Di dunia yang diatur oleh kekuatan enam Dewa elemen: air, angin, api, tanah, es, dan petir, manusia terpilih tertentu yang dikenal sebagai Host dipercaya berfungsi sebagai wadah bagi para Dewa untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan ilahi dan kesejahteraan Bumi. Dengan ajaran baru dan lebih tercerahkan telah muncul: para Dewa sekarang meminjamkan kekuatan mereka melalui kristal, artefak suci yang jatuh dari langit.
Caela, seorang perempuan muda yang tak pernah ingat akan asal-usulnya, memilih untuk menjadi Host setelah merasakan adanya panggilan ilahi. Namun semakin dalam ia menyelami peran sebagai Host, ia mulai mempertanyakan ajaran ‘tercerahkan’ ini. Terjebak antara keyakinan dan keraguan, Caela harus menghadapi kebenaran identitasnya dan beban kekuatan yang tidak pernah ia minta.
Ini cerita tentang petualangan, kekuatan ilahi, sihir, pengetahuan, kepercayaan, juga cinta.
**
Halo, ini karya pertamaku, mohon dukungannya ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kirlsahoshii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejujuran
“A..Aku…” Caela masih bingung apa yang harus dia jawab kepada Fae. Apa dia harus jujur kalau dia memiliki banyak kesamaan dengan Fae. Apa dia harus bercerita bahwa selama ini dia perlahan mempercayai mitos lama? Apakah dia harus bercerita bahwa dia selama ini mencari kebenaran apa yang dikatakan oleh Rieva selama ini?
Fae memiringkan kepalanya sedikit menunggu respon Caela.
“Tidak pernah dengar…” kata Caela dengan pelan dan ragu-ragu.
Fae menghela napas dia seperti sedikit kecewa dengan jawaban Caela. Fae merasa Caela seperti tidak jujur, tapi sangat mungkin kalau Caela tidak pernah dengar hal tersebut. Fae lalu kembali bercerita.
“Aku harus jujur padamu Caela,” kata Fae.
Caela menaikkan alisnya dia tersentak sedikit dari pikirannya, “Tentang hal apa?”
Fae melangkah mendekat ke arah Caela, matanya merahnya beradu dengan mata biru langit Caela. “Saat di Forgotten Ruins, aku mendengar hal yang sama, frasa mitos tabu para kelompok murtad… Saat menyentuhmu,” kata Fae dengan suara penuh kerentanan, seakan dia frustasi dengan dirinya.
Caela hanya melebarkan matanya saat mendengar hal tersebut. Dia tahu betul bahwa dia mendengar dan melihat vision yang mungkin sama dengan Fae. Caela hanya merunduk seperti merasa terpojokkan dengan keadaan ini. Melihat hal itu, Fae langsung mencengkram pergelangan Caela dan keduanya terkejut, karena suara Dewa dan vision itu datang lagi pada mereka. Caela yang masih kelelahan akibat perbincangan dengan Dewa Varuna langsung jatuh bersimpuh dan keduanya sama-sama menarik nafas terengah-engah.
“Kau juga melihat dan mendengarnya, kan…?” tanya Fae lagi matanya penuh kerentanan, napasnya kembali terengah-engah.
Caela hanya bisa fokus menarik napasnya, dia tidak tahu harus berkata apa. Dia ragu dan belum siap dengan keadaan ini.
Fae berdiri menenangkan diri dan kemudian bersimpuh kepada Caela dan melihat wajahnya yang tertutup oleh rambut putihnya.
“Tak apa jika kau belum mau bercerita, tapi Caela… Kau bisa percaya padaku, aku tidak akan menghakimi apa yang kau rasakan… dan tak akan bicara pada siapapun soal itu…” kata Fae lalu dia pergi dari hadapan Caela.
Caela masih bersimpuh melihat Fae pergi dari kamarnya lewat beranda. Dia mencoba kembali tenang dan memikirkan semua ini. Dia kini jadi semakin mempertanyakan kebenaran akan mitos lama, apakah dia dalam jalan menuju kebenaran, atau malah jadi salah satu pengikut kelompok murtad? Apakah dia harus mempercayai Fae dan mengatakan segalanya? Namun kini pikirannya terbang ke mayat hidup yang dia lenyapkan sebelumnya di Forgotten Ruins. Apakah jika Caela percaya dengan mitos lama, dirinya akan dikutuk oleh Dewa sama seperti mereka?
**
Sinar matahari pagi datang menyinari kastil Riverbend, Caela dan Fae sudah menghadap Sang Raja. Sang Raja menyampaikan sebuah pesan kepada mereka, bahwa saat ini Shala, ibu Fae berada di Moriad. Shala meminta Caela dan Fae untuk datang dan melaporkan misi mereka ke Forgotten Ruins kepadanya di sana.
Fae melipat kertas pesan dari ibunya dan menghela napasnya, “Baik lah, sekarang kita harus ke Moriad,” kata Fae.
Sang Raja mengangguk dan tersenyum ke arah Fae dam Caela, “Semoga Dewa memberkati perjalanan kalian,” kata Raja terdiam sejenak, “jangan putus asa, pasti akan ada jalan dalam mencari Kuil Dewa Petir itu…”
Fae mengangguk dan Caela hanya terdiam sejenak. Caela teringat kembali akan perbincangannya dengan Dewa Varuna, bahwa Dewa Petir itu sudah di dalam wadah namun tersegel. Dirinya hanyut dalam banyak pertanyaan, hingga dia teringat kembali dengan kejanggalan Fae yang juga dia rasakan. Caela melirik ke arah Fae, curiga akan sebuah hal yang tidak bisa dia ungkapkan. Semuanya masih jadi pertanyaan, Caela mencoba satu persatu menyatukan puzzle yang ada dalam ingatannya.
“Caela,”
Caela tersentak kaget saat sedang berpikir, Raja memanggilnya, dia pun langsung melihat ke arah Raja, “Ya?”
“Jaga dirimu baik-baik,” katanya.
Caela mengangguk tegas, mengapresiasi kekhawatiran Raja.
“Lord Fae, tolong jaga Caela,” kata Raja sambil tersenyum.
Fae tersenyum dan memberi hormat pada Raja, “Aku berjanji akan hal itu, Yang Mulia,” katanya.
Caela terdiam melihat Fae yang tampak dengan tenang dan tersenyum saat menjawabnya. Ia penasaran apa yang dipikirkan Fae pada saat ini, tapi mungkin belum sekarang waktunya untuk bertanya.
***