapannya tajam, seakan membaca seluruh isi hati Nayara.

Nayara menunduk, mulai memotong daging di piringnya. Setiap kunyahan terasa hambar, pikirannya masih terbayang wajah ibunya di rumah sakit.

Kaelith memperhatikan tanpa suara, kemudian berkata pelan, “Kau terlihat lelah. Tapi aku harap kau ingat, aku tak suka melihatmu kehilangan fokus.”

Nayara berhenti mengunyah, meletakkan garpu dan pisau perlahan.

“Aku hanya… masih memikirkan ibuku,” ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan.

Kaelith menyandarkan punggung di kursinya, menyesap anggur merah di tangannya. “Itu bukan alasan untuk melupakan posisimu di sisiku,” jawabnya tenang namun mengandung peringatan.

“Posisi?” Nayara menatapnya, suaranya sedikit bergetar.

Kaelith mengangkat alis, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Kau milikku, Nayara. Segala yang kau lakukan, setiap tempat yang kau datangi, bahkan orang yang kau temui… semua tetap di bawah kendaliku.”

Udara di ruang makan terasa berat. Nayara menunduk lagi, mengambil potongan steaknya, berusaha mengalihkan fokus, meski kata-kata Kaelith berputar-putar di kepalanya.

Kaelith menatapnya cukup lama, lalu melanjutkan makannya tanpa bicara.

Hanya terdengar suara pisau mengiris daging dan dentingan garpu yang membuat Nayara semakin tertekan.

“Aku tidak mencoba melawanmu,” ucap Nayara akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh bunyi pisau. “Aku hanya ingin punya sedikit ruang untuk diriku sendiri.”

Kaelith tersenyum tipis, tapi tatapannya dingin. “Ruangmu adalah aku, Nayara. Semakin cepat kau menerimanya, semakin mudah hidupmu.”

Nayara menggenggam garpunya lebih erat, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Dalam hati, ia tahu percuma membantah karena setiap kali ia mencoba, Kaelith selalu punya cara untuk membuatnya diam.

1
Intan Marliah
Luar biasa
Randa kencana
Ceritanya sangat menarik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!