NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SEBUAH ALASAN

Di sebuah bandara internasional, seorang wanita paruh baya melangkah anggun dengan koper hitam kecil di belakangnya. Penampilannya elegan—mantel panjang abu-abu, kacamata hitam besar, sepatu hak yang nyaris tak bersuara saat menyentuh lantai marmer. Usianya menua, namun wajahnya tetap memancarkan pesona. Dinginnya tidak hanya dari penampilan, tapi dari sorot matanya yang tajam, tak terbaca. Ada aura yang membuat orang-orang secara naluriah memberi jalan.

Sikap arogannya adalah warisan yang tampak jelas pada putra sulungnya—Aditya. Tatapan yang sama, cara bicara yang tenang namun menyayat, serta jarak yang tak mudah ditembus. Tapi hubungan keduanya jauh dari hangatnya ibu dan anak. Terlalu asing. Seperti dua orang yang pernah terluka oleh hal yang tak pernah mereka bicarakan, lalu membangun tembok masing-masing, tinggi dan tebal, tak peduli berapa kali dicoba dirobohkan.

Aditya baru saja tiba di mansion keluarga. Hujan turun tipis, menyisakan embun di kaca-kaca jendela. Pelayan rumah menyambutnya dengan ekspresi hati-hati. Lalu, kabar itu disampaikan. Sebaris kalimat yang cukup untuk mengusik ketenangan yang selama ini ia rawat dengan susah payah.

Di ruang tengah, Aditya berdiri lama menatap lukisan tua di dinding. Matanya kosong, tapi rahangnya mengeras.

Raina menghampiri, matanya menyipit pelan memperhatikan perubahan di wajah suaminya.

"Ada apa, Mas?" tanyanya dengan suara rendah.

Aditya menggeleng pelan, matanya tidak berpaling dari lukisan itu.

"Momi datang," katanya akhirnya. Sederhana, tapi berat. Suaranya nyaris berbisik, seperti nama itu membawa serta musim dingin yang tak pernah pergi.

Raina diam. Tak bertanya lagi. Ia tahu, tak semua masa lalu ingin diulas, apalagi jika masa lalu itu punya nama—dan kini tengah dalam perjalanan pulang.

Raina membuka mulut, seolah ingin bertanya lebih jauh—tentang kedatangan wanita yang nyaris tak pernah disebut dalam rumah tangga mereka. Tapi melihat rahang Aditya yang mengeras, dan sorot matanya yang mulai keruh, ia mengurungkan niat.

Ia tahu, ini bukan waktu yang tepat.

Mungkin nanti, saat Aditya sudah siap bercerita. Saat suasana hatinya tidak seberat langit kelabu sore ini.

Selama ini, Raina hanya pernah beberapa kali melihat Melissa—ibu mertua yang keberadaannya seperti bayang-bayang jauh. Terlihat, tapi tak pernah benar-benar hadir.

Pertemuan terakhir mereka terjadi di hari pemakaman Eyang Laksmi—ibunda dari Melissa. Di antara pelayat yang mengenakan pakaian serba hitam dan raut yang penuh duka, sosok itu tetap terlihat tenang. Terlalu tenang. Tatapannya tak berkabut, justru tajam, seolah kesedihan adalah sesuatu yang terlalu pribadi untuk diperlihatkan di depan umum.

Tak ada interaksi lebih antara mereka. Hanya tatapan singkat, tanpa senyum. Sebuah anggukan sopan, selebihnya adalah kesunyian yang tidak menawarkan kenyamanan.

Wajahnya... sorot matanya... semua mengingatkan Raina pada Aditya—versi masa lalu yang dingin, angkuh, dan tertutup. Sebelum lelaki itu berubah. Sebelum ia menjadi sosok yang hangat, yang tahu bagaimana memeluk tanpa menyentuh, dan berbicara tanpa suara.

Dan kini, sosok itu kembali. Melissa.

Apa yang akan berubah?

Atau lebih menakutkan lagi—apa yang akan diulang?

Raina mendekat perlahan, lalu melingkarkan kedua lengannya di punggung Aditya. Ia memeluk suaminya dari belakang, diam-diam menyalurkan kehangatan, seolah berkata tanpa kata, “Aku di sini, kamu tak sendiri.”

Punggung Aditya yang semula tegang perlahan melunak dalam dekap itu. Seakan seluruh beban pikirannya mencair dalam keheningan yang dipeluk kasih.

Ia menarik napas panjang, lalu berbalik. Wajahnya lelah tapi lembut. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengecup rambut Raina yang harum, berulang kali, pelan-pelan, seakan ingin memastikan istrinya merasa dicintai, meski hatinya tengah sibuk oleh badai dalam diri.

“Maaf...” bisiknya.

