Rara hanyalah seorang gadis biasa yang hidupnya berubah sejak diadopsi oleh pasangan kaya, Nadine dan Damar. Di usianya yang masih 15 tahun, ia merasa mendapat kesempatan kedua dalam hidup-tempat tinggal yang nyaman, kasih sayang, dan harapan baru. Tapi semua itu bukan tanpa alasan. Rara diangkat bukan hanya sebagai anak, tapi juga disiapkan untuk satu tujuan: menjadi ibu pengganti bagi anak pasangan itu.
Sebagai bentuk balas budi, Rara menerima takdirnya. Ia ingin membalas kebaikan mereka dengan keikhlasan, tanpa berharap apa-apa. Tapi takdir memiliki caranya sendiri untuk menghancurkan segalanya.
Di malam ulang tahun temannya, sebuah kesalahan tak termaafkan terjadi. Dalam keadaan mabuk dan tak sadar, Rara dan Damar menghabiskan malam bersama-tanpa cinta, tanpa kesengajaan, hanya kekeliruan yang tak bisa dihapus. Beberapa minggu kemudian, saat prosedur inseminasi kembali direncanakan, Damar menghentikannya. Ia tahu... Rara mungkin sudah hamil. Dan yang tumbuh di dalam rahim itu adalah anaknya-bukan dari hasil inseminasi, melainkan dari peristiwa yang disangkal dan ditutupi.
Sementara Nadine, yang begitu bahagia dengan kehadiran janin dalam rahim Rara, tak menyadari bahwa anak itu bukanlah hasil inseminasi seperti yang ia yakini. Sampai akhirnya, perhatian berlebih Damar pada Rara membongkar semuanya.
Kehancuran pun menyusul. Nadine merasa dikhianati, kebenaran -tentang janin yang dikandung Rara, dan tentang hubungan terlarang yang tak pernah Rara inginkan.
Diusir.
Dihina.
Dibuang.
Rara kehilangan segalanya-termasuk harga dirinya. Tapi ia memilih pergi... karena ia tahu, dirinya bukan pelaku... tetapi korban dari cinta beracun yang seharusnya tak pernah tumbuh, karena cinta dari pria seegois Damar bukan sesuatu yang bisa dihindari-itu adalah jerat.
Dan Damar sendiri,terjebak antara dua perempuan yang sama-sama mengisi ruang berbeda dalam hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon adelita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Di salah satu kursi, seorang pria—dengan wajah matang, rahang tegas, mata yang dalam—duduk sambil menatap Nadine yang baru saja meletakkan tasnya dengan gerakan lelah.
Pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, memperhatikan Nadine yang tampak kusut, matanya masih sembab.
Dia membuka percakapan duluan dengan suara rendah, hangat.
"Kamu mau cerita apa sama aku, Nad?" tanyanya lembut.
Nadine mendengus kecil, melemparkan punggungnya ke sandaran kursi. Bahunya turun berat, seakan baru bisa bernapas setelah menahan begitu lama.
"Banyak!!!" jawab Nadine, hampir meledak. "Rasanya beban hidupku udah bertumpuk banget. Aku gak tau harus mulai dari mana."
Pria itu diam, memberi ruang. Ia membiarkan Nadine memilih mana yang mau dia keluarkan duluan.
"Masalah Damar lagi? Kalian bertengkar?"
Nadine mengangguk, senyum getir mengembang di bibirnya.
"Ya. Aku gak tau... mulai dari mana. Tapi tiap ketemu dia, selalu aja ujung-ujungnya bertengkar. Aku sendiri gak tau apa yang dipermasalahkan. Padahal aku udah berusaha... berusaha banget jadi istri yang terbaik buat dia."
Pria itu mengernyit, matanya menyipit penuh perhatian.
"Kamu udah tanya ke dia? Apa sebenarnya masalahnya sampai dia kayak gitu?"
Nadine menghela napas, panjang, berat.
