Bagaimana perasaan kamu kalau teman SMAmu melamar di akhir perkuliahan?
Itulah yang dialami Arimbi, selama ini menganggap Sabda hanya teman SMA, teman seperjuangan saat merantau untuk kuliah tiba-tiba Sabda melamarnya.
Dianggap bercanda, namun suatu sore Sabda benar-benar menemui Ibu Arimbi untuk mengutarakan niat baiknya?
Akankah Arimbi menerima Sabda?
Ikuti kisah cinta remaja ini semoga ada pembelajaran untuk kalian dalam menghadapi percintaan yang labil.
Happy Reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENUNGGU
Ibu ternyata meninggalkan Arimbi dan Sabda di ruang tamu, memberikan kesempatan untuk mengobrol berdua tanpa ada keterlibatan ibu dalam pengambilan keputusan. Yang jelas ibu memberikan lampu hijau, apalagi melihat Sabda yang hidup sebatang kara, memang sebaiknya menikah dengan perempuan yang dia cintai adalah jalan terbaik. Meski, ibu tetap ada kekhawatiran akan mama Sabda yang tiba-tiba muncul dan tak merestui. Berharap dalam hati kecil beliau calon mertua sang putri menyerahkan sepenuhnya pada Sabda.
"Lo tahu kan kapan aku akan memberi jawaban?" tanya Arimbi bersikap santun, gaya bicaranya dengan nada lembut pula. Mungkin ia takut dimarahi sang ibu bila bersikap tak sopan pada Sabda.
"Iya, gue paham. Santai saja!"
"Yakin santai? Gak deg-deg an?"
Sabda tersenyum sembari menggeleng, "Dikit!"
"Sebenarnya gue belum ada kepikiran buat nikah muda, Sap. Gue masih pengen hidup bebas, jalan-jalan, hang out bareng anak kos, anak kelas ataupun anak SMA buat sekedar healing ke pantai begitu. Cuma, hati kecil gue mengatakan kalau gue melepas lo, emang nanti ada cowok yang mau melamar gue?" ucap Arimbi sembari tersenyum canggung. "Makanya gue putusin setelah ujian skripsi saja, biarkan kita menuntaskan tanggungan kuliah satu lagi tanpa ada pemikiran hal lain. Bisa kan?"
"Iya, Mbek. Gue bakal menunggu jawaban lo," ucap Sabda pasrah. Dia hidup penuh kekecewaan sudah berapa tahun, kondisi tidak sesuai ekspektasinya sudah biasa terjadi. Dia tetap saja akan menjalani hidup, sendiri.
"Misalnya nih, kalau gue tolak?" pancing Arimbi, dan Sabda sontak menatap gadis itu dengan tatapan tajam, namun kembali tersenyum tipis.
"Ya gak pa-pa, itu artinya lo belum rezeki gue saat ini."
"Dan lo?"
"Gue ya tetap hidup cuma gak di sini," jawab Sabda yang sudah memiliki plan B.
"Terus?" tanya Arimbi penasaran.
Lagi-lagi Sabda hanya tersenyum, ingin menonyor kening Arimbi, sok serius, tapi ingat di sini bukan areanya, tangan jahilnya harus ditahan. "Ada lah pokoknya, Mbek. Gue pamit ya, panggil ibu dong, mau pamitan."
Arimbi tak membantah, ia masuk ke ruang tengah untuk memanggil ibu.
"Hati-hati di jalan ya, ini masakan ibu, buat kamu. Dari tadi gak nyicip apa-apa!"
"Iya, Bu. Terimakasih, pasti saya makan," ucap Sabda sopan, sembari menyalami sang ibu. Dewa pun ikut bersalaman pada Sabda.
"Ati-ati, Mas!" jawab Sadewa seramah itu.
Arimbi mengantar Sabda sampai pagar rumah, keduanya canggung, tak ada obrolan hingga Sabda sudah naik ke atas motor. "Besok gak ikut anak-anak ke Tulungagung?" tanya Sabda sembari memakai helm.
"Enggak, besok gue balik ke kampus kayaknya."
"Naik bis?"
Arimbi mengangguk.
"Oke, hati-hati besok ya. Gue pamit ya, Mbek."
"Oke, hati-hati juga!"
Arimbi melihat motor Sabda yang melaju kencang, merasa tak rela saja saat Sabda bersikap cuek begitu. Harusnya kan bisa bilang Nebeng gue aja lagi. Eh kok Arimbi ngarep.
Emang dasar hati Arimbi labil, pengen bebas tapi pengen diperhatikan Sabda juga, maunya apa lu Mbek?
"Berapa persen diterima, berapa persen ditolak?" todong ibu saat Arimbi masuk ke rumah.
"Apaan sih, Bu."
