Membaca novel ini bisa menyebabkan baper akut, kesel, geregetan, emosi tingkat tinggi, juga sedih karena mengandung banyak bawang yang juga bikin nyesek. Yang lemah hati lebih baik menyingkir. Takutnya nggak akan kuat. Tapi semua akan edan pada waktunya, eh salah, maksudnya akan manis pada waktunya. Jadi, bijaklah dalam memilih bacaan.
Ini adalah season kedua dari novel 'SUGAR'. Kini cerita beralih pada keturunan mereka, Dygta Hanindiita.
Dygta berusaha keras meredam perasaannya kepada Arfan, asisten dari ayah, sambungnya, sekaligus sahabat ibunya.
Usia mereka yang terpaut cukup jauh membuat segalanya terasa semakin sulit. Terlebih lagi, status Arfan yang sudah beristri dan memiliki satu anak balita.
Namun tugas Arfan yang diberi tanggung jawab penuh oleh Satria untuk menjaga Dygta hingga gadis itu beranjak dewasa, membuat mereka berdua semakin dekat.
Keadaan istrinya yang koma pun menambah segalanya menjadi semakin rumit.
"Jangan gila Arfan! dia sudah seperti anakmu sendiri!"
follow author di
ig @tiyanapratama
fb FitTri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fitTri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Menyukainya?
Warning!
Part paling bawah mengandung adegan 21+. Bagi yang menjalankan ibadah puasa, disarankan dibaca malam sehabis taraweh lagi ya. Bahaya!
*
*
Satria berdiri di teras dengan kedua tangannya yang bersedekap. Menyambut kedatangan anak dan istrinya yang baru saja tiba. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 8 malam.
"Malam, pih. Dygta yang turun pertama kali dari mobil milik Arfan, sambil membawa Amara yang terlelap dalam pelukannya.
"Malam, kak." jawab Satria.
Pintu mobil yang ditumpangi Sofia bersama ketiga anak laki-lakinya pun terbuka. Tampak perempuan itu turun lebih dahulu, kemudian terlihat menarik tangan salah satu putranya. Dimitri yang hampir tertidur pun turun dengan malas. Diikuti kedua adik kembarnya yang juga sudah dalam keadaan ngantuk berat.
Satria berjalan menghampiri mereka.
"Maaf kami terlambat, sayang." Sofia menyunggingkan senyum, lalu memeluk Satria dengan hati berdebar. Melihat raut wajah suaminya itu yang agak tidak enak dilihat. Satria mendelik sekilas.
"Ngantuk papi... " keluh Daryl yang merentangkan kedua tangannya dari dalam mobil. Yang segera disambut Satria dengan menggendong salah satu putra kembarnya itu keluar.
"Darren juga." hal yang sama dilakukan Darren.
"Darren sama mama ya?" Sofia menyela dari belakang Satria.
"Nggak, mau sama papi." tolak bocah itu, tak mau kalah dari kakak kembarnya.
Sofia mencebik ketika suaminya dengan cepat menggendong anak kembar mereka, lalu dengan cepat masuk kedalam rumah tanpa bicara sepatah kata pun.
Mati aku! kenapa mengobrol sampai lupa waktu, tadi? batinnya, sambil menggelengkan kepala. Lalu mengikuti langkah suaminya masuk kedalam rumah.
*****
"Dygta?" panggil Arfan dari bawah tangga ketika gadis itu hendak menuju kamarnya di lantai dua.
Dygta memutar tubuhnya, "Ya om?" jawabnya, yang masih memeluk Amara gang terlelap.
"Ara, ..." ucap Arfan, seraya mengulurkan kedua tangannya.
"Oh, mau dibawa pulang? kasian, udah tidur." ucap Dygta.
Arfan menatap gadis itu dalam diam yang berdiri di tangga memeluk putrinya. Balutan pakaian yang sama membuat mereka tampak seperti ibu dan anak. Ditambah wajah Dygta yang masih tampak kekanak-kanakan membuat mereka berdua terlihat hampir mirip.
