Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembentukan Tim
Tubuh mereka seperti baru keluar dari perang dunia. Nafas berat, luka-luka kecil, keringat dan debu bercampur dengan sisa energi supranatural yang masih bergentayangan di udara. Di dalam kuil hutan yang remang, mereka satu per satu jatuh duduk, tak peduli gaya atau kehormatan. Yang penting: istirahat.
Taki duduk paling duluan di dekat kolam kecil di pojok kuil, dan tanpa suara, ia membuka topeng legendarisnya—Topeng Suprime Closer yang selama ini tak pernah lepas di mata publik. Semua langsung menoleh.
Wajah itu... tidak seperti yang mereka duga.
Kulitnya cokelat matang dengan bekas luka tipis di pipi kanan. Matanya tajam, namun tidak menyeramkan—ada rasa lelah yang sudah mengakar di sorotannya, seperti pria yang sudah terlalu lama melihat dunia dari balik kaca kebenaran yang pecah.
"Hah," Hellhowl menyengir kecil. "Jadi begini wajah juru tulis semesta?"
Taki hanya menatapnya sekilas, lalu menyibakkan rambutnya ke belakang. "Kau lebih mirip roadie yang kesurupan."
Asvara duduk bersila di dekat singgasana, auranya yang hijau kini telah meredup perlahan, seperti lilin kehabisan minyak. Ia memejamkan mata, dan akar-akar yang tadi aktif kini kembali tenang, menyatu dengan lantai.
Raga, sang Hellhowl, menegakkan tubuhnya, dan gitar hitam berukir tanduk tengkorak di punggungnya menghilang begitu saja dalam kepulan asap pekat yang mengepul dari punggungnya.
"Gitar dari neraka bisa pensiun dulu," gumamnya, lalu ia jatuh terduduk dan menyender di tiang akar, membuka jaket kulitnya, menyisakan kaos robek penuh bercak darah kering.
Di sisi lain, Sasmita membuka trench coat hitamnya dan menaruhnya seperti selimut di lantai. Di bawahnya, ia hanya mengenakan tanktop abu-abu kusam dan celana tempur, memperlihatkan bahu dan lengan yang penuh bekas luka lama. Ia menghela napas, menyandarkan senapan di dinding.
"Gue nggak nyangka hidup gue bakal kayak gini."
Yama dengan tangan gemetar membuka sabuk peralatan kimia yang penuh botol-botol kecil. Ia mengurut keningnya, membuka sarung tangan anti-bakaran. Di pipinya masih ada bercak biru zat reaktif yang tadi sempat menyembur dari tabung. "Ini gila. Gila banget."
"Setuju." Hellhowl mengangguk. "Gue pikir konser di bawah bulan purnama dengan fans kerasukan udah cukup chaos. Tapi ini... kita lawan Bondowoso, bro."
"Dan dia belum mati," Sasmita mengingatkan, suaranya datar.
Sejenak, sunyi menyelimuti mereka semua. Hanya suara rimba malam yang menemani—suara serangga, air menetes, dan embusan angin dari luar kuil.
Ningsih berdiri sedikit menjauh, memeluk dirinya sendiri. Ia hanya diam, mengamati mereka satu per satu.
Mereka seperti potongan-potongan dari dunia yang berbeda. Penyihir, penulis realitas, ilmuwan beracun, pemburu siluman, dan vokalis dari neraka. Dan mereka semua... berkumpul untuk melindungiku?
Matanya menatap Taki, lalu Yama yang sedang bersin pelan karena reaksi kimia tak sengaja. Sasmita yang memijat bahunya. Raga yang kini diam menatap atap, entah berpikir apa. Dan Asvara... yang seperti dewi lelah.
Siapa mereka sebenarnya? Kenapa mereka mau melindungi aku? Aku bukan siapa-siapa…
Ia menggigit bibir, lalu perlahan duduk bersandar ke dinding akar, masih menjaga jarak. Belum siap bergabung. Belum tahu harus merasa apa. Tapi satu hal yang pasti: mereka semua tampak... nyata.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Ningsih merasa tidak sendirian dalam mimpi buruk ini.
