Naya, gadis kaya raya yang terkenal dengan sikap bar-bar dan pembangkangnya, selalu berhasil membuat para dosen di kampus kewalahan. Hidupnya nyaris sempurna—dikelilingi kemewahan, teman-teman yang mendukung, dan kebebasan yang nyaris tak terbatas. Namun segalanya berubah ketika satu nama baru muncul di daftar dosennya: Alvan Pratama, M.Pd—dosen killer yang dikenal dingin, perfeksionis, dan anti kompromi.
Alvan baru beberapa minggu mengajar di kampus, namun reputasinya langsung menjulang: tidak bisa disogok nilai, galak, dan terkenal dengan prinsip ketat. Sayangnya, bagi Naya, Alvan lebih dari sekadar dosen killer. Ia adalah pria yang tiba-tiba dijodohkan dengannya oleh orang tua mereka karna sebuah kesepakatan masa lalu yang dibuat oleh kedua orang tua mereka.
Naya menolak. Alvan pun tak sudi. Tapi demi menjaga nama baik keluarga dan hutang budi masa lalu, keduanya dipaksa menikah dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hari itu, Naya benar-benar dikurung dalam kamarnya sendiri.
Semua pintu dikunci dari luar, akses komunikasi disita, dan dunia terasa seperti menyempit jadi empat dinding.
Ia duduk di lantai, bersandar pada tempat tidur, memeluk lututnya sendiri.
Wajahnya basah oleh air mata, matanya sembab dan merah.
Di tangannya, ia menggenggam erat sebuah bingkai foto,foto dirinya saat kecil bersama mamanya.
Di foto itu, sang ibu tersenyum lembut, memeluk Naya kecil yang tertawa lepas tanpa beban.
Waktu itu… belum ada Bu Mita. Belum ada aturan-aturan kaku. Belum ada perjodohan.
Hanya tawa, pelukan hangat, dan suara lembut yang memanggilnya "Sayang".
Ketukan terdengar pelan di pintu.
Lalu pintu terbuka perlahan.
Bik Marni masuk pelayan tua yang sudah bekerja sejak Naya kecil.
Wanita paruh baya itu membawa nampan berisi semangkuk sup hangat, segelas air putih, dan sepiring kecil potongan buah.
“Nduk...” suaranya lembut. “Maaf... Bik Marni masuk ya.”
Naya tidak menjawab. Ia hanya menoleh, bibirnya gemetar.
“Papa yang suruh?” tanyanya pelan.
Bik Marni menggeleng. “iya, Nduk. ini bibik bawakan makanan kesukaan non Naya".
Pelan-pelan Bik Marni meletakkan nampan itu di atas meja kecil dekat jendela, lalu duduk di samping Naya, menyentuh lembut rambutnya yang kusut.
“Sini... jangan nangis terus. Kasian matanya... jadi sembab begitu.”
Naya akhirnya tak tahan. Ia menyandarkan kepala ke bahu Bik Marni dan menangis lagi—lebih pelan, lebih dalam.
“Bik… kenapa hidup aku begini?”
“Karena kamu tumbuh di dunia orang-orang dewasa, Nduk. Dan kadang... orang dewasa terlalu sibuk nyelametin nama mereka sendiri, sampai lupa dengerin suara anaknya.”
Naya mengusap air mata dengan ujung baju.
“Papa... nggak pernah benar-benar dengerin aku, Bik. Dan wanita itu... dia bikin semuanya lebih buruk.”
Bik Marni hanya mengusap pundaknya, tidak menasihati, tidak menilai.
Ia tahu Naya tidak butuh nasihat. Ia hanya butuh tempat untuk bersandar.
“Mama kamu dulu... selalu bilang satu hal.”
Naya menoleh.
“Apa?”
“Kalau kamu merasa semua orang meninggalkanmu, coba tanya ke cermin... apa kamu juga udah ninggalin diri kamu sendiri?”