Arfan tersadar, lalu menggelengkan kepala dengan cepat.
"Pulang saja, kasihan mamanya." jawab Arfan yang berusaha mengingat keberadaan istrinya dirumah.
"Oh, ..." Dygta tiba-tiba mengeratkan pelukannya pada gadis kecil itu. Tubuhnya pun seketika menegang.
"Ayo, sudah malam. Tante Mytha pasti menunggu kami." ucap Arfan lagi.
Kenapa ada rasa tak rela di dalam hatinya mendengar pria di bawah sana menyebut nama mama dari anak yang ada dalam gendongannya ini?
Dygta menggigit bibir bawahnya, lalu kembali menuruni tangga dengan pelan.
Dan ketika dia tiba di tangga terakhir, gadis itu melonggarkan rangkulan tangannya dari tubuh gadis kecil itu.
Arfan merangsek, lalu kembali mengulurkan tangannya, mencoba meraih putrinya yang betah terlelap di pelukan Dygta. Tubuh mereka berdua hanya berjarak beberapa jengkal saja. Membuat Dygta merasa dadanya hampir saja meledak ketika pria itu merebut anak kecil dalam pelukannya.
"Mmm ... Ara biar nginep aja disini lah, om." ucap Dygta, yang berusaha menahan Amara agar tetap bersamanya.
"Tidak bisa." tolak Arfan.
"Kasian ... " Dygta mendongak.
Arfan melirik, membuat gadis itu menahan napasnya untuk beberapa detik.
"Sepertinya malam ini kamu harus mempersiapkan banya hal. Bukannya besok kamu pergi camping? keberadaan Ara akan merepotkan kamu." Arfan berhasil merebut Amara dari pelukan Dygta.
"Nggak om, ..."
"Kami pamit." seulas senyum tersinggung di bibir Arfan, yang lagi-lagi membuat Dygta hampir lupa bernapas.
Tuhan, aku sudah gila!
Pria itu mundur beberapa langkah, lalu memutar tubuhnya dan keluar dari rumah besar atasannya dengan perasaan yang tak dapat dia mengerti. Hatinya mendadak berdebar tak keruan.
Sementara Dygta membeku di tangga terakhir, menatap punggung kokoh pria itu hingga dia menghilang dibalik pintu.
Ada apa dengan kamu ini, Dygta? Dia itu om Arfan! Asisten papi, dan sahabat mama! tahan hatimu! gumam Dygta, dalam hati. Seraya menyentuh dada kirinya yang berdegup dua kali lebih kencang setiap kali mengingat pria itu di dalam pikirannya.
*
*
*
Amara benar-benar tak terganggu. Gadis itu tetap terlelap hingga mereka berdua tiba dikediaman Arfan ketika malam hampir larut. Pria itu langsung membaringkan Amara di kamarnya di lantai dua.
"Kamu capek ya?" gumamnya, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi wajah putrinya itu. Lalu mengusap pipi gembil Amara yang mengemaskan.
Gadis kecil itu menggeliat.
Arfan terkekeh pelan, lalu membenahi selimutnya dan memastikan putrinya itu benar-benar nyaman.
******
Arfan menghempaskan tubuh tingginya pada sofa di dekat tempat tidur, masih dalam keadaan setengah basah berbalut bathrobe miliknya. Merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sambil memejamkan mata.
Berapa detik berikutnya dia membuka matanya kembali ketika teringat sesuatu.
Dia meraih ponsel yang diletakkannya diatas tempat tidur. Lalu membuka beberapa aplikasi.
Ujung ibu jarinya berhenti menggeser layar untuk beberapa saat, kedua tangannya bahkan bergetar ketika menatap aplikasi yang hampir saja dia buka.
Arfan ragu, namun rasa penasaran lebih mendominasi. Terlebih lagi, perintah Satria sudah seperti doktrin baginya. Walaupun hatinya menentang, dan otak nya menolak, tetapi tubuhnya mengikuti perintah tersebut.
