Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesonamu
"Astagfirullah....tak seharusnya aku bersikap seperti itu."
Suci termenung diatas sajadah yang masih terhampar. Membaca Al-Quran membuat suasana hatinya membaik. Ia baru sadar, rasa kesal yang menyelimuti hati saat di kantor tak seharusnya ada. Apa haknya untuk kesal atau tidak suka pada kedatangan Winda atau pada pernyataannya mengaku sebagai pacar Nico.
"Ci, makan yuk!" Panggilan Candra di ambang pintu kamar, membuyarkan lamunannya. Suci pun menyahut akan menyusul ke meja makan. Ia segera membuka mukenanya selepas melaksanakan sholat Isya.
"Wah, pas banget hujan-hujan begini makan sayur sop. Ini beli atau kamu masak ?" Candra berseru senang melihat sajian di meja makan. Ada sop ayam dan perkedel kentang, dan kerupuk emping tak ketinggalan.
"Aku yang masak dong. Tadi pulang kerja langsung memasak, bahannya pas ada di kulkas. Stok terakhir ini juga, besok ke supermarket ya bang, kulkas sudah kosong."
Candra menganggukkan kepalanya. Ia terlalu bersemangat menikmati makan malamnya yang sangat menggugah selera baginya. Mereka kini hanya berdua menepati rumah peninggalan mendiang Abi nya itu. Komunikasi dengan Umi tetap terjalin, hampir setiap hari saling berbagi kabar.
"Hm, Bang. Aku mau tanya dong..." Suci menemani Candra di ruang keluarga, menonton tayangan berita update hari ini. Ia bertanya dengan menatap abangnya yang sedang fokus ke layar tv.
"Tanya apa?" sahut Candra tanpa mengalihkan pandangannya.
"Apa abang sudah punya calon istri ?"
Candra langsung menoleh dan mengkerutkan kening mendengar pertanyaan Suci. "Ada apa nih tiba-tiba bertanya itu. Kamu sudah punya pengganti si Rafa ?" Candra memicingkan matanya, menatap Suci.
Suci langsung mendelik, pertanyaannya malah dibalikkan lagi padanya. "Kenapa jadi bahas aku, kan aku nanya soal abang. Selama ini abang belum pernah memperkenalkan teman wanita apalagi calon istri." sewot Suci, membuat Candra tertawa lepas melihat Suci yang gondek.
"Hm. Abang belum memikirkan hal itu jika kamu belum menikah." Kali ini Candra berkata dengan serius. "Abi dulu berwasiat bahwa Abang harus menjaga dan melindungi kamu dan Umi. InsyaAllah kalau untuk Umi, abang merasa tenang karena berada di lingkungan keluarga besar di Aceh."
"Jadi selama kamu belum menikah, abang tidak akan dulu menikah. Abang akan selalu ada untuk menjagamu." Candra mengusap lembut rambut hitam lurus adiknya itu, yang diam karena terharu.
"Bagaimana kalau aku lama dapat jodohnya ? Masa Bang Candra nggak nikah-nikah..." Suci menyenderkan kepalanya di bahu sang kakak.
"Hei, kamu nggak boleh pesimis gitu. Kamu tuh adik abang yang sangat cantik dan baik. Kamu mulai sekarang harus membuka hati untuk pria lain, hapus dan buang nama Rafa dari hatimu!"
"Aku wanita tegar bang. Sejak keputusan saat itu, aku sudah menerima kegagalan menikah sebagai takdir baik untukku. Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya bukan?" Tak ada nada kegetiran dari ucapan Suci. Perkataannya menandakan keyakinan dan optimisme yang kuat, kalau Allah sangat sayang padanya.
"Bagus. Abang setuju dengan pemikiranmu."
****
Saatnya kembali ke rutinitas. Pagi ini semangat Suci lebih baik dari hari kemarin, level ceria di wajahnya naik ke angka 100. Ia sudah menjelma 100 % menjadi Suci yang dulu, yang enerjik dan ceria. Kini, ia berada di teras menunggu abangnya yang sedang memanaskan mobil. Sambil menunggu, Suci menikmati paparan sinar mentari pagi yang menerpa tubuhnya, terasa hangat dan menambah semangat.
"Ayo. Katanya ngajak buru-buru..." Candra yang sudah duduk di kursi kemudi berteriak memanggil Suci yang sedang berjemur dengan memejamkan mata. Suci mengacungkan jempolnya, ia menunggu mobil keluar halaman dulu. Tugasnya menutup pintu gerbang dan menguncinya.
"Assalamualaikum semuanya..." Suci menyapa staf yang dilewatinya dengan senyum cerah secerah mentari, ia tidak berhenti hanya melambaikan tangan sejenak. Karena tugas pertama segera menantinya, membuat kopi.