Sambungan Bab: Nafas dalam Rimba (Bagian Akhir)
Malam mulai turun di luar kuil, disambut nyanyian serangga hutan dan semilir angin dari celah-celah dedaunan tinggi. Obrolan mereka pun mulai berubah—dari gumaman lelah menjadi percakapan yang lebih dalam. Mereka duduk membentuk lingkaran, kali ini tak dalam formasi bertarung, tapi sebagai manusia biasa yang nyaris mati bersama.
"Tadi tuh... beneran Bondowoso?" Raga membuka pembicaraan dengan nada setengah nggak percaya. "Raja Genderuwo? Yang dari legenda zaman Majapahit itu?"
Yama mengangguk pelan. "Bentuknya cocok dengan naskah kuno yang pernah gue teliti. Ukuran, bau, resonansi mistis... tapi kekuatannya jauh di atas ekspektasi." Ia mengelus lehernya yang masih terasa panas.
"Yang jelas itu bukan sesuatu yang bisa kita biarin gentayangan di Jawa," gumam Sasmita. Ia menggulung rambutnya ke belakang. "Kalau dia sampai lepas ke kota—udah bukan bencana, itu kiamat lokal."
Asvara membuka mata, sorot matanya kembali tenang, tapi tetap menyimpan kekhawatiran. "Dan dia belum selesai. Bondowoso cuma satu bagian. Masih ada... 'dia'."
"Nyai Rante Mayit," Taki melanjutkan, suaranya pelan, tapi seperti mengiris udara. "Kalau suara tadi beneran dia, dan dia hampir bangkit... maka kita belum lihat apapun."
Ningsih yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya lirih, nyaris seperti bisikan. "Dia manggil aku… Aku enggak tahu kenapa. Tapi tiap malam, tiap mimpi… dia ada. Dia tahu aku ada di dunia ini."
Keheningan kembali menelan mereka.
"Jadi, lo ini cucu entah keberapa dari dukun zaman Mataram?" Raga menatap Ningsih serius tapi nadanya masih setengah bercanda. "Lo yakin enggak bisa nyuruh Bondowoso pulang? Kayak... kasih permen gitu?"
Ningsih menghela napas, tapi akhirnya tertawa tipis. Pertama kalinya sejak semuanya terjadi. "Kalau bisa, udah gue lakuin dari kemarin."
Taki menatap semuanya. Ia seperti menimbang sesuatu, lalu menegakkan duduknya. "Kita semua beda. Kita nggak kenal satu sama lain. Bahkan, mungkin beberapa dari kita nggak percaya hal kayak gini ada dua minggu lalu." Matanya menyapu satu per satu.
"Tapi hari ini, kita berdiri bareng. Kita lawan sesuatu yang nggak bisa dilawan sendirian. Dan... mau nggak mau, kita harus siap kalau itu kejadian lagi."
Asvara mengangguk. "Ancaman mistis nggak akan berhenti di sini. Dunia ini sudah berubah. Tirai antara dunia gaib dan dunia manusia... mulai robek."
"Dan kita ini... yang bisa liat sobekannya," Sasmita menimpali.
Taki melanjutkan, "Kita butuh struktur. Kerja sama. Bukan hanya pertempuran satu kali. Kita butuh jadi... tim."
Yama yang biasanya skeptis hanya bergumam, "Kalo enggak, kita bakal mati satu per satu. Gitu aja."
Hellhowl berdiri perlahan, lalu menjulurkan tangan ke tengah. "Tim horor? Gue ikut." Ia menyeringai.
Satu per satu, tangan lain menyusul. Taki. Sasmita. Yama. Terakhir Asvara.
Ningsih menatap mereka dari belakang, merasa tubuhnya gemetar. Tapi di antara rasa takut itu… ada percikan rasa aman. Mereka ini gila, aneh, dan mungkin tidak stabil. Tapi mereka memilih tetap tinggal.
Dan kini... mungkin dunia masih punya harapan.