🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 : Sebuah peringatan.
Suara itu lebih seperti tuduhan, padahal apa yang terjadi memang baru saja terjadi, dimana Celine yang baru saja bangun sengaja menjatuhkan tubuhnya diatas pangkuan Daffa begitu menyadari kehadiran Aini disana.
Segera Daffa mendorong tubuh Celine menjauh, lalu bergegas bangun dan menghampiri Aini yang tengah berdiri disana dengan siratan wajah yang sulit dia tebak.
Ekspresinya datar, nyaris tak menunjukkan reaksi yang bagaimana. Namun sorot matanya cukup membuat Daffa paham, jika istrinya ini pasti salah paham.
"Aini, jangan salah paham. Ini tidak seperti yang kamu lihat," suaranya terdengar sedikit gugup, bukan karena takut salah, melainkan takut jika istrinya ini benar-benar salah paham dengan apa yang dilihatnya.
Celine merapikan kemejanya, seolah ingin menunjukkan pada Aini jika memang telah terjadi sesuatu diantara mereka tadi, "I-iya Ai, tadi kakiku terkilir dan tidak sengaja jatuh dipangkuan Daffa, tolong kamu jangan salah paham ya?" Pandai sekali dia membual, apa yang dia ucapkan sangat berbeda dengan gerak tubuhnya sekarang ini.
Aini masih diam, mencoba meredam sesuatu didalam sana yang seperti ingin meledak, namun masih bisa dia tahan demi tidak ingin terlihat seperti wanita yang tidak memiliki harga diri dihadapan mantan istri suaminya ini.
"Aku memang menyetujui untuk berteman denganmu, tapi bukan berarti aku mengijinkan kamu untuk mendekati suamiku lagi," masih dengan wajah tenangnya Aini menjawab, meskipun hatinya didalam sana sedang memberontak dan sangat menginginkan penjelasan dari suaminya atas apa yang sebenarnya terjadi.
"Aini..." Daffa meraih lengan Aini, namun tangannya langsung diturunkan oleh istrinya itu.
Masih mempertahankan sikapnya, tak gentar sedikitpun apalagi sampai terlihat lemah dihadapan musuh, Aini melangkahkan kakinya mendekat ke arah Celine. Tatapannya kian menajam, bukan ingin mengajak berperang melainkan untuk menegaskan sesuatu.
"Mulai besok jika memang tidak ada urusan yang begitu penting sebaiknya kamu tidak perlu datang ke kantor suamiku lagi, apalagi sampai berduaan saja didalam ruangan seperti tadi. Ini bukanlah hal yang pantas untuk dilihat, apalagi kamu tau kalau Mas Daffa sudah menikah denganku,"
Nada suaranya berat, penuh penekanan disetiap kata-katanya, seolah ingin menunjukkan bahwa ini bukanlah sebuah peringatan semata, melainkan sebuah larangan juga.
"Bukankah tadi pagi kamu bilang jika kamu sudah memiliki seseorang yang mengisi hati kamu, harusnya kamu bisa menjaga perasaannya bukan? Jadi tolong jaga batasanmu, Celine." sudut bibirnya melengkung keatas setelah dia menyelesaikan kalimatnya, lalu berbalik menghampiri Daffa dan meraih tangannya, saling mengeratkan jari-jari tangannya.
Sungguh, hatinya begitu kesal, ingin sekali dia mencakar-cakar wajah Aini dan merobek mulutnya yang sudah berani bicara kurang ajar padanya. Namun, demi tetap terlihat baik dimata Daffa, dia harus bisa menjaga sikapnya.
Sampai Dion yang baru saja selesai bertelfonan dengan Fera pun dibuat bingung begitu dia masuk dan melihat ada ketegangan didalam ruangan. Lebih terkejutnya saat melihat Aini sudah ada disana dan sedang menggandeng tangan Daffa.
"Aini, kapan kamu datang? Kebetulan kita udah mau makan siang, kamu ikut juga kan?" tanya Dion berusaha mencairkan suasana, namun sepertinya usahanya tidak berhasil.
"Maaf Mas Dion, aku datang memang untuk mengajak suamiku makan siang. Tapi kami hanya akan makan siang berdua saja. Jadi... jika Mas Dion sudah tidak ada keperluan lagi, Mas Dion bisa pergi sekarang, dan silahkan ajak sekertaris Mas Dion ini sekalian untuk pergi dari sini,"
Mulutnya membulat, bingung juga ingin menjawab apa, namun begitu melihat anggukan dari Daffa, Dion paham dan langsung mengiyakan.
"Oh.. Oke, kalau begitu kami pamit pergi dulu, mungkin lain kali saja kita makan barengnya. Ayo Celine,"
Satu tangannya terkepal, rahangnya mengeras, begitu dia berjalan melewati Aini dan Daffa, Celine menghentikan langkahnya sebentar, "Sekali lagi aku minta maaf ya, Aini. Semoga kamu tidak salah paham padaku atas kejadian tadi."
Tidak ada jawaban, Aini memilih diam karena dia memang tidak ingin mendengar penjelasan apapun dari Celine, begitupun dengan Daffa yang sudah dibuat mati gaya dan tidak sanggup berbicara apa-apa lagi setelah melihat sikap istrinya pada Celine tadi. Rupanya, istrinya ini tak selugu yang dia kira.
Keheningan mengiringi setelah kepergian Dion dan Celine, pintu ruangan yang tertutup rapat hanya menyisakan mereka berdua didalam ruangan dengan berbagai pertanyaan yang berkecamuk didalam pikiran.
Tanpa berani menatap wajah suaminya, Aini melepaskan genggaman tangan mereka dan memberanikan diri untuk bertanya setelah dia menahannya cukup lama dan membiarkan hatinya menduga-duga sendiri. Meskipun Celine sudah menceritakan, tapi dia tak sepenuhnya percaya jika belum mendengar langsung dari bibir suaminya.
"Sekarang kamu bisa jelasin tentang apa yang sebenarnya terjadi tadi, Mas? Antara kamu dengan Celine, apa kalian..." Aini menggantung kalimatnya, ada segelintir rasa takut jika apa yang dia khawatirkan adalah benar, jika sudah terjadi sesuatu sebelum dia datang tadi antara Daffa dan Celine.
Daffa menarik nafas panjang, melipatkan kedua tangannya di depan dada tanpa melepaskan tatapannya dari wajah sang istri yang terlihat terus menunduk. Hanya sesekali Aini melirik ke arahnya, mungkin takut disalahkan juga karena secara tidak langsung tadi sudah mengusir Dion dan Celine dari sana. Meskipun niatnya sebenarnya tidak seperti itu, tadi dia hanya kesal saja dan malas melihat wajah Celine lama-lama.
"Sudah bicara panjang lebar seperti tadi, sekarang baru minta penjelasan. Minta di eksekusi atau gimana ini?"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