"Wah bu secan semangat sekali!" seru Bayu setelah menjawab salamnya.
Rinto dan yang lainnya langsung memandang heran ke arah Bayu. "kok bu secan ?" heran Dina.
"Iya, gue mau memberi gelar dia bu secan. Artinya sekretaris cantik!" Bayu tersenyum lebar dengan gelar yang tiba-tiba saja tercetus saat melihat suci menyapa dengan ceria.
"Jangan-jangan lo suka sama dia ya..." Dina menodong Bayu dengan pupen di tangannya, seolah sedang mengintimidasinya.
"Gue normal dong, siapa cowok yang nggak suka sama dia coba ? Apa kalian nggak dengar bisik-bisik di kantor ini, hampir semua cowok membicarakan pesonanya bu secan. Cuma gue tahu diri untuk lebih dari sekadar suka, saingannya boss kita guys...." seloroh Bayu.
"Woi Bayu, elo pagi-pagi sudah bergosip ya! Rere ikut mendekat ke kumpulan tiga orang rekannya itu.
"Mau taruhan apa kalau feelingku benar hmm ?" Bayu menantang teman-temannya untuk bertaruh.
"Gue kasih pulsa 200ribu!" tantang Dina.
"Kalau gue traktir lo ngopi di starbas," jawab Rinto.
"Dari gue cash 200ribu," jawab Rere. "Tapi kalau feeling lo meleset, elo yang harus balikin taruhan kita. Gimana ?" lanjut Rere, kini dirinya yang menantang. Dan kata 'Deal' pun terucap dari keempat orang itu.
****
"Kopinya Pak Nico..." Suci menyimpan gelas kopi di samping laptop yang baru dinyalakan oleh Nico. "Pak Nico, jangan lupa jam 9 ada rapat dengan direksi, aku permisi ya..." dengan riang Suci mengingatkan boss nya itu akan jadwal rapatnya.
"Eh tunggu, Suci!" Nico menahan Suci yang berjalan cepat penuh semangat, sebelum mencapai pintu. Sejak Suci menyapanya saat ia baru tiba, Nico merasa ada yang beda dari penampilan sekretarisnya itu, ia tampak full energy.
"Ada apa, Pak?" Suci kembali mendekat ke meja Nico.
"Eh, aku jadi lupa mau bilang apa..." Nico mendadak gagap dan pelupa. Ia terlalu terpesona melihat manik mata Suci yang berkilat luapan energi.
"Jadi aku harus apa nih pak, berdiri saja disini atau boleh keluar melanjutkan kerja ?" tanya Suci sambil mengulum senyum melihat boss nya yang hanya bengong.
"Ah iya. Lanjutkan saja kerjanya. Kalau sudah ingat, aku panggil kamu lagi.." Nico menatap Suci yang tersenyum menganggukkan kepalanya. Ia tak berhenti menatapnya sampai menghilang di balik pintu. "Aku tuh mau bilang, tetaplah disini Sucita...." Nico mengusap wajahnya dengan kasar. Semakin kesini, ia semakin nyaman dengan kehadiran sekretarisnya itu.
"Sudah lama menjadi sekretarisnya Nico ?" wanita paruh baya yang nampak awet muda, duduk di sofa ruang kerja Nico bersisian dengan Suci. Tatapan dan tutur katanya lembut mencerminkan keanggunan dan kerendahan hatinya.
"Ini minggu kedua saya bekerja disini, nyonya...?" Suci dengan sopan menjawab pertanyaan Bunda devi, Ibunya Nico. Bunda Devi datang saat Nico akan pergi ke ruang rapat, sehingga Nico menyuruh Suci untuk menemaninya dulu.
"Jangan panggil saya nyonya. Panggil Bunda saja ya..." Bunda menepuk pelan bahu Suci yang tampak canggung duduk berdekatan dengan ibunya Nico itu, yang note bene istri dari direktur perusahaan ini.
"Kamu belum menikah kan ?"
Suci menggeleng pelan mendapat pertanyaan seperti itu, "Belum, Bunda."
Jawaban Suci membuat seulas senyum kembali terbit dari bibir Bunda Devi, tatapannya tak pernah lepas menelisik gadis di dekatnya itu, tampak cantik, santun dan alim. Bunda sengaja datang ke kantor karena penasaran, siapa yang menyebabkan perubahan-perubahan positif pada diri Nico, anak bungsunya itu.
"Aku mau ngopi di kantor saja Bun, kopi buatan sekretarisku lebih enak." Bunda terngiang kembali perkataan Nico padanya.
Hm, jadi dia penyebab anakku tak mau lagi dibuatkan kopi di rumah, batin Bunda. Sudut bibirnya kembali tertarik, ia mulai memikirkan sebuah rencana.
Cocok sih...pengusaha emas dan pengusaha hotel 😍