NovelToon NovelToon
Pernikahan Balas Dendam

Pernikahan Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Pernikahan Kilat / Cinta Paksa / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:449
Nilai: 5
Nama Author: arinnjay

Seorang wanita cantik dan tangguh bernama Arumi Pratama putri tunggal dari keluarga Pratama.
Namun naas suatu kejadian yang tak pernah Arumi bayangkan, ia dituduh telah membunuh seorang wanita cantik dan kuat bernama Rose Dirgantara, adik dari Damian Dirgantara, sehingga Damian memiliki dendam kepada Arumi yang tega membunuh adik nya. Ia menikah dengan Arumi untuk membalas dendam kepada Arumi, tetapi pernikahan yang Arumi jalani bagaikan neraka, bagaimana tidak? Damian menyiksanya, menjadikan ia seperti pembantu, dan mencaci maki dirinya. Tapi seiring berjalannya waktu ia mulai jatuh cinta kepada Damian, akankah kebenaran terungkap bahwa Arumi bukan pelaku sebenarnya dan Damian akan mencintai dirinya atau pernikahan mereka berakhir?
Ikutin terus ceritanya yaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon arinnjay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22 : Menunggu Cinta Kecil Kita

Hujan turun pelan sore itu, membasahi kaca jendela rumah Arumi dan Damian. Aroma tanah yang basah, suara rintik hujan, dan secangkir teh hangat menemani Arumi yang duduk di sofa sambil mengelus perutnya yang kini sudah nyaris sempurna bulat.

Usia kehamilannya memasuki minggu ke-38. Hanya tinggal menunggu hari, dan bayi laki-laki yang mereka nanti-nantikan akan lahir ke dunia.

Damian baru saja pulang dari kantor. Begitu masuk rumah, dia langsung menghampiri istrinya, mencium keningnya, lalu berjongkok untuk menyapa calon anak mereka.

“Hey jagoan kecil… hari ini kamu diem banget ya? Lagi santai kayak mamanya juga?”

Arumi tersenyum lemah. “Hari ini dia agak kalem. Tapi mungkin karena mama-nya lagi deg-degan.”

Damian langsung duduk di sampingnya dan menggenggam tangan Arumi.

“Kamu takut?”

Arumi mengangguk pelan. “Bukan takut sakitnya. Tapi takut kehilangan momen. Takut ada yang salah. Takut enggak cukup kuat...”

Damian langsung menarik tubuh Arumi ke pelukannya. Pelukannya seperti rumah—selalu hangat, selalu aman.

“Kamu kuat, Arumi. Lebih dari yang kamu kira. Dan kamu gak sendiri. Aku akan ada di sana, tiap detiknya, tiap napasmu. Kita tunggu jagoan kita bareng-bareng.”

Arumi menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu. Kalau ada tempat paling nyaman di dunia, tempat itu ada di dada Damian.

---

Beberapa hari kemudian…

Pagi itu seperti biasa. Damian menyiapkan sarapan, dan Arumi sedang asyik mencoret-coret buku nama bayi. Tapi tiba-tiba, wajah Arumi berubah. Tangannya memegang perutnya erat.

“Mas…”

Damian langsung menoleh. “Sayang, kenapa? Sakit?”

Arumi mengangguk pelan. “Kayaknya... kontraksi. Tapi belum terlalu sakit…”

Damian panik—bukan panik berlebihan, tapi panik karena terlalu cinta. Ia langsung mengeluarkan catatan yang sudah ia siapkan sejak bulan lalu: daftar hal yang harus dilakukan saat kontraksi pertama.

“Napasin dalam-dalam. Aku panggil dokter dulu, ya?”

“Belum... jangan panik. Mungkin masih kontraksi palsu,” kata Arumi sambil tersenyum meyakinkan. Tapi Damian tetap mengecek tas persalinan, baterai HP, dan memastikan semua sudah siap.

Dua jam kemudian, rasa sakit itu makin intens. Damian memutuskan untuk segera membawa Arumi ke rumah sakit.

Di dalam mobil, Arumi menggenggam tangan Damian sangat erat. Keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, tapi matanya tetap fokus pada suaminya.

“Mas... aku takut...”

Damian mencium tangan Arumi. “Gak usah takut. Kamu udah lewatin hal yang lebih berat dari ini. Dan sekarang kamu cuma perlu satu hal: percaya.”

---

Di ruang bersalin, Arumi berjuang dengan seluruh tenaga. Damian tetap di sisinya, mengenakan pakaian medis lengkap. Tangannya tak pernah lepas dari tangan Arumi, meski genggamannya makin kuat tiap kontraksi datang.

“Napasin, sayang... sebentar lagi kita ketemu jagoan kecil kita,” ucap Damian, berkali-kali, dengan suara bergetar.

