dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 22. Kematian yang di harapkan
🌙 "Memaafkan itu tidak semudah mengucapkannya. Tapi aku tahu, kau melakukannya bukan hanya demi dendam... kau melakukannya agar aku bisa bebas."
Gemuruh media massa pecah sejak fajar menyingsing. Semua kanal berita memuat headline yang sama.
"Mantan Presiden Adalrich Wigantara Ditemukan Tewas di Sel Tahanan karena Diduga Overdosis Insulin"
Potongan-potongan tayangan investigasi memenuhi layar kaca. Gambar tubuh seorang pria paruh baya yang ditutupi kain putih, diangkut petugas forensik, mendominasi setiap siaran berita. Keterangan awal dari tim identifikasi menyebutkan bahwa sebuah jarum suntik masih menancap di lengan jenazah, berisi cairan insulin dengan dosis yang terlampau tinggi untuk seorang pasien diabetes melitus.
Tak lama, kabar mencuat lebih jauh, autopsi mengonfirmasi bahwa pria itu memang tewas akibat kelebihan dosis insulin. Namun yang lebih mengguncang publik adalah pengakuan dari pihak rumah sakit, bahwa Adalrich Wigantara ternyata memiliki riwayat penyakit jantung dan diabetes melitus yang selama ini disembunyikannya dari publik.
Padahal selama masa jabatannya, ia selalu menyatakan dirinya sehat dan bugar, tanpa riwayat penyakit apa pun.
Kekacauan publik pun tak terelakkan. Istana Negara dipenuhi desakan dan spekulasi. Berbagai nama mulai disebut-sebut sebagai calon pengganti. Dunia politik semakin memanas.
Di sebuah ruang tamu yang sunyi, Elena terduduk di depan televisi. Matanya menatap layar tanpa berkedip. Wajah ayahnya yang kini hanya tinggal kenangan terus ditayangkan. Gurat kesedihan terpahat di wajahnya, namun tak ada air mata yang mengalir, sampai akhirnya bibirnya bergetar dan tangisnya pecah dalam diam.
Tak lama kemudian, Alejandro masuk dengan tergesa-gesa. Napasnya tercekat melihat Elena yang menangis sendirian. Ia segera menghampiri, lalu mematikan televisi tanpa berkata-kata. Wajahnya cemas, kedua tangannya menggenggam bahu Elena dengan lembut.
"Elena..." bisiknya pelan.
Namun yang terjadi berikutnya membuat Alejandro terpaku. Elena merogoh saku bajunya dan menyerahkan sebuah benda kecil ke tangan Alejandro. Sebuah alat perekam suara. Jantung Alejandro seketika berdetak kencang seakan ingin melompat.
"Ini...?" tanyanya, nyaris tak bersuara.
"Aku menemukannya di dekat tasku, setelah aku kembali dari lapas kemarin," jawab Elena tenang.
"Awalnya aku tak menyangka apa-apa. Tapi setelah aku menyalakannya... aku tahu siapa kau sebenarnya."
Alejandro menggenggam alat itu erat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"Tapi terima kasih," ujar Elena, matanya mulai berkaca-kaca lagi. "Terima kasih karena kau telah menyembuhkan luka terbesar dalam hidupku. Aku tidak lagi menyalahkan diriku karena menjadi putri dari pria yang membunuh ayahmu dulu."
"Ayahku berhak mendapatkan semua hukuman itu, Al,"
Alejandro menunduk. Perasaan bersalah membelenggu dadanya seperti belati tajam yang berputar dalam keheningan. Ia menahan napas ketika Elena melanjutkan, "Meskipun... kepergiannya tetap terasa menyakitkan."
"Aku tidak ingin kau membenciku," ucap Alejandro akhirnya. "Kalau kau tahu semuanya, Elena... kamu bisa saja..."
"Aku tahu segalanya," potong Elena pelan. "Dan aku memilih untuk tidak membencimu."
Flashback
Beberapa hari sebelumnya...