Dan klik, ... ujung ibu jarinya menyentuh layar ponsel, yang kemudian membuka aplikasi cadangan yang baru dia unduh tadi siang sesaat setelah dirinya berhasil menghubungkan ponselnya dengan ponsel milik Dygta.
"Kita lihat ada rahasia apa di ponselmu, Dygta." gumamnya.
"Ya Tuhan, pria itu telah membuat aku menjadi penguntit seorang gadis remaja!" gerutunya, seraya membuka beberapa aplikasi yang terdapat pada ponsel gadis itu.
Klik, scrol.
Klik, scrol.
Klik, scrol.
Mata Arfan membelalak dengan napas nya yang terhenti kala dalam beberapa aplikasi dia menemukan beberapa foto pria yang mirip dengan dirinya. Pria tinggi mengenakan jas abu-abu.
Tunggu! Bukan mirip, tapi itu memang dirinya.
Arfan ingat persis kapan dan dimana latar belakang yang ada di dalam foto tersebut.
Halaman depan sebuah rumah besar, taman, juga beberapa mobil yang berderet yang sangat dia kenal. Yakni ketika dia menjemput gadis itu bersama Dimitri untuk berangkat ke sekolah di suatu pagi.
Rumah Satria, atasannya yang sudah lebih dari sepuluh tahun dia ikuti.
"Semoga aku salah!" gumamnya, yang terus menggeser layar, dan semakin banyak hal yang dia temukan di dalam sana.
Hanya ada dua pria dewasa yang ada di galeri ponsel gadis itu. Satria, yang berfoto bersama anak istrinya, dan dia bersama Ara. Dan hanya dialah satu-satunya pria ber jas abu-abu yang ada di dalam sana. Gambar dalam posisi melangkah sendirian di halaman depan.
"Astaga!" Arfan mengusap wajahnya kasar.
Apa maksud semua ini, Dygta?
Dan semakin lama dia masuk kedalam aplikasi milik gadis itu, maka semakin banyak pula lah yang dia ketahui. Tentang kegalauannya beberapa minggu belakangan, perasaannya, dan segala hal pribadi yang ada pada gadis itu. Yang sukses membuat Arfan dan dunianya yang beberapa tahun sepi tergoncang sejak malam itu.
*
*
*
*
Sofia mengintip dari celah pintu ruang ganti yang terbuka sedikit, setelah dia selesai membersihkan diri. Melihat apakah suaminya masih terjaga ataukah sudah terlelap setelah pria itu mengantarkan ketiga putranya ke kamar mereka sepulangnya dari mall beberapa saat yang lalu. Dan belum berbicara kepadanya sepatah kata pun.
Kenyataannya, Satria masih terjaga, dengan beberapa dokumen berserakan dan laptop yang menyala di atas tempat tidur mereka.
"Hhhh.... " perempuan itu menghembuskan napasnya secara kasar. Dia tahu, suaminya sedang melakukan protes tanpa kata-kata. Dan itu lebih mengerikan daripada omelan yang jelas terdengar dengan telinganya.
"Baiklah, tuan. Kita lihat apakah kamu akan meneruskan protesmu itu?" gumam Sofia, yang kembali ke bagian dalam ruang gantinya.
Mengeluarkan sesuatu dari dalam peperbag kecil yang dibawanya sejak dari mall tadi siang.
Dia menatap dirinya di cermin. Menyisir rambutnya, dan merapikan penampilannya, lalu menyemprotkan parfum yang sangat disukai suaminya di beberapa bagian tubuhnya. Dileher, belakang telinga, di dua pengelangan tangan dan di belahan dadanya, terakhir dia semprotan juga di paha bagian dalamnya.
"Sempurna." ucapnya, menatap puas dirinya di cermin.
