Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22: Kekuatan yang Tersembunyi
Angin malam menyusup perlahan ke celah jendela bengkel tua itu. Suaranya menggigit, namun tak lebih tajam dari tekad Sion yang tengah menggenggam pedang kayu di tangannya. Keringat mengalir dari pelipis hingga lehernya, membasahi baju tipis yang melekat di tubuh.
Di bawah cahaya bulan pucat, ia bergerak berulang-ulang. Langkah, putaran, tebasan, tangkisan. Semua dilakukan dengan ritme yang nyaris obsesif. Tanpa suara, tanpa jeda.
Suara napasnya tercampur dengan desir dedaunan. Matanya tajam, tubuhnya lentur. Ia bukan lagi pemuda dari Tallava, melainkan bayangan seorang prajurit yang ditakdirkan untuk bangkit.
Dari balik jendela rumah, sepasang mata memperhatikannya dalam diam.
Krov berdiri di ambang pintu, mengenakan jubah tidur yang hanya sebatas lutut, rambutnya masih acak-acakan karena tidur. Tapi tatapannya tak mengantuk. Ia melihat gerakan Sion belum sempurna, tapi bersungguh-sungguh. Di bawah bulan, gerakan itu tampak seperti tarian bayangan seorang anak yang belum menemukan cahaya.
Sion akhirnya menyadari kehadiran Krov.
Ia menghentikan latihannya, menunduk. “Apakah aku membangunkanmu?”
Krov menggeleng. Ia berjalan mendekat perlahan, berdiri di sisi lapangan kecil di belakang rumah. “Bukan kau yang membangunkanku, melainkan angin yang berbeda dari biasanya.”
Sion menunduk lagi, masih memegang pedangnya. “Sudah beberapa minggu ini, aku berlatih sendiri. Tapi…” Ia menggigit bibir. “Tuan Krov. Mengapa kau belum mengajariku sendiri? Dengan pedang sungguhan. Bukan hanya kayu atau latihan bayangan.”
Krov diam sejenak, menatap bintang-bintang di balik pucuk pohon pinus.
“Apa kau pikir kau belum siap?” tanyanya akhirnya.
Sion menatap mata lelaki tua itu. “Aku ingin siap. Maka ajari aku untuk menjadi siap.”
Krov mendengus pelan, separuh geli, separuh prihatin. Ia duduk di atas tumpukan kayu, menatap Sion dalam-dalam.
“Tak semua luka datang dari serangan lawan. Beberapa luka muncul saat kau menyadari, tanganmu tak cukup kuat untuk melindungi dirimu, apalagi orang yang kau sayangi.”
Sion menunduk, tapi tidak menjawab.
“Baiklah,” ujar Krov. “Besok pagi, kita mulai latihan dengan senjata sungguhan. Tapi ingat, pedang sungguhan juga bisa membawa kematian sungguhan. Termasuk untukmu sendiri.”
Sion mengangguk perlahan. “Terima kasih…”
Setelah jeda, ia bertanya lagi. “Tuan Krov… aku ingin tahu satu hal lagi. Tentang sihir.”
Krov mengangkat alis.
“Aku pernah melihat elf menggunakan sihir angin saat bertarung. Membentuk pusaran, memukul lawan dari kejauhan. Ada juga yang menciptakan api. Apa… aku bisa belajar seperti itu?”
Krov terdiam lebih lama kali ini. Wajahnya muram, seperti bayangan masa lalu menari di belakang matanya.
“Dulu,” katanya pelan, “aku bisa. Aku bisa mengumpulkan angin, mengubahnya jadi putaran tajam. Aku bahkan bisa membuat kabut tebal untuk menyembunyikan pasukanku. Tapi itu… dulu.”
“Apa yang terjadi?”
“Tubuh ini sudah tua, Sion. Tapi bukan hanya itu. Sihir bukan sekadar kekuatan. Ia… bagian dari jiwa. Ketika jiwamu terkunci oleh kesedihan atau kehilangan... kadang, kekuatan itu tak kembali.” Ia menatap tangan kanannya. “Tanganku ini dulu mengangkat badai. Sekarang, hanya mampu memegang palu.”
Sion terdiam. Matanya menatap langit.
“Apa masih ada cara untuk bisa melatihnya?”
Krov tersenyum samar, seperti menatap bocah yang bermimpi jadi raja.
“Ada. Tapi bukan dengan ayunan pedang. Kau harus melatih dirimu dari dalam. Duduk diam di bawah air terjun. Biarkan tubuhmu dipukul oleh derasnya air. Biarkan jiwamu bersih, sampai angin mengenalmu.”
