Dul mengerti kalau Bara bukan ayah kandungnya. Pria bijaksana yang dipanggilnya ayah itu, baru muncul di ingatannya saat ia duduk di bangku TK. Namanya Bara. Pria yang memperistri ibunya yang janda dan memberikan kehidupan nyaman bagi mereka. Menerima kehadirannya dan menyayanginya bak anak kandung. Ibunya tak perlu memulung sampah lagi sejak itu. Ibunya tak pernah babak belur lagi. Juga terlihat jauh lebih cantik sejak dinikahi ayah sambungnya.
Sejak saat itu, bagi Dul, Bara adalah dunianya, panutannya, dan sosok ayah yang dibanggakannya. Sosok Bara membuat Dul mengendapkan sejenak ingatan buruk yang bahkan tak mau meninggalkan ingatannya. Ingatan soal ayah kandungnya yang merupakan terpidana mati kasus narkoba.
Perjalanan Dul, anaknya Dijah yang meraih cita-cita untuk membanggakan ayah sambungnya.
*****
Novel sebelumnya : PENGAKUAN DIJAH & TINI SUKETI
Cover by @by.fenellayagi
Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
022. Rindu Ibu
“Mbah … Ibu mana? Kok, Ibu enggak dateng-dateng? Telepon Ibu, Mbah ….”
Untuk kesekian kali, Dul mendatangi Mbah Lanang dan menanyakan keberadaan ibunya. Biasanya, tiga hari adalah waktu terlama buatnya menanti sang ibu. Tidak pernah lebih. Namun, kali itu sudah hampir seminggu. Sudah terlalu lama.
“Sabar. Ibumu lagi sibuk. Nanti juga bakal ke sini.” Jawaban Mbah Lanang sama dengan sebelum-sebelumnya. Selalu itu. Ibunya sibuk dan akan segera datang. Tapi entah kapan.
Sejak kejadian malam itu, Dul jadi memiliki kebiasaan baru. Setiap selesai mandi sore, ia pergi ke Polsek untuk menanyakan Bara. Dan setiap menerima jawaban yang sama, bahwasanya Bara tidak berada di sana, Dul akan berjalan ke SPBU yang berada di sebelah Polsek. Ia menghabiskan waktunya dengan duduk di tangga outlet ayam goreng SPBU. Melamun menatap tiap kendaraan yang keluar masuk SPBU. Membesarkan mata tiap melihat sepeda motor besar berwarna merah yang diharapkannya sebagai Bara yang datang menjemput.
Selama duduk di tangga outlet ayam goreng itu, beberapa kali Dul mendapati dirinya diberi uang oleh pengunjung. Ada yang memberinya lembaran uang kertas langsung ke pangkuannya. Ada juga yang mencampakkan beberapa uang logam sembari lewat. Uang-uang itu tak pernah dibawanya pulang. Selalu ada anak-anak jalanan yang mengakui sebagai milik mereka. Seperti kejadian hari itu.
“Mana uang yang dikasi ke kamu? Udah dapet berapa? Kamu anak baru, kan, di sini? Belum boleh ambil bagian.” Seorang anak yang bertubuh lebih besar dari Dul menengadahkan tangan meminta uang yang diberikan orang pada Dul.
Tanpa mengatakan apa pun, Dul menggeser duduknya dan menyerahkan semua uang yang diberikan orang padanya.
“Ini udah semuanya?” tanya anak laki-laki itu. Dul mengangguk. “Oke kalau gitu,” sambungnya lagi.
“Jangan lupa bagiin ke adikmu,” ucap Dul datar, memandang seorang balita perempuan yang sejak tadi dipandangnya duduk di tepi taman SPBU bersama anak laki-laki itu.
Anak laki-laki itu gantian bungkam tak mengatakan apa pun. Tangannya meraup semua uang dari tangga. Mengantonginya, lalu pergi.
Merasa sudah cukup lama berada di depan outlet ayam goreng, Dul meninggalkan SPBU dan berjalan menuju gang rumahnya.
Jika sebelumnya Dul merasa bahwa aturan ibunya melarang bermain dengan anak-anak gang terasa berlebihan, harusnya ia kini bisa merasa lega. Hampir seminggu ia bebas berkeliaran. Bermain dengan anak mana saja dan sampai jam berapa pun, tak ada yang mencarinya. Mbah Wedok dan Mbah Lanang tidak terlalu mempermasalahkan selama ia tetap pulang ke rumah.
Namun, ternyata kebebasan itu membuatnya semakin kesepian dan merasa tidak diinginkan oleh siapa pun. Ia memang kehilangan Bara dan menginginkan pria itu menjadi ayahnya. Tapi di atas semua keinginannya itu, ia hanya ingin bertemu ibunya. Ingin bersama ibunya, dengan atau tanpa Bara.
Bu … aku kangen. Apa Ibu enggak kangen aku?
Tiba di depan pagar kayu, pintu depan sedang terbuka. Suara Mbah Lanang dan Mbah Wedok terdengar keras dan bersahutan.
Berantem lagi ….
Siapa yang tak bosan, pikirnya. Hampir setiap hari sejak ibunya tak menampakkan batang hidung, kedua orang tua ibunya selalu bertengkar. Mbah Wedok yang jarang bicara, sekarang sering menjawab perkataan Mbah Lanang.
Dul duduk di tembok batu yang pernah didudukinya bersama Bara.
“Jam segini baru bangun dari tidur siang, tidur malemnya jam berapa lagi? Padahal udah dibilang jangan sering begadang. Di warung hampir seharian, tapi jengukin Dijah enggak mau. Alasannya masih pusing!” Suara Mbah Wedok kini terdengar mendominasi.