Sofia menarik jubah tidurnya yang menggantung di capstock dekat lemari, lalu engenakannya, dan segera keluar dari ruangan besar itu.
"Ehm ... " dia berdeham untuk melegakan tenggorokkannya yang terasa kering. Berjalan pelan ke arah tempat tidur dimana suaminya berada, yang masih sibuk dengan pekerjaannya.
Tepatnya, menyibukkan diri dengan pekerjaannya yang seharusnha dia selesaikan besok.
"Sayang, kamu belum selesai?" Sofia menyapa, berusaha menarik perhatian.
"Hmm ..." Satria menjawab dengan gumaman. Dia masih fokus dengan laptopnya.
"Masih banyak?" tanyanya, yang mendekat ke arah pria itu. Kini mereka hampir tak berjarak. Sofia berdiri di samping Satria yang duduk di pinggir tempat tidur.
"Hmmm ..." gumam Satria lagi, yang mencoba fokus ketika aroma manis menguar di indera penciumannya. Dia melirik sekilas.
Terlihat istrinya yang mengenakan jubah tidurnnya yang berwarna hitam. Lalu dia kembali pada pekerjaannya.
"Sayang, bisakah kamu selesaikan besok?" Sofia lebih mendekat lagi, lalu menyentuh pundak pria itu yang masih tak merespon dirinya.
"Tidak bisa." jawab Satria, singkat.
"Tapi ini sudah malam. Lagi pula, besok hari sabtu kan? kamu bisa melanjutkannya lagi?"
"Aku harus menyelesaikannya malam ini, tanggung aku kerjakan sejak tadi."
"Aku tahu, tapi bisakan kamu melanjutkannya besok saja?"
Satria menjatuhkan dokumen ditangannya dengan keras. "Kenapa? apa kamu terganggu dengan pekerjaanku ini?" Satria mendongak.
"Ti-tidak, " Sofia terkejut. "A-aku hanya mengkhawatirkan kamu. Sebagian kamu bekerja di kantor, lalu setelah pulang kerumah juga kamu harus melanjutkan pekerjaan. Apa kamu tidak lelah?" bujuk Sofia.
"Aku sudah terbiasa. Lagipula hanya ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat menunggu istriku pulang setelah berkeliaran diluar sana." sindir Satria, dengan suara lembut namun tajam menusuk.
Sofia menggigit bibir bawahnya dengan keras. "Aku tidak berkeliaran, aku membawa anak-anak jalan-jalan, ingat?"
"Hmm, dan jangan lupa dengan agendamu bertemu dengan sahabatmu sementara anak-anak kamu tinggalkan bersama Arfan di arena bermain." sergah Satria.
"Aku tidak meninggalkan mereka. Kan memang mereka ingin kesana? kamu lupa ya kalau anak-anak pasti mengunjungi area bermain itu kalau kita berkunjung kesana?"
Satria terdiam.
Benar juga sih.
"Tapi kamu terlambat pulang. Dan pertemuan dengan sahabatmu itu yang membuat kamu lupa waktu." Satria berujar.
"Aku tahu, maafkan aku." Sofia memasang wajah penuh penyesalan.
"Hmm ...aku tidak suka kamu seperti itu." Satria dengan wajah datar.
"Aku tahu, maaf." Sofia mengulang kalimatnya.
"Tapi pasti kamu akan mengulanginya lagi." pria itu menyipitkan matanya.
"Tidak akan, aku janji." Sofia menggelengkan kepala.
"Hmm ..." Satria mengembalikan perhatiannya pada laptop dan dokumen.
"Sayang, ..." Sofia mengulurkan tangannya untuk meraih dagu pria itu, yang tanpa di sangkanya, ternyata Satria menepis tangannya, lalu menghindar.
"Tidurlah, aku harus menyelesaikan ini." ucap pria itu, yang kembali mengetikkan sesuatu pada keyboard laptopnya.
"Tapi sayang, ...
"Tidurlah, Fia!" sergahnya lagi.
