NovelToon NovelToon
Billioraire'S Deal: ALUNALA

Billioraire'S Deal: ALUNALA

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Pernikahan Kilat / Crazy Rich/Konglomerat / Romansa / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena ultimatum. Namun malam pertama membuka rahasia yang tak pernah mereka duga—bahwa gairah bisa menyalakan bara yang tak bisa padam.

Alaric Alviero—dingin, arogan, pewaris sah kekaisaran bisnis yang seluruh dunia takuti—dipaksa menikah untuk mempertahankan tahtanya. Syaratnya? Istri dalam 7 hari.

Dan pilihannya jatuh pada wanita paling tak terduga: Aluna Valtieri, aktris kontroversial dengan tubuh menawan dan lidah setajam silet yang terkena skandal pembunuhan sang mantan.

Setiap sentuhan adalah medan perang.
Setiap tatapan adalah tantangan.
Dan setiap malam menjadi pelarian dari aturan yang mereka buat sendiri.

Tapi apa jadinya jika yang awalnya hanya urusan tubuh, mulai merasuk ke hati?

Hanya hati Aluna saja karena hati Alaric hanya untuk adik sepupunya, Renzo Alverio.

Bisakah Aluna mendapatkan hati Alaric atau malah jijik dengan pria itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hamil dalam Waktu Sebulan

Sore hari, di Alverio Lux Residence. Apartemen 50 lantai dengan dinding berwarna hitam metalic berlapis kaca mengkilap.

Langit jingga merekah dari jendela besar, sinar matahari menyapu sebagian ruang tamu. Aluna membuka pintu, tubuhnya tampak letih tapi penampilannya tetap terawat. 

Tas selempang tergantung di bahunya. Ia melihat ke arah sofa ruang tengah, dan mendapati Alaric duduk santai, satu kaki bertumpu di lutut lainnya. Televisi menyala, tayangan dokumenter bisnis mengisi ruangan dengan suara berat narator.

Aluna berjalan pelan, menjatuhkan sepuluh tas belanja di meja kecil dekat pintu.

“Katanya mau ke motel kalo gak dijemput,” ujar Alaric melihat istrinya pulang dengan wajah lesu.

Aluna tidak membalas. Suasana hatinya sedang kacau tapi Alaric malah membahas candaannya.

“Tumben banget...” gumam Aluna sambil menaruh tas kecilnya. “Nggak ke apartemen Renzo? Biasanya juga nginep disana.”

Alaric tak langsung menjawab. Ia mengangkat remote, mengecilkan volume TV. Lalu menoleh sebentar ke arah Aluna.

“Dia lagi ngajak Mommy-nya makan malam,” jawabnya tenang. “Pakai gaji pertamanya sebagai kepala divisi pemasaran.”

Aluna tertawa pendek. Langkahnya menuju dapur. Ia membuka kulkas, mengeluarkan botol air dingin dan meneguk langsung tanpa gelas.

“Harusnya kamu ikut sekalian,” katanya sambil menatap isi kulkas. “Kan kamu calon menantunya Mommy…”

Hening sepersekian detik.

Alaric memalingkan wajah perlahan ke arah Aluna. Tatapannya tajam. Sinis. Mulutnya membentuk garis tipis, seperti menahan komentar yang lebih tajam.

“Lucu,” gumamnya dingin. “Bercandaannya makin liar ya, artis sinetron...”

Aluna menutup pintu kulkas sedikit keras, menelan air terakhirnya. Ia melengos, meletakkan botol di meja dapur sambil menghindari tatapan suaminya.

“Bercanda aja baper,” lirihnya. “Nggak cocok banget jadi pengusaha kalau sensian.”

Alaric hanya mengangkat alis. Ia kembali menatap televisi, tapi senyuman tipis—lebih mirip ejekan—muncul di ujung bibirnya.

Aluna lalu berjalan ke kamar, tanpa berkata lagi. Langkahnya terdengar pelan, tapi tegang. 

Seolah ada hal yang sebenarnya ingin dibicarakan, tapi urung. Karena saling sindir sudah jadi rutinitas.

...***...

Malam hari.

Ruangan remang hanya diterangi cahaya lembut dari lampu lantai di sudut ruang tamu. Televisi masih menyala, menampilkan berita ekonomi malam. 

Alaric duduk bersandar santai di sofa, satu tangan menopang kepala, satu lagi memegang remote yang ia putar-putar di jari. Tubuhnya masih mengenakan kaos tipis putih dan celana pendek rumah.

Pintu kamar terbuka perlahan.