"Udah." Nadine mengangkat kedua tangannya, pasrah. "Jawabannya? Karena aku sibuk lah, ini lah, itu lah. Gak bisa urus suami. Gak bisa layanin di ranjang. Banyak lah pokoknya. Selalu aja aku yang salah."
Nada suaranya meninggi, penuh luka.
"Aku ini manusia kali!" Nadine mengetuk dadanya sendiri, gemetar. "Bukan robot. Aku juga punya capek, punya lelah. Dia juga gak sempurna! Tapi kenapa cuma aku yang harus selalu dituntut ini itu?!"
Pria itu memandangnya dalam-dalam, lalu menggerakkan tangannya pelan, menepuk punggung tangan Nadine di atas meja. Nadine tidak menolak. Sentuhan itu terasa biasa, menenangkan.
"Ku kira," pria itu berbicara hati-hati, "kalian bertengkar gara-gara si cewek udik itu... Rara, ya? Yang kamu ceritain itu."
Nadine mendengus kasar, mengalihkan pandangan ke samping.
"Memang karena dia!" gumamnya pahit. "Aku gak tau beneran apa gak. Aku gak punya bukti. Tapi... Damar... suamiku... dia lebih peduli sama cewek bangsat itu!"
Nadine mengetukkan jari-jarinya ke meja dengan keras, membuat cangkir bergoyang sedikit.
"Pas aku ungkit nama si Rara pas kami bertengkar, tau gak apa jawabannya?!" Nadine menoleh lagi, matanya membara. "Dia malah marah! Dia bilang, 'gak usah bawa-bawa nama Rara'!"
Suasana ruangan makin menegang.
"Dia nuntut aku buat lebih sering di rumah cuma karena si Rara?!" lanjut Nadine, matanya membulat tak percaya. "Dia kira hidup aku cuma seputar rumah, suami, dan bocah yang sebenarnya bisa ngurus dirinya sendiri itu?!"
Pria di depannya terdiam. Tatapannya makin serius.
"Tapi kan, Nad... dia hamil karena perjanjian program itu. Wajar dong kalau Damar sedikit banyak memperhatikan dia?"
Nadine mendekat, membisik marah.
"Yakin itu hasil program inseminasi?"
Pria itu mengangkat alis, ragu.
"Kamu curiga... itu bukan hasil program?"
"Gak lah!" Nadine hampir membentak. "Kulihat-lihat... suamiku natap anak itu beda banget! Gak kayak tatapan orang yang cuma merasa bersalah. Ada rasa... takut kehilangan. Ada rasa... sayang. Aku liat sendiri!"
Suara Nadine pecah, penuh emosi.
"Sampai-sampai," ia melanjutkan, lebih pelan, seolah menceritakan rahasia besar, "dia rela bangun tengah malam cuma buat beliin penuhi ngidamnya Rara!"
Pria itu mengerutkan kening, kaget.
"Yang bener aja, Nad?"
"Iya! Kalau bukan aku yang gak sengaja pergokin, mungkin sampai sekarang aku gak bakal tau! Aku lihat bungkus makanan, makanan di tong sampah saat aku mau buang sampah." Kata Nadine mengepalkan tangan.
"Rara itu siapa sih buat dia? Bukan istri. Bukan kekasih. Bukan keluarga. Tapi diperlakukan kayak... kayak sesuatu yang harus dia jaga mati-matian."
Ada jeda. Hening panjang.
Pria itu meraih tangan Nadine lagi, menggenggamnya lebih erat. Nadine tidak menarik diri.
"Nadine..." katanya pelan, menatap langsung ke matanya. "Kamu udah cukup menderita. Aku liat sendiri, kamu udah berjuang buat rumah tanggamu. Tapi kamu juga berhak bahagia."
Nadine menatap pria itu, matanya penuh keraguan.
"Aku... aku gak tau lagi. Aku bimbang." Nadine menggigit bibir bawahnya, seolah menahan tangis.
"Kalau aku boleh jujur..." pria itu berkata lebih dalam, suaranya seperti menghipnotis, "mungkin kamu terlalu baik untuk bertahan di tempat yang salah."