"Hmmm, ..." Sofia berpikir. Lalu ide cemerlang melintas di kepalanya.
"Hey!" Satria berteriak ketika perempuan itu merebut laptop di depannya, menjauhkan benda tersebut dari hadapannya.
"Aku belum selesai!" lanjut Satria yang bangkit dari duduknya.
"Sudah aku bilang, tidak boleh ada pekerjaan di kamar ini." Sofia menekan sesuatu, lalu menutup laptop tersebut sekaligus.
"Fia, kamu akan membuat perusahaan kita hancur jika pekerjaanku barusan hilang dari laptop."
"Tidak akan. Aku sudah menyimpannya ke dalam file. Aku tidak sebodoh itu, tahu!" dia mengarahkan telunjuknya ke arah Satria. Lalu memasukkan laptop milik suaminya ke dalam lemari tak jauh dari tempat tidur mereka.
"Fia, ...
Perempuan itu menggeleng sambil tersenyum, lalu kembali menghampiri tempat tidur dan membereskan semua benda yang ada di sana, kembali memasukannya ke dalam lemari, lalu menguncinya rapat-rapat.
"Sudah aku bilang, tidak ada pekerjaan di tempat tidur, jika kamu masih ingin bekerja, keluarlah dari kamar ini!" Ucap Sofia, dengan tegas. Walaupun jantungnya berdegup cukup kencang setelah mengancam suaminya sedemikian rupa.
"What? kamu mengusir aku? juga mengancam? " Satria dengan seringaian di bibirnya.
"Tidak. Aku hanya mengatakan jika kamu masih ingin bekerja, keluar lah. Jangan bawa pekerjaanmu ke dalam sini. Aku juga tidak suka." katanya, mencoba menggertak.
"Hmmm ..." Satria mendekat, "Kamu tidak menyukai hal yang membuat hidup kita mudah seperti ini, humm?" dia menghapus jarak diantara mereka. Sofia bahkan hampir menempelkan punggungnya pada pintu lemari di belakangnya.
"Aa-aku, ... hanya ... tidak suka kamu... mengalihkan perhatian ketika sedang bersamaku di kamar ini."
"Apa?" Satria menjengit.
"Aku ... mmm ...karena aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu." Sofia kini merendahkan suaranya.
"Oh ya? apa itu?" Satria melipat kedua tangannya di dada. Dia mengulum senyum.
"Ini ..." perempuan itu menarik tali jubah tidurnya, lalu menarik ujung kain itu yang semula saling menempel. Meloloskan benda tersebut dari tubuh indahnya yang kini hanya berbalut sepasang pakaian dalam berenda berwarna putih tipis yang menerawang.
Satria menelan ludahnya kasar, jakunnnya naik turun dengan cepat.
Perempuan ini selalu memiliki cara lain untuk membuat kegusarannya memudar dengan cepat.
"Aku terlambat pulang karena ini. Kamu tahu, mencari benda seperti ini membuat aku lupa waktu." Sofia mendorong tubuh tinggi Satria hingga pria itu mundur ke belakang, "Banyak ha yang aku temukan disana, dan rasanya aku ingin membeli semuanya." dia mendorong Satria dengan keras hingga pria itu jatuh terduduk di atas tempat tidur.
"Hmm ... lalu, kenapa kamu tidak membeli semuanya? apakah kartu kredit yang aku berikan tidak mampu membayar semuanya?" Satria menyeringai.
"Kartu kreditmu bisa membeli segala yang ada di mal itu jika aku mau." Sofia mendekat, lalu naik ke pangkuan Satria. Kedua tangannya merayap di dada pria itu, dan jemari lentiknya melepaskan kancing piyama suaminya. Lalu meloloskan kain yang menempel di tubuh kekarnya dengan mudah.
"Lalu kenapa kamu tidak melakukannya?" Satria semakin menyeringai, menatap wajah sensual di depannya. Rasanya dia ingin segera menerkamnya saat itu juga.