Terdengar langkah pelan Aluna di lantai marmer. Rambutnya masih agak basah, jatuh ke bahu dengan aroma segar sabun mandi yang samar-samar menguar. Ia mengenakan piyama satin lembut warna krem yang longgar namun tetap memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Aluna berhenti sejenak di belakang sofa. Tangannya ragu menyentuh bagian belakangnya.

“Boleh ganggu sebentar?”

Alaric melirik ke belakang. Tatapannya datar, tapi begitu melihat wajah istrinya yang sedikit canggung, ekspresinya melunak.

Aluna lalu duduk di bagian lengan sofa, di sisi kanan tempat Alaric bersandar. Posisi duduknya agak miring, satu tangan bertumpu, satu lagi menggenggam jari sendiri. Ia tampak gugup.

Alaric menatapnya, wajahnya terangkat sedikit dari sandaran.

“Ada apa? Cerita aja.” Suaranya dalam, tenang.

Aluna menghela napas. Ia menunduk sebentar sebelum akhirnya membuka suara. “Tadi siang... waktu di mall, Mama sempat bilang sesuatu.”

Alaric menyandarkan punggung, mematikan suara TV dengan remote. Fokusnya penuh sekarang. “Apa?”

Aluna menatap kosong ke meja kopi di depannya. Tangannya mengusap rambut ke belakang telinga.

“Katanya... aku sebaiknya resign jadi artis. Fokus kuliah. Fokus punya anak.”

Diam sejenak.

Alaric mengangkat alis sedikit. “Gitu.”

Aluna mengangguk pelan. “Katanya, kalau aku setuju, semua fasilitas bakal ditanggung. Asal berhenti kerja dan serius... ya, bangun keluarga.”

Alaric menggeser duduknya, sekarang duduk tegak. Ia memandang Aluna dengan wajah yang sulit ditebak—antara berpikir, dan menilai.

“Kamu jawab apa?”

Aluna mengangkat bahu, pelan. Lalu menoleh menatap mata suaminya. “Aku bilang, aku masuk ke keluarga ini sebagai artis. Dan kalau aku lepas itu, kayaknya, aku juga lepas jati diri aku.”

Sunyi.

Alaric hanya menatapnya selama beberapa detik. Lalu menghela napas pelan.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Setidaknya kamu masih ingat kamu siapa.”

Aluna tampak terkejut dengan jawaban itu. “Kamu nggak marah?”

Alaric berdiri perlahan, lalu menunduk sedikit menatap Aluna yang duduk di lengan sofa. “Kamu pikir aku mau punya istri yang pasrah cuma karena ditawarin uang dan fasilitas?”

Aluna mengatupkan bibir. Matanya berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi mungkin lega.

Alaric menatap wajah istrinya lebih dekat. “Tetap kerja, tetap kuliah. Tapi jangan sampai kamu kehilangan siapa kamu. Itu lebih penting daripada punya anak cepat.”

Aluna mengangguk kecil. Perlahan ia duduk di sebelah Alaric lalu menyandarkan kepala ke dada suaminya.

Alaric diam. Tangannya terulur, menyentuh lembut kepala Aluna.

Bibir Aluna mulai terbuka, lirih, seolah hanya ingin melanjutkan apa yang belum selesai ia sampaikan.

“Satu bulan...” gumam Aluna.

Alaric menunduk sedikit. “Apa?”

Aluna mengangkat wajahnya. Tatapan mereka bertemu. “Mama bilang, kalau dalam satu bulan aku belum... hamil. Aku harus resign jadi artis.”

Diam. Sunyi menyeruak seisi ruangan seperti tiba-tiba AC mati dan udara mengeras.

Alaric mematung. Mata elangnya menatap Aluna lurus. Lalu ia menurunkan tangan dari kepala Aluna. Tubuhnya tegang.

“Punya anak?” Suaranya rendah, terkejut, lalu makin tajam. “Dengan kamu?”

Aluna tidak langsung menjawab. Ia hanya diam, lalu mengangguk kecil. Wajahnya tidak marah, tapi terlihat rapuh.

“Itu kata Mama...”

Alaric tertawa kecil, getir. Tangannya mencengkeram rambutnya lalu menepis udara kosong, langkahnya menyamping ke belakang sofa.

“Mereka pikir masalah kita cuma urusan anak? Mereka bahkan nggak tahu... aku bahkan belum bisa—”

Ia berhenti. Bibirnya menutup. Ia menatap Aluna lagi. 

“—aku bahkan nggak cinta kamu, Al.”

Aluna mengangguk lagi. Tidak sedih. Tidak marah. “Aku tahu.”

Sunyi lagi.

Alaric berjalan perlahan ke arah jendela, menyandarkan telapak tangannya ke bingkai. Malam terpantul di kaca.

“Dari awal ini semua cuma urusan keluarga. Warisan. Perusahaan. Pencitraan. Aku bahkan nggak pernah siap untuk... jadi suami.”