Beberapa jam berlalu. Arumi sudah lelah, tubuhnya seakan remuk, tapi hatinya tetap menyala. Karena ia tahu, satu kehidupan kecil sedang dalam perjalanan—dan ia tak boleh menyerah.

Akhirnya…

Tangisan pertama pecah di ruangan itu. Tangisan kecil yang menggema begitu keras di hati mereka.

“Selamat ya, Bu... bayinya laki-laki, sehat dan sempurna,” kata dokter dengan senyum tulus.

Arumi menangis. Damian pun menangis. Mereka saling pandang, saling genggam, dan saat bayi mungil itu diletakkan di dada Arumi, semua rasa sakit seperti menguap.

“Mas... ini dia. Cinta kecil kita...”

Damian mencium dahi Arumi dan berbisik, “Terima kasih… kamu luar biasa. Aku bangga banget.”

---

Beberapa hari setelah kelahiran…

Damian tak bisa berhenti menatap bayi mungil yang kini tertidur di ranjang kecil. Ia bahkan enggan tidur, takut melewatkan gerakan kecil dari makhluk yang lahir dari cinta mereka.

Arumi tertidur di sofa, kelelahan. Damian menghampirinya, menyelimuti tubuh Arumi, lalu duduk di sampingnya sambil menggenggam jari-jarinya.

“Arumi…” bisiknya lirih. “Aku janji, aku bakal jadi ayah yang hadir, bukan cuma dalam bentuk, tapi dalam hati dan waktu. Kamu dan anak kita… kalian segalanya buatku.”

Saat Arumi terbangun beberapa menit kemudian, Damian masih duduk di sana. Mata mereka bertemu.

“Tidur dulu, mas... kamu capek…”

Damian tersenyum. “Aku cuma lagi jatuh cinta lagi… sama kamu. Sama anak kita.”

Arumi tertawa kecil sambil meneteskan air mata bahagia. “Dan aku jatuh cinta… sama versi kamu yang ini. Damian si ayah. Damian si pelindung.”

---

Hari-hari berikutnya adalah hari-hari belajar. Belajar menyusui, mengganti popok, bangun tengah malam, menenangkan bayi yang menangis tanpa alasan jelas.

Tapi semua itu terasa ringan, karena mereka menjalaninya bersama.

Setiap kali Damian menggendong bayi mereka, Arumi selalu mengabadikan momen itu. Katanya, “Aku pengen dia tahu... ayahnya selalu ada sejak hari pertama.”

Dan setiap malam, sebelum tidur, Damian selalu membisikkan kalimat yang sama:

“Untuk Arsha, anak kita. Dan untuk Arumi, perempuan yang membuatku percaya cinta adalah obat terbaik dari semua luka.”

***

Beberapa minggu setelah kelahiran Arsha, rumah Damian dan Arumi penuh dengan nuansa baru—nuansa bayi. Suara tangis kecil, aroma minyak telon, dan tumpukan popok jadi pemandangan harian mereka. Tapi tak satu pun dari itu terdengar seperti beban.

Justru, semua terasa… menghangatkan.

Damian, yang dulu sibuk dengan urusan kantor, kini hafal jadwal menyusui, mengganti popok, sampai posisi gendong yang paling disukai Arsha.

Arumi, meski masih lelah karena proses pemulihan, tetap tersenyum di setiap pagi, hanya karena melihat dua pria kecil dan besar yang jadi dunianya.

“Mas, kamu tahu gak? Kadang aku masih gak percaya ini semua nyata,” ujar Arumi suatu pagi, saat mereka duduk di ruang tengah. Arsha tertidur di antara mereka, di atas bantal menyusui.

Damian mengusap rambut Arumi. “Sama. Rasanya kayak mimpi yang gak mau aku bangunin. Kita dulu di titik gelap... dan lihat kita sekarang.”

Arumi menatap Damian. “Ingat waktu pertama kali kita ketemu?”

Damian tertawa kecil. “Ingat banget. Kamu galak.”

“Ya salah siapa ngajak kerja sama pakai dendam segala.”

“Tapi... ternyata dendam bisa berubah jadi cinta ya?”

Arumi tersenyum sendu. “Dan cinta bisa jadi keluarga.”

***

Hari-hari jadi orang tua tak selalu mudah.

Ada malam-malam ketika Arsha rewel tanpa alasan, membuat Damian mondar-mandir sambil menyanyikan lagu yang tak jelas nada maupun liriknya. Ada pula pagi saat Arumi bangun dengan tubuh pegal dan mata bengkak karena begadang.