Dia berdiri sedikit, mendekatkan wajahnya ke Nadine. Tangannya menyentuh pipi Nadine dengan lembut, ibu jarinya menghapus air mata yang hampir jatuh.
"Kamu pantas dicintai tanpa harus merasa bersalah, Nad." bisiknya.
Nadine menutup matanya sesaat, mencoba menahan badai dalam hatinya.
"Tapi... aku masih istri orang, Bi..." suaranya lemah.
"Dan aku juga suami orang..." balas pria itu, dengan getir. "Tapi kadang, orang yang kita nikahi... bukan orang yang seharusnya jadi rumah kita."
"Kalau kamu boleh jujur... aku juga mau jujur, Nad." katanya pelan.
Nadine menoleh pelan, menatap Bima dengan mata berkaca-kaca.
"Aku juga... lagi hancur." lanjut Bima, senyumnya getir.
"Kenapa...?" bisik Nadine.
Bima menghela napas, lalu menggeser duduknya lebih dekat, seolah ingin bicara hanya berdua tanpa dunia tahu.
"Istriku..." ia berhenti sebentar, matanya menerawang ke dinding. "Dia udah gak anggap aku ada di rumah itu."
Nadine mendengarkan, wajahnya menegang.
"Awalnya aku pikir... wajar kalau perempuan sibuk. Aku bisa ngerti kalau dia sibuk kerja, sibuk ngurus ini itu. Tapi lama-lama... yang aku rasain, bukan cuma sibuk. Aku rasain... aku gak dibutuhin lagi."
Nadine menggenggam jemarinya sendiri, merasa sakit mendengar itu.
"Aku pulang, dia gak peduli. Aku mau ngobrol, dia sibuk dengan laptop. Aku pegang tangannya, dia tarik. Aku cium dia..." Bima tertawa kecil, getir. "Dia bilang... 'capek, jangan ganggu'."
Ia menunduk, menatap meja kosong di depannya.
Nadine berkedip cepat, menahan emosi.
"Maaf, Bi..." gumamnya lirih.
Bima tersenyum tipis, menggeleng.
"Gak perlu minta maaf. Aku juga bukan suami yang sempurna. Tapi... aku juga butuh dicintai, Nad. Aku juga mau pulang ke rumah, disambut pelukan. Mau cerita, mau didengar, bukan dimarahin karena hal-hal kecil."
Dia menatap Nadine dalam-dalam, mata mereka bertemu di ruang hening itu.
"Aku gak cari alasan buat selingkuh, Nad. Bukan itu maksudku." katanya lebih pelan, hampir berbisik. "Tapi aku capek. Capek merasa sendirian. Capek merasa berjuang sendiri untuk hubungan yang kayaknya udah mati."
Nadine menahan napas, karena kalimat itu begitu familiar di hatinya.
"Aku ngerti..." katanya pelan, suaranya pecah.
Bima tersenyum miris.
"Mungkin... kita berdua sama, Nad." katanya. "Sama-sama capek. Sama-sama merasa gak dihargai. Sama-sama bertanya-tanya... apa kita salah pilih orang?"
Mereka terdiam hanya detak jam yang terdengar.
Bima menggeser tangannya, mengusap punggung tangan Nadine dengan ibu jarinya. Gerakannya lambat, penuh makna.
"Kadang..." katanya pelan. "Tuhan mempertemukan dua orang yang salah... di saat yang salah... tapi dengan rasa yang benar."
Nadine menutup mata, berusaha menahan gejolak di dadanya.
"Aku takut, Bi..." bisiknya.
"Aku juga." jawab Bima cepat. "Tapi kadang... apa yang membuat kita hidup... juga sesuatu yang bikin kita takut."
"Aku udah capek, Bi." katanya pelan. "Capek jadi orang yang selalu berusaha, capek merasa nggak dihargai."
Bima mendekatkan dirinya, suaranya lebih lembut, mencoba menenangkan Nadine.