Jengukin Ibu?
Sahutan Mbah Lanang, langsung terdengar. “Aku memang masih pusing. Di sana, Dijah, kan, diobati. Ngapain aku ganggu? Bisa-bisa dia makin stres kalau liat aku dateng. Aku khawatir dia gila. Mau sama siapa anaknya kalau ibunya gila?”
Ibu stres? Gila?
“Itu anakmu, Pak! Anak bungsu. Dari lima anakmu, hidup Dijah yang paling melarat. Apa dia harus kerja ke luar negeri kayak dua mbakyu-nya? Ngasi kamu uang tiap bulan biar kamu seneng?”
“Si Fredy udah masuk penjara karena laki-laki yang naik motor merah itu. Kamu pikir kalau Fredy masuk penjara, semuanya bisa beres? Nyatanya enggak, kan? Dijah stres, jadi gila kayak dulu. Kalau udah gitu, anaknya siapa yang nanggung?”
Dulu Ibu gila?
Dul menunduk. Merapatkan dadanya dengan paha dan kepalanya turun menatap tanah. Perhatiannya tertuju pada sehelai daun mangga kering. Ia mengoyak daun dan menyisakan tulang daun itu hingga berbentuk seperti lidi. Jemarinya mulai membentuk lingkaran di tanah. Berulang-ulang.
Ibu pernah gila? Gila? Enggak inget apa-apa? Enggak inget aku? Itu alasan Ibu belum pulang?
Kata gila itu membuat pikirannya singgah pada seorang pria di simpang jalan. Pria yang selalu berjalan jauh tanpa alas kaki, berhenti untuk mengais sampah dari tong, dimarah-marahi pedagang kaki lima, diolok-olok dan dilecehkan anak jalanan.
“Enggak mungkin Ibu gila,” bisik Dul. Air matanya jatuh ke tanah. Tepat di tengah lingkaran yang sedang digambarnya. Di kegelapan malam, di depan tanaman pagar teh-tehan, ia menunduk sendirian. Tak mengindahkan dengung dan gigitan nyamuk.
“Aku rindu Ibu,” ucap Dul lagi. Kali ini ia menyeka air matanya dengan lengan kaos. Lalu, cahaya dan suara sepeda motor yang sudah lama tak didengarnya, perlahan mendekat.
Dul menyipitkan mata seraya menyeka air matanya cepat-cepat. Melihat sepeda motor besar berwarna merah berhenti di dekat kakinya, Dul mengerjap. Air mata yang sudah lama ia tahan, keluar berdesakan.
“Om Bara …,” ucap Dul, berdiri dari tembok batu dan menghambur memeluk pinggang pria yang bahkan belum sempat menurunkan standar motornya.
“Om kelamaan, ya? Maafin Om, ya, Dul ….”
Dul melepaskan tangis sambil memeluk pinggang pria yang bukan siapa-siapanya. Bara memeluk punggungnya masih dengan helm yang belum sempat dilepaskan. Membiarkan Dul menumpahkan segala kesedihan yang dipendamnya.
“Udah? Gimana? Kita bisa ngobrol?” tanya Bara saat Dul mengangkat wajah.
“Om Bara ke mana aja?” tanya Dul.
“Ayo, naik ke motor. Kita muter-muter sebentar buat cari restoran buat makan malam. Udah laper, kan?”
“Udah laper, tapi Mbah ….” Dul menghentikan ucapannya.
“Nanti Om Bara yang ngomong sama Mbah,” ujar Bara.
“Om Bara enggak takut sama Mbah?” Dul memelankan suaranya.
“Mbah Dul enggak nyeremin. Kenapa harus takut? Ayo,” ajak Bara, mengulurkan tangannya.
Dul menyambut uluran tangan Bara dan menginjak sadel boncengan. “Helm merah jambu punya Ibu mana?” tanya Dul dari belakang.
Bara tertawa kecil. “Helm Ibu ketinggalan di rumah. Malem ini kita makan deket-deket sini aja. Yang penting kita bisa ngobrol berdua. Bener, nggak?”
“Iya, Om. Enggak apa-apa.” Dul kembali mengusap wajahnya untuk memastikan wajahnya kembali bersih tanpa air mata.
“Kangen Ibu, ya?” tanya Bara,
Dul terkesiap sejenak. Bara menggamit kedua tangannya dan meletakkannya ke pinggang. “Pegangan yang kenceng, ya. Kita berangkat sekarang,” ucap Bara, menepuk punggung tangannya lalu mulai melajukan motor.
“Om Bara udah ketemu Ibu? Ibu di mana?” teriak Dul dari belakang.
“Ibu lagi ada kerjaan ke luar kota. Tapi enggak lama, kok. Ibu pasti pulang secepatnya. Soalnya Ibu bilang kangen banget sama Dul."
“Ibu kerja ke luar kota?”
“Iya.”
“Berarti Ibu enggak gila, kan?”
Pertanyaan itu tak langsung dijawab oleh Bara. Pria itu terdiam beberapa saat. Tangan Dul yang berada di atas perut Bara bisa merasakan kalau pria itu menarik napas panjang sebelum kembali bicara. “Siapa yang ngomong gitu? Ibu lagi ada kerjaan. Om kemarin ikut nganter. Kalau mau tau tentang Ibu, jangan tanya orang lain. Jangan denger dari orang lain. Kamu harus tanya Om. Denger?”
“Denger, Om!”
“Kamu percaya Om, kan?”
Dul mengeratkan pelukannya di pinggang Bara. “Percaya, Om.”
Bara menepuk-nepuk punggung tangannya. “Bagus. Om juga percaya sama Dul.”
To Be Continued