Tapi mereka belajar untuk tidak saling menyalahkan. Tidak saling menyimpan lelah sendiri. Justru mereka membagi semuanya—lelah, tawa, tangis, dan harapan.

Suatu malam, Arsha menangis tanpa henti. Arumi sudah mencoba menyusui, menenangkan, sampai mengganti popok, tapi tangis itu tetap berlanjut.

“Aku... aku kayaknya gagal jadi ibu…” ujar Arumi, mulai menangis sambil duduk di lantai kamar bayi.

Damian langsung menghampiri. Ia jongkok di hadapan Arumi, menggenggam wajahnya dengan kedua tangan.

“Denger aku. Kamu ibu terbaik buat Arsha. Tangisan dia bukan karena kamu gagal. Tapi karena dia masih belajar… dan kita juga. Kita tim, ingat?”

Arumi mengangguk, dan saat itu juga Damian mengambil Arsha, menggendongnya sambil berdiri di dekat jendela.

“Arsha, dengerin Daddy ya... Mama kamu udah kasih semuanya buat kamu, bahkan sebelum kamu lahir. Jadi jangan nakal, ya. Kita sama-sama sayang Mama.”

Entah sugesti atau memang Arsha mengerti, tangis itu perlahan mereda. Arumi menatap mereka berdua dengan mata sembab, tapi hatinya penuh cinta.

Damian, lelaki yang dulu dingin dan penuh dendam, kini menjadi ayah yang bicara dengan bayi seakan sedang berdiplomasi dengan dunia.

---

Beberapa hari kemudian, Arumi diam-diam mencetak sebuah album foto kecil. Isinya adalah foto-foto Damian bersama Arsha: saat mengganti popok untuk pertama kalinya, saat tertidur di sofa sambil memeluk bayi mereka, dan saat menyuapi Arumi dengan tangan kiri sambil menimang Arsha di tangan kanan.

Di halaman terakhir album itu, Arumi menulis:

> Untuk Damian.

Terima kasih sudah mengubah luka jadi rumah, trauma jadi tawa, dan masa lalu jadi pelajaran. Kamu bukan ayah sempurna. Tapi kamu adalah pria paling aku percaya untuk jadi pelindung anak kita. Aku cinta kamu. Selalu.

Damian membacanya diam-diam malam itu, dan ia menangis pelan tanpa suara. Ia tak tahu bagaimana hidupnya bisa berbelok sejauh ini—dari pria yang ingin membalas sakit hati, menjadi pria yang tak bisa tidur karena suara tangis mungil di malam hari.

---

Di hari ulang bulan pertama Arsha, mereka mengadakan syukuran kecil.

Tak banyak tamu. Hanya keluarga terdekat, Mbok Susi, sahabat Arumi, dan dua sahabat Damian yang dulu menyaksikan perubahan besar dalam hidupnya. Suasananya hangat, penuh tawa dan makanan rumahan.

Damian memandangi ruangan yang ramai dengan senyum tenang. Ia berdiri sambil menggendong Arsha, lalu berkata,

“Terima kasih udah datang. Hari ini bukan cuma syukuran untuk Arsha, tapi untuk perjalanan kami sebagai keluarga. Dari awal yang rumit, sampai akhirnya Tuhan mempertemukan kami di titik yang gak pernah kami duga. Semoga Arsha tumbuh di tengah cinta yang cukup… dan semoga dia tahu, betapa kerasnya kami berjuang untuk saling memilih, setiap hari.”

Tepuk tangan kecil pun terdengar. Beberapa orang menahan haru, termasuk Mbok Susi yang dari dulu tahu luka-luka Arumi.

***

Malam itu, Arumi dan Damian duduk di balkon seperti biasa. Arsha tertidur di kamar, dijaga oleh baby monitor. Angin malam berhembus pelan, dan aroma wangi dari bunga melati di halaman menyelinap tenang.

“Mas,” kata Arumi pelan, menyandarkan kepala di bahu Damian, “kamu bahagia?”

Damian menjawab tanpa berpikir lama. “Banget.”

“Kenapa?”

“Karena aku akhirnya ngerti… cinta itu bukan tentang awal yang sempurna. Tapi tentang kemauan untuk bertahan, meski awalnya salah arah. Aku dan kamu… awalnya salah. Tapi kita pilih jalan yang sama.”

Arumi menggenggam tangan Damian. “Dan sekarang, kita punya alasan baru buat terus melangkah.”

“Arsha,” jawab Damian, “dan kamu.”

---

...****************...

1
Araceli Rodriguez
Ngangenin deh ceritanya.
Cell
Gak kepikiran sama sekali kalau cerita ini bakal sekeren ini!
filzah
Karakter-karakternya sangat hidup, aku merasa seperti melihat mereka secara langsung.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!