Aluna berdiri perlahan. Mendekat. Tapi berhenti di belakangnya. “Aku juga nggak pernah minta kamu cinta aku. Tapi kalau aku harus pilih antara kehilangan mimpiku atau punya anak dengan kamu—”

Ia menarik napas dalam. “—aku cuma ingin kita bicara, bukan saling menyalahkan.”

Alaric tidak menjawab. Tapi bahunya turun perlahan. Seolah tensi dalam tubuhnya mulai mengendur.

“Kamu tahu aku nggak jahat, Alaric. Aku cuma nggak punya siapa-siapa selain diriku sendiri. Dan sekarang kamu.”

Beberapa detik kemudian, Alaric berbalik perlahan. Tatapannya tetap keras. Tapi tak sekeras tadi.

“Kamu yakin bisa bertahan dalam keluarga ini tanpa kehilangan dirimu sendiri?”

Aluna tersenyum kecil. “Selama aku masih jadi Aluna, bukan boneka Alverio, aku akan coba.”

Aluna memeluk Alaric dari belakang. Tubuhnya menggigil, entah karena takut, panik, atau harapan yang makin lama makin suram.

“Tolong, jangan biarkan aku kehilangan satu-satunya hal yang kupegang di dunia ini.”

Alaric menutup mata. Rahangnya mengeras. Ia berdiri kaku di tempatnya, membiarkan tangan Aluna melingkar di tubuhnya.

“Aku nggak butuh cintamu... nggak butuh kasih sayangmu,” suara Aluna serak. “Aku cuma minta satu... izinkan aku tetap jadi artis. Aku rela... asal kamu bantu aku satu kali ini.”

Alaric membuka matanya. Menatap lurus ke depan. “Aluna…”

“Aku janji nggak akan ganggu hidupmu. Aku nggak akan minta kamu jadi Papa sungguhan. Aku cuman butuh satu alasan untuk tetap berada di dunia yang kupercaya ini bukan mimpi buruk,” isak Aluna makin jelas. “Dunia seni itu satu-satunya keluargaku. Aku kehilangan semua—kecuali ini.”

Alaric memutar tubuhnya perlahan. Ia menatap Aluna yang sekarang berdiri di depannya, wajahnya penuh air mata yang tidak ia sapu.

Beberapa detik mereka saling memandang.

“Aku belum pernah…” Suara Alaric terdengar pelan dan berat. “...melakukannya dengan perempuan manapun.”

Aluna terkejut. Napasnya tercekat. “Seumur hidupku, aku cuman belajar, kerja, dan jagain Renzo. Aku nggak tahu bagaimana caranya memberi... apa pun... pada perempuan.”

Aluna menunduk. Lalu mendekat. “Kamu nggak perlu memberi apa pun. Cukup izinkan aku... tetap bertahan. Biar aku yang ambil semua risikonya. Biar aku yang tanggung semuanya.”

Alaric menarik napas dalam, tangannya mengusap wajah sendiri. Ia tampak bingung, tercekik sesuatu yang lebih dari sekadar logika.

“Kamu sadar apa yang kamu minta bisa mengikat kita seumur hidup? Sementara aku, hatiku, masih milik orang lain.”

Aluna mengangguk perlahan. “Lebih baik terikat karena keputusan sadar daripada lepas dan kehilangan segalanya.”

Aluna masih berdiri di depan Alaric. Napasnya berat. Matanya menatap penuh harap, tapi sudah tidak memohon. Ia pasrah. Jika ditolak, maka malam ini bisa jadi akhir dari segalanya.

Alaric tidak menjawab langsung. Hanya matanya yang bergeser. Menatap wajah Aluna. Wajah perempuan yang ia nikahi tanpa cinta—tapi kini berdiri dengan luka yang sangat nyata.

“Kamu tahu kan, Al?” Suara Alaric serak, berat. “Aku bukan pria baik. Bahkan sekarang, aku hanya berpikir, ini transaksi.”

Aluna mengangguk. Tanpa ragu. “Aku nggak butuh kebaikan. Aku cuma butuh kesempatan.”

Hening.

Alaric perlahan berjalan menjauh. Bukan menolak. Tapi berpikir. Tangan kirinya menekan pelipis. Ia terlihat lelah—tapi tidak berusaha melarikan diri seperti biasanya.

“Satu bulan,” katanya akhirnya. Suaranya datar, tanpa emosi. “Waktu satu bulan. Aku akan mencoba. Kalau kamu benar-benar mau, aku nggak akan kabur. Malam ini bisa jadi awalnya. Bahkan, detik ini juga.”

Aluna menahan napas. Tak percaya kalimat itu baru saja keluar dari mulut Alaric.