Malam itu hening. Hanya suara angin yang mengusap jendela rumah besar tempat Elena tinggal. Gadis itu terbangun karena haus. Ia turun dari kamar, hendak menuju dapur untuk minum. Namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara dari ruang kerja di ujung lorong. Suara Alejandro.
"Aku butuh bantuanmu. Kau masih ingat padaku, kan? Aku Alejandro, kita sempat berbincang di telepon kemarin."
Elena menahan napas. Ia mengenal nada bicara itu, dingin, tegas, namun menyimpan bara yang dalam.
"Aku ingin kau mengganti dosis insulin pria tua itu dengan yang lebih tinggi. Jangan khawatir, aku tahu dia sering menggunakan insulin. Kau sendiri yang bilang begitu padaku kemarin. Kau tinggal ubah isinya, selebihnya aku yang tangani."
Diam. Elena membeku. Ia mengenal suara Alejandro... dan kini, ia mengenal sisi lain yang tak pernah ia duga.
Pria itu ternyata tak menyerahkan semua pada takdir.
Keesokan paginya, di dalam mobil menuju lapas, Alejandro dengan santai mengatur sesuatu dari ponselnya. Elena memperhatikan dalam diam. Ia baru menyadari kabel kecil dari ponselnya tersambung ke alat perekam suara yang diletakkan Alejandro di dalam tasnya sendiri.
Alejandro tidak tahu, bahwa Elena sudah menemukan alat itu semalam, dan memilih untuk tetap membawanya.
Saat didalam mobil, pria itu fokus mendengar suara dari alat perekam suara itu.
Ia mendengar segalanya. Termasuk saat Tuan wigantara menyombongkan diri, tak menunjukkan penyesalan sedikit pun, bahkan mencemooh Elena dengan kata-kata kejam. Bahkan menyebut putri nya sendiri dengan sebutan "anak Sialan".
Alejandro mengepalkan tangannya erat, wajahnya memerah menahan rasa ingin memukul wajah pria tua itu hingga babak belur jika saja dia ada di hadapannya.
Dan Saat itulah, alejandro tahu bahwa dirinya tidak akan pernah mundur sedikit pun.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, elena juga tidak berusaha untuk menghentikan apa yang akan di perbuat oleh orang lain terhadap ayahnya sendiri, terutama itu alejandro.
Alejandro berdiri dengan tubuh tegang. "Kau tahu aku melakukannya."
Elena menatapnya dalam diam.
"Kalau kau ingin menyerahkanku ke pihak berwajib, aku tidak akan lari, elena."
Namun Elena menggeleng. "Ayahku sudah menghancurkan banyak hal, termasuk hidupmu. Dan kau...sudah menyelesaikan apa yang tak bisa aku selesaikan sendiri."
Alejandro menunduk. Matanya basah. "Aku... tidak ingin kau tersakiti lagi. Aku hanya ingin melindungimu. Meski harus berdarah."
"Elena," lanjutnya lirih, "kau memaafkanku?"
Elena menarik napas dalam. "Memaafkan itu tidak semudah mengucapkannya. Tapi aku tahu, kau melakukannya bukan karena demi membalaskan dendam semata. Kau melakukannya karena kau ingin aku bebas."
Alejandro tertunduk dalam, seakan beban dunia runtuh di bahunya. Tapi tiba-tiba, Elena tersenyum tipis.
"Lagi pula... aku tidak sebaik yang kamu pikirkan, Alejandro."
Alejandro menoleh cepat. "Apa maksudmu?"
Elena berjalan pelan ke jendela, menatap langit mendung.
Langit malam membentang kelabu di atas villa yang terletak di tepian danau. Sunyi menyelimuti setiap sudut ruangan yang luas itu, seolah seluruh dunia ikut diam bersama luka yang masih basah di hati mereka. Di balik jendela kaca besar, angin meniup lembut tirai putih yang bergoyang seperti napas pelan elena yang sedang menahan tangis.