"Nadine... kamu nggak sendirian." katanya dengan suara yang hampir seperti menghiba. "Aku juga capek. Aku juga ngerasa nggak dihargai. Tapi... kadang kita perlu lihat pasangan kita dari sudut pandang mereka, kan?"
Nadine mengangkat wajahnya, matanya sedikit berkaca-kaca.
"Aku udah coba, Bi. Aku udah coba ngertiin Damar, bahkan... bahkan sekarang aku rasa dia lebih peduli sama Rara daripada aku." suara Nadine sedikit pecah. "Aku udah nggak tahu harus gimana lagi..."
Bima menatapnya dalam-dalam. Perlahan tangannya terulur, menyentuh ujung tangan Nadine dengan lembut. Nadine tak menarik tangannya, meski hatinya mulai berdebar lebih cepat.
"Kita nggak bisa terus-menerus mengorbankan diri kita buat orang yang nggak pernah peduli."
Nadine menelan ludah, kemudian merasakan tangannya digenggam oleh Bima. Ada perasaan yang mulai membuncah di dadanya, sesuatu yang sulit dijelaskan.
"Tapi... apa kita nggak salah kalau berbuat begitu?" bisik Nadine, matanya tak lepas dari mata Bima yang semakin tajam menatapnya.
Bima sedikit menarik Nadine lebih dekat, wajah mereka hanya beberapa inci saja. "Kadang, kita perlu melepaskan... agar bisa jadi lebih baik." katanya, pelan namun penuh makna.
Suasana antara mereka semakin tegang, dan Nadine merasa ada ketegangan yang mencekam. Bima sedikit menunduk, matanya berfokus pada bibir Nadine, dan Nadine merasa tubuhnya mulai merespon tanpa bisa dia kendalikan.
"Kamu merasa nggak... kalau kita berdua punya satu tujuan yang sama?" bisik Bima lagi, suaranya semakin berat, semakin mendalam.
Nadine menatapnya bingung, jantungnya berdetak kencang. "Apa maksudmu?" katanya, suaranya bergetar.
Bima mendekatkan wajahnya sedikit lebih jauh, sampai napas mereka saling terasa. "Kita sama-sama ingin dicintai, Nadine. Kita sama-sama ingin merasa dihargai. Kadang... kita perlu mencari cara lain untuk merasakan itu."
Nadine terdiam, napasnya tertahan. Hatinya berdebar, dan tubuhnya terasa lebih panas dari sebelumnya. Ada rasa ingin melepaskan diri, ada keinginan yang sulit dia cegah. Bima melihat ekspresi Nadine yang semakin berubah, wajahnya yang semakin mendekat.
"Bima..." Nadine berbisik, suaranya hampir hilang. "Apa... ini benar?"
Bima tak menjawab, sebaliknya, ia membalas dengan mendekatkan wajahnya lebih lagi, sampai jarak di antara mereka hampir tidak ada. Mereka saling menatap, dan Nadine merasa dunia mereka hanya ada berdua. Dalam keheningan itu, jari-jari Bima mulai menyentuh lembut wajah Nadine, lalu menyusuri lehernya, membuat Nadine menggigil.
"Kadang..." bisik Bima, matanya menatap penuh gairah, "kita perlu merasakan hal-hal yang bisa menyembuhkan kita."
Nadine merasakan sentuhan tangan Bima yang semakin membara, dan tubuhnya mulai merespon tanpa bisa ia tahan lagi. Tangan Bima semakin turun, menyentuh pinggangnya, dan Nadine tak lagi mampu menahan dirinya.
Tatapan mereka semakin dalam, dan dalam hati Nadine, ada suara yang berbisik... "Ini salah, tapi aku tak bisa mundur lagi."
"Bima..." Nadine berbisik, suara mereka saling bercampur. "Apa yang kita lakukan?"
Bima menatap Nadine dalam-dalam, mengelus rambutnya yang tergerai, kemudian ia mendekatkan wajahnya, hanya beberapa milimeter dari bibir Nadine.
"Ini... kita berdua yang memutuskan." katanya pelan, semakin mendekatkan diri.