Naya terdiam.
Bik Marni berdiri, membenarkan selimut di ranjang.
“Makan dulu ya, Nduk. Meski cuma sedikit. Jangan biarin orang-orang menang kalau kamu sendiri tumbang.”
Lalu ia meninggalkan kamar, menutup pintu dengan lembut.
Naya masih diam, memandangi sup yang mengepul pelan.
Di sampingnya, foto mama tetap digenggam erat.
Dan entah kenapa, di tengah rasa sakit dan amarah…
Ada satu titik kecil di hatinya yang mulai menyala.
Kecil. Tapi ada.
___
Hari hari berlalu naya benar benar tidak bisa kemana-mana bahkan ia sengaja tidak pergi ke kampus beberapa hari ini hanya duduk dan rebahan menghabiskan waktu dikamar
Suasana rumah begitu tenang, namun di dalamnya sedang bergemuruh badai.
Pak Firman duduk bersama seorang perencana acara. Di depannya, daftar tamu undangan, konsep makan malam resmi, serta dokumen simbolis yang menandai pertunangan antara Naya dan Alvan.
Tanpa sepengetahuan Naya. Tanpa persetujuan darinya.
Bu Mita duduk di samping suaminya, ikut menandai nama-nama tamu yang harus diundang. Sesekali ia tersenyum manis, matanya bersinar licik. Dalam hatinya ia bersorak:
> “Kalau Naya sudah menikah, aku bisa atur semuanya tanpa drama.”
---
Beberapa hari kemudian....
Naya baru saja selesai mandi ketika Bik Marni masuk membawa sebuah map undangan berwarna krem dan emas.
“Nduk... ini dari Papa.”
Naya mengambilnya, membuka perlahan.
Matanya membeku saat membaca kalimat di dalamnya:
> Undangan Makan Malam dan Pertunangan Resmi: Naya Firman & Alvan Putra Satya
Tangannya gemetar. Ia langsung melangkah keluar kamar, tak peduli bahwa rambutnya masih basah.
---
Ruang Keluarga
Pak Firman sedang membaca majalah ketika Naya muncul dengan wajah dingin.
“Papa. apa ini?”
Pak Firman menutup majalah, menatapnya datar.
“Undangan. Pertunanganmu. Sudah Papa siapkan. Hari Sabtu malam.”
“Dan aku nggak diajak bicara dulu?” suaranya tenang, tapi menusuk.
“Karena setiap kali Papa ajak bicara, kamu hanya tahu caranya menolak. Sekarang Papa yang putuskan. Ini demi kebaikan kamu.”
“Enggak, Pa. Ini demi kebaikan Papa sendiri. Dan ego Papa.”
Mata Naya berkaca-kaca, tapi tak sedikit pun goyah.
“Papa kehilangan Mama... karena cara Papa seperti ini. Sekarang Papa mau kehilangan aku juga?”
Pak Firman menatap tajam.
“Papa enggak mau kehilangan kamu, Nay. Tapi kamu juga enggak bisa terus lari dari hidup yang seharusnya.”
Sunyi.
Bu Mita muncul dari balik tangga. Seolah baru saja turun, menyimak dari tadi. Ia mendekat sambil tersenyum ramah.
“Naya, Nak... anggap saja ini bentuk cinta. Papa kamu ingin kamu hidup lebih baik. Dengan Alvan, masa depanmu akan lebih jelas.”
Naya menatapnya lama.
“Masa depan aku bukan urusan kamu.”
Pak Firman bangkit berdiri, suaranya tegas.
“Tidak ada penolakan, Naya. Kamu harus datang hari Sabtu bersama papa dan mama mita. Pakai baju yang pantas. Ini keputusan keluarga.”
Naya diam. Menunduk sebentar. Lalu...
“Baik.” katanya pelan. “Aku akan datang.”
Pak Firman tampak sedikit terkejut.
🍒🍒🍒