Sion menatapnya penuh perhatian.
“Berapa lama?”
“Sebulan. Mungkin dua bulan. Itu juga belum tentu berhasil.”
“Tapi… kau keturunan raja, Sion… punya kemungkinan lebih besar untuk menghidupkan kemampuan sihir dari dalam tubuhmu. Mereka yang dilahirkan dari garis agung biasanya membawa bakat mengendalikan salah satu dari empat unsur: angin, air, api, atau tanah.”
Sion membelalakkan mata.
“Bayangkan,” lanjut Krov, “kau mengangkat tangan, dan udara berkumpul membentuk bola angin yang menghantam lawanmu. Atau kau menarik uap dari sungai untuk menciptakan kabut. Tapi jangan salah… sihir bukan untuk pamer. Ia untuk menjaga, melindungi diri.”
Sion menatap tangannya sendiri, seolah baru menyadari bahwa ada kekuatan besar yang mungkin tersembunyi di balik kulitnya yang tenang.
“Kalau begitu… setelah aku cukup kuat dengan pedang, aku ingin pergi ke air terjun itu,” katanya mantap.
Krov mengangguk pelan, tapi matanya tetap awas.
“Baik. Tapi jangan lupa satu hal, Sion…”
“Apa itu?”
“Yang bisa mengendalikan sihir… juga bisa kehilangan kendali olehnya. Jika kau hanya ingin kekuatan tanpa tahu untuk apa ia digunakan, maka kekuatan itu akan memakanmu lebih dulu.”
Sion terdiam. Ia menatap tangannya. Suara lembut menginterupsi malam.
“Kalau kau berlatih terus seperti itu, bisa-bisa naga pun kabur sebelum kau sempat mencabut pedangmu,”
Suaranya ringan, jenaka, tapi cukup mengejutkan dua sosok lelaki di sana. Krov menoleh cepat, sementara Sion hampir menjatuhkan pedang kayunya.
Sissel berdiri di ambang pintu belakang rumah, mengenakan jubah tidur tipis berwarna biru gelap, dengan rambutnya berantakan. Matanya setengah terbuka, tapi senyumnya jelas penuh godaan mengantuk.
“Aku pikir kau naga yang mengaum, ternyata hanya anak keras kepala yang tak tahu kapan waktunya tidur,” katanya sambil menguap kecil.
Sion membeku. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya. Mata itu, tawa itu, bahkan helai rambut yang sedikit menempel di pipinya… semua membuat jantungnya berdetak dengan irama yang tak biasa. Bahkan sinar remang-remang dari lentera cukup untuk memperjelas wanita itu.
Krov melirik ke arah Sion yang mendadak seperti terhipnotis.
“Lihat itu,” gumam Krov. “Tatapan orang yang sudah tertusuk, bukan oleh pedang.”
Sion buru-buru menunduk, wajahnya memanas. Dalam hatinya, ia bergumam, “Mengapa… mengapa aku tak bisa berhenti mengaguminya? Setiap gerak, setiap kata, bahkan saat ia menguap sekalipun... sungguh, ini bukan perasaan biasa.”
Sissel mendekat beberapa langkah, mengusap matanya. “Ayah, aku benar-benar tak bisa tidur. Suara obrolan kalian terdengar sampai ke dalam.”
“Maaf,” jawab Krov, lalu berdiri, menepuk bahu Sion. “Kau sudah cukup membuat bintang iri malam ini. Sekarang, masuk dan tidurlah.”
Sion mengangguk patuh, menyimpan pedangnya dan berjalan pelan menuju pintu, berusaha tidak terlalu mencuri pandang ke arah Sissel, walau gagal.
Krov menoleh ke putrinya. “Besok siang ada perayaan musim semi di lapangan desa. Kita semua harus istirahat agar tidak tampak seperti orc bermata panda.”
Sissel tertawa pelan. “Baiklah, baiklah. Aku tidur dulu. Tapi kalau kudengar suara kayu beradu lagi, aku akan siram kalian dengan air sup dingin.”
Sion tersenyum kecil mendengar itu.
Malam itu kembali hening. Tapi hati Sion tidak.
Dalam tidurnya nanti, bukan bayangan naga atau pedang yang datang menghampiri—melainkan sepasang mata hangat milik seorang gadis dengan rambut merah menyala, dan suara leluconnya yang tak pernah bisa ia bantah.