Alaric membalikkan tubuhnya perlahan. Tatapannya tetap dingin, tapi tidak kejam. Wajahnya gelap oleh lampu temaram ruang tengah, hanya sedikit cahaya dari jendela dan sisa bias lampu dapur.

“Tapi jangan salah paham. Aku nggak bisa janji akan jadi suami sesungguhnya. Aku hanya mencoba, karena kamu butuh. Bukan karena aku punya rasa.”

Aluna mengangguk. Lagi-lagi, tanpa syarat.

Alaric maju satu langkah. Dua langkah. Hingga hanya satu jengkal memisahkan tubuh mereka. Napas mereka bercampur. 

Tidak ada gairah. Hanya ketegangan. Dan satu langkah ke arah yang belum pernah mereka bayangkan sebagai suami istri.

Tangan Alaric terangkat, menyentuh pipi Aluna perlahan. 

Dingin. Tapi tak menjauh. 

Bergetar. Tapi tidak ragu.

“Kita mulai dengan kejujuran. Biar nggak ada yang hancur lebih dalam setelah ini.”

Aluna mengangguk kecil.

...***...

Alaric mendekat perlahan. Tubuhnya tinggi, tegap, dan selalu tenang. Tapi kini tangan kirinya sedikit bergetar saat menyentuh jemari Aluna yang menggantung di samping tubuh.

“Kalau aku menyakitimu nanti,” ucap Alaric pelan, “bilang, Al. Jangan diam.”

Aluna mengangguk. Tidak bicara. Hanya menarik napas dalam-dalam. Menguatkan hatinya.

Tangannya yang lain menyentuh wajah Alaric. Hangat, padahal lelaki itu jarang menunjukkan kehangatan. Tangannya meluncur ke leher, lalu berhenti dada Alaric. Tangan Aluna terus turun meraih ujung kaos Alaric dan menariknya pelan ke atas.

Kedua tangan Alaric terangkat ke atas saat Aluna melepas kaosnya. Kini Aluna bisa melihat badan atletis Alaric tanpa baju. 

Alaric membiarkan. Ia menunduk sedikit, menutup matanya sesaat. Menerima perlakuan Aluna tanpa menolak, tanpa juga menguasai. Kali ini ia memilih diam dan terbuka.

“Aku tahu kamu nggak cinta sama aku,” bisiknya, nyaris tidak terdengar. “Tapi, tolong jangan perlakukan aku seperti orang asing.”

Alaric menatapnya, lama. Lalu mengangguk. “Aku akan coba.”

Tangan Aluna yang dulu sering gemetar saat menyentuh Alaric, kini lebih tenang. Giliran Alaric melepas piyama satin Aluna dengan lembut. Meski gemetar masih merayapinya. Jantungnya seperti diremas saat melakukan hal itu.

Alaric bersandar di atas ranjang, hanya berbagi napas. Alaric menarik selimut menutupi punggung Aluna di atasnya lalu mencium kening Aluna—perlahan.

Lalu... tanpa perlu banyak kata, Alaric menyentuhnya. Lembut. Pelan. Tidak tergesa. Bukan untuk memuaskan nafsu, tapi menyentuh batas, mencoba peran. Peran suami, yang selama ini hanya ia kenakan di publik.

Tubuh Aluna menggigil. Bukan karena dingin, tapi karena campuran perasaan. Gugup. Takut. Syukur. Luka. Tapi ia tidak menarik diri.

Dan saat mereka benar-benar menyatu, tak ada desahan keras, tak ada gairah liar—hanya napas yang dalam dan air mata di sudut mata Aluna.

Alaric menyadarinya. Tangannya menyeka air mata itu, lalu memeluknya erat setelah semuanya usai.

“Kamu baik-baik aja?” tanya Alaric lirih.

Aluna mengangguk. Tak mampu bersuara karena rasa sakit yang membelenggu.

Malam itu, mereka tidak saling mencintai. Tapi mereka mencoba untuk tidak saling menyakiti.

1
Soraya
mampir thor
Marsshella: makasi udah mampir Kak ❤️
up tiap hari stay tune ya 🥰
total 1 replies
Zakia Ulfa
ceritanya bagus cuman sayang belum tamat, dan aku ini g sabaran buat nungguguin bab di up. /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
Marsshella: makasi udah mampir, Kak ❤️
Up tiap hari udah aku alarm 😂
total 1 replies
Desi Oktafiani
Thor, aku udah nggak sabar nunggu next chapter.
Marsshella: ditunggu ya, update tiap hari 👍
total 1 replies
Dear_Dream
🤩Kisah cinta dalam cerita ini sangat menakjubkan, membuatku jatuh cinta dengan karakter utama.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!