"El..." suara Alejandro terdengar pelan, tapi sebelum ia sempat melanjutkan, suara Elena justru lebih dahulu mengisi keheningan.
"Jauh sebelum kau melakukan semua itu..." ucap Elena, matanya menatap kosong ke luar jendela, "...aku sudah berniat untuk membunuh ayahku dengan tangan ku sendiri, Al, hanya saja, aku tidak tahu bagaimana caranya,"
Alejandro terdiam. Ia tahu luka itu ada, tapi mendengarnya langsung dari mulut Elena membuat dadanya terasa sesak. Gadis itu kemudian tersenyum kecil, senyum yang menyakitkan untuk dilihat.
"Tak masalah jika aku harus dipenjara, atau bahkan dihukum mati atas perbuatanku sendiri... tapi nyatanya, kau yang lebih dulu bergerak. Kau yang lebih cepat dariku... demi melindungiku." Elena tertawa kecil, getir, seolah tertawa adalah satu-satunya cara untuk menahan runtuhnya air mata.
Alejandro menarik napas dalam, menahan gumpalan emosi di dadanya. Ia melangkah pelan mendekat.
"Elena... kau baik-baik saja, kan?"
Pertanyaan sederhana itu justru membuat hati Elena tergetar. Ia menoleh pelan ke arah pria yang kini berdiri tak jauh darinya. Wajahnya tampak lelah, tapi bukan lelah karena fisik, melainkan lelah karena beban rasa bersalah.
"Sampai kapan kau akan tinggal bersamaku, Al?" tanyanya lirih. "Aku... aku bahkan tidak punya uang untuk menggajimu..."
Alejandro tersenyum, mengusap tengkuknya dengan canggung. "Dibayar ataupun tidak dibayar, aku akan tetap menjagamu, El. Sampai kapan pun itu."
Jawaban itu terdengar sederhana, tapi sungguh menenangkan. Sejenak Elena terdiam. Matanya menatap sekeliling. villa itu begitu besar, begitu sunyi... dan hanya ada mereka berdua di dalamnya.
"Tapi... kita ini berbeda, Al. Aku seorang perempuan... dan kau... kau pria dewasa." Suaranya menurun. "Kau pasti mengerti maksudku."
Alejandro mendadak kikuk. Ia menegakkan punggung dan berdehem, mencoba menetralisasi kegugupannya.
"Itulah sebabnya aku memintamu untuk tidak memanggilku 'Al', Elena," katanya sambil menghindari tatapan langsung. "Usiaku jauh lebih tua darimu. Kau itu... masih anak-anak. Bahkan Lebih mirip anak ayam yang baru menetas."
Tawa kecil mengiringi ucapannya. Namun, reaksi Elena sungguh di luar dugaan. Gadis itu langsung mendelik ke arahnya, seolah tersinggung.
"Anak ayam, katamu?" ia menatap dirinya sendiri dari atas ke bawah. "Hei! Tidak ada anak ayam secantik ini, tahu!"
Alejandro justru tertawa terbahak-bahak. "Anak ayam tetaplah anak ayam, El!"
Tanpa pikir panjang, Elena mengambil bantal sofa dan melemparkannya ke arah Alejandro, yang dengan gesit menghindar.
"Kurang ajar!" teriaknya, setengah tertawa, setengah gemas.
Alejandro lari kecil ke balik sofa, masih tertawa. "Aku jujur, bukan kurang ajar!"
"Beraninya mengejek perempuan cantik!" Elena mengejarnya sambil membawa satu bantal lagi.
Dan begitulah, villa yang tadinya sunyi berubah menjadi tempat hangat yang dipenuhi tawa. Mereka berlari kecil mengelilingi ruang tamu, saling melempar bantal dan canda, seperti dua anak kecil yang melupakan dunia sejenak.
Di tengah luka dan kesunyian, mereka menemukan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar pelarian yaitu keberadaan satu sama lain.
Namun di luar sana ada bahaya lain yang ternyata lebih mengancam dan itu akan segera terjadi jika mereka berdua lengah.