"Yang aku butuhkan hanya ini, bukan?" Sofia menyentuh dadanya yang membusung dibalik kain tembus pandang itu, yang seketika mencuri perhatian Satria.
"Kamu suka?" lanjutnya, dengan senyum dan kerlingan manja menggoda.
"Hmm ... kamu curang."
"Itu bukan jawaban yang ingin aku dengar." Sofia meraih kedua tangan Satria, lalu membawanya untuk menyentuh dadanya yang masih ranum terawat itu.
Satria kembali menelan ludahnya dengan susah payah ketika telapak tangannya menyentuh benda kenyal nan lembut dibalik kain tipis itu.
"Apa kamu menyukainya?" Sofia mengulangi pertanyaan.
Satria kemudian mendekatkan tubuhnya, wajah mereka kini hanya berjarak sejengkal saja.
"Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Kamu terlihat sangat cantik." jawab Satria, setengah berbisik.
"Jadi ... apakah kamu masih marah?"
"Aku tidak marah."
"Tapi rekasimu saat aku pulang tadi sepertinya marah?"
"Aku hanya tidak suka kamu terlambat pulang seperti tadi. Membamuatku sangat khawatir."
"Benarkah?"
"Hmm ..."
"Baiklah papa bear... kalau kamu tidak marah kita...
"Kamu cerewet!" Satria meraih bibir Sofia, memagutnya dengan penuh perasaan. Kedua tangannya meremat dua gundukan indah yang sejak tadi membuatnya begitu gemas hanya dengan melihatnya.
"Emmmhh ..." Sofia melenguh saat sentuhan suaminya mulai tak terkendali. Tubuhnya menggeliat diatas pangkuan Satria ketika pria itu menyusuri setiap lekukan tubuhnya.
Satria menarik turun kain tipis yang menutupi dada indah Sofia, merematnya lagi seperti sebelumnya, lalu mempermainkan puncaknya yang sudah mencuat menggemamaskan. Kemudian Satria menghisapnya bergantian.
Perasaan luar biasa indah segera merambat keseluruh tubuh Sofia, membuatnya bergerak tak karuan. Desahan mulai keluar dari mulut perempuan itu, yang terdengar erotis di telinga Satria. Membuatnya merasa tak sabar lagi.
Dengan sekali tarikan, pria itu merobek kain yang masih menutupi inti tubuh Sofia. Lalu menariknya hingga terlepas, dan melemparnya ke sembarang arah.
Sofia menatap nanar benda yang dilempar suaminya untuk beberapa saat. Namun Satria menarik kembali wajahnya untuk mencumbunya lagi.
Lalu kedua tangan pria itu merayap ke bawah, memegang pinggul Sofia, dan mengangkatnya hingga inti tubuh perempuan itu bersentuhan dengan miliknya yang sudah siap tempur entah sejak kapan. Lalu menurunkannya secara perlahan.
"Ah, sayang!" Sofia memekik ketika Satria memasuki dirinya. Kedua tangannya berpegangan erat pada pundaknya.
"Move, sayang!" bisik Satria.
Lalu berlangsunglah segalanya seperti yang selalu terjadi diantara mereka. Tubuh yang sudah saling bertautan itu bergerak saling memuaskan. Disela cumbuan, desahan dan erangan yang mengudara, keduanya saling menyenangkan. Membuat mereka melupakan kegusaran yang dirasakan sebelumnya, yang kemudian berubah menjadi hasrat yang menggebu-gebu.
Yang terus semakin meningkat seiring waktu. Saling mengejar dalam usahanya mendaki kenikmatan yang tidak bisa dijabarkan dengan kalimat apapun. Yang pada akhirnya, setelah beberapa lama, keduanya merasakan sesuatu yang semakin mendesak. Yang kemudian meledak di hentakan terakhir yang begitu keras. Keduanya melenguh bersamaan dan saling merangkul dengan kencang.
*
*
Kalian suka?