"Dengar ya, Mbak. Jangan pernah menggantung atau memberikan harapan palsu pada anak orang. Kalau kamu masih punya mimpi yang harus diwujudkan selagi muda, lebih baik kamu tolak.Belum tentu jalan mimpi mu dengan jalan pernikahan kamu beriringan, bisa saja kalah salah satu."
"Ibu sreg gak sama Sabda?"
"Anaknya si sopan, sudah bisa menjamin makan kamu, seiman juga, jadi lampu hijau!"
"Ibu gak merasa sedih anaknya langsung menikah, tanpa membalas jasa ibu yang bekerja keras lebih dulu?" tanya Arimbi serius.
Ibu malah tertawa, "Kamu anak ibu, sudah kewajiban ibu buat menyekolahkan kamu sampai sarjana. Kenapa harus balas jasa? Yang mau kehadiran kamu itu ibu, tapi sebagai anak, bukan dana pensiun ibu."
Arimbi langsung memeluk sang ibu, "Meski nanti Arimbi menikah, Arimbi tetap sayang ibu, gak ada yang setulus ayah dan ibu dalam menyanyangi Arimbi."
Keluarga kecil itu pun persiapan sholat maghrib, sungguh hati Arimbi sangat bimbang dengan sikap Sabda. Mungkin ia pikir Arimbi akan menolaknya, padahal Arimbi belum memutuskannya.
Ia membuka ponsel dan chat Sabda yang belum sempat ia baca.
Udah sampai rumah?
Lain kali gue antar aja sampai depan rumah lo.
Sori ya gue tadi langsung balik.
Kalau udah sampai rumah kabari ya
Arimbi hanya bisa menghela nafas berat, pesan tadi menunjukkan perhatian Sabda pada dirinya sebagai calon suami, dan sekarang sudah hampir satu jam tak ada pesan yang masuk. Apa mungkin dia nongkrong dengan teman SMA ya? Jari Arimbi ditahan setengah mati agar tidak mengirim chat, ingat kata ibu jangan menggantung anak orang. Kalau sudah memutuskan akan memberi jawaban setelah ujian skripsi, patuhi saja. Toh Arimbi sendiri yang membuat batas waktu itu.
Keesokan harinya, Arimbi sudah siap dengan baju daster rumahan dan jilbab serut instan. Mumpung di rumah dia akan membantu jualan ibu. Mungkin sudah terlatih sejak kecil ikut membantu jualan nasi pecel, jadi Arimbi cepat saja saat melayani orderan pelanggan ibu.
"Mbak, bantu Yatni saja bungkus 30 nasi pecel dikirim ke rumah Bu Fahma!"
"Ck, dadakan begitu?" protes Arimbi yang tak suka bila ada orderan banyak tapi mendadak.
"Setiap rezeki yang datang itu gak boleh ditolak," ucap Ibu centil bahkan menoel dagu sang putri. "Termasuk jodoh!" sambung ibu diiringi tawa bersama Mbak Yatni.
Arimbi kesal, namun turun tangan juga ikut membantu Mbak Yatni membungkus orderan Bu Fahma. Tangannya lihai saat membungkus, bahkan Mbak Yatni saja kalah cepat.
"Calon sarjana pintar sekali bungkusnya, Neng!" ujar Mbak Yatni.
Arimbi tertawa, "Di kampus juga diajari, Mbak!"
"Masa'? Bungkus pakai kertas minyak?"
Arimbi mengangguk, di jurusannya tata boga tentu ada mata kuliah penyajian makanan, dan membungkus nasi termasuk ke dalam contoh penyajian. Bahkan saat praktik membungkus dulu disesuaikan dengan berbagai bungkusan sesuai ciri khas daerah.
"Memangnya Mbak Arimbi mau langsung nikah?"
"Belum kepikiran, Mbak. Masih pengen jalan-jalan sambil merintis bisnis!"
"Jalan-jalan sma suami lebih enak loh, Mbak. Lebih tenang juga karena ada yang jagain."
"Iya kalau gak langsung hamil, gak bisa bayangkan, Mbak. Double gak siapnya!"
"Pakai pengaman, kon**m!" bisik Mbak Yatni, Arimbi hanya melongo, bergaul dengan emak-emak emang kudu ekstra sabar. Dirinya yang polos. Pagi-pagi harus mendengar celotehan dewasa, yang dirinya saja tak pernah berniat memikirkan.
"Udah, Mbak Yatni aja ya yang kirim. Khawatir Bu Fahma panas melihat saya," ucap Arimbi tak mau mendapat salam julid dari janda kaya itu.
"Maksudnya?" tanya Mbak Yatni tak paham.
"Takut disindir, Mbak. Anak kuliahan kok jualan nasi pecel."
"Mulut janda kaya itu emanng perlu ditabok sesekali," ujar Mbak Yatni emosi, Arimbi tertawa juga.
lanjut kak
semangat terusss ya /Heart/
lanjut ya kak
semangat