Raina mengerjap pelan, menatap suaminya bingung. “Untuk...?”

Aditya menatapnya dalam, mata mereka bertemu dalam jarak sedekat detak.

“Sudah mengabaikanmu,” jawabnya dengan senyum lirih yang cukup hangat untuk meluluhkan musim dingin sekalipun.

Raina menahan senyum, memainkan ujung kemeja Aditya dengan jari-jarinya. “Aku maafkan... tapi ada syaratnya.”

Alis Aditya langsung mengernyit penasaran. “Apa?”

Raina mendongak, matanya bersinar lembut seperti cahaya matahari yang menembus kabut.

“Setelah mandi... temani aku minum teh di taman belakang. Kita duduk di bangku kayu itu, yang di bawah pohon jepun. Melihat matahari tenggelam... sambil mencium wangi bunga yang sedang bermekaran. Aku ingin menghabiskan sore ini denganmu. " bisik Raina , manja.

Aditya menatap istrinya lama. Dada yang tadi sesak, kini terasa lapang. Ia mengangguk pelan.

“Deal,” katanya, lalu mengecup kening Raina lama sekali, seperti ingin menanamkan janji yang tak diucap.

Raina tersenyum, memejamkan mata sejenak.

Sore ini mungkin tak sempurna. Tapi bersama orang yang tepat, bahkan langit kelabu pun terasa lebih terang.

Langit sudah mulai menggelap. Warna jingga berganti menjadi ungu tua. Teh mereka tinggal seteguk. Raina masih bersandar di bahu Aditya, namun terasa ada sesuatu yang menggantung di udara—sesuatu yang belum selesai.

Aditya menarik napas dalam, lalu berkata pelan, seperti seseorang yang akhirnya siap membuka pintu yang lama dikunci.

"Kau pernah bertemu momi? " tanya Aditya tiba-tiba.

Raina mengangguk.

Aditya tersenyum nanar. "apa pendapatmu soal dia? "

"Mirip seperti mas, dari caranya bersikap,menatap dan wajah tenang namun dingin semuanya sangat mirip dengan, mas"

"Mirip saja tidak cukup untuk suatu hubungan.Nyatanya kami asing seperti tidak ada ikatan.

Aditya melanjutkan, matanya menatap lurus ke taman yang mulai dibungkus senja.

"Saat Mas remaja... seharusnya itu masa di mana segalanya terasa lengkap. Orang tua, rumah, makan malam bersama. Tapi semua itu berubah... hanya dalam satu malam."

Ia menelan ludah, pelan-pelan.

"Mas masih ingat... malam itu mereka bertengkar hebat. Suara keras, kata-kata yang seharusnya tidak pernah diucapkan di depan anak. Setelah itu, semua runtuh. Ibuku memilih pergi. Ayah menyusul beberapa minggu kemudian. Tidak ada yang tinggal untukku... kecuali Eyang Laksmi."

Raina mengangkat kepalanya, menatap wajah Aditya dari samping. Ekspresinya tetap tenang, tapi Raina bisa melihat luka yang belum sepenuhnya sembuh di balik sorot matanya.

"Dan Mas tinggal bersama eyang?" tanyanya hati-hati.

Aditya mengangguk.

"Beliau satu-satunya yang menganggap Mas bukan beban. momi... terlalu sibuk mengejar apa yang ia sebut 'hidupnya sendiri'. Dan ayah—entah di mana. Kabar terakhir, dia sudah punya keluarga baru di luar negeri."

Ia tertawa kecil, namun tanpa tawa. "Lucu, ya? Dua orang dewasa memilih pergi dari rumah yang mereka bangun bersama, dan meninggalkan anak yang masih belajar memahami dunia."

Raina menggenggam tangan suaminya. Kuat dan penuh empati.

"Mas pasti sangat marah saat itu."

Aditya menggeleng pelan. "Tidak. Aku tidak sempat marah. Aku terlalu sibuk belajar bertahan. Lama-lama... aku terbiasa. Sampai akhirnya, aku benar-benar kehilangan rasa itu. Marah, kecewa, bahkan rindu."

Ia memalingkan wajah ke arah Raina.

"Jadi, kalau aku terlihat seperti tidak punya hubungan dengan ibuku... itu bukan karena aku membencinya. Aku hanya... tidak mengenalnya lagi. Terlalu banyak tahun, terlalu banyak jeda."

Raina menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca, namun tetap tersenyum hangat.

"Jangan selalu merasa sendiri, ada aku," Raina menggenggam erat tangan suaminya.

Aditya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, tapi mantap, "Terima kasih... sudah hadir, "

Lalu ia meraih tangan Raina, dan menggenggamnya seperti pegangan hidup.

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!