Mursyidah Awaliyah adalah seorang TKW yang sudah lima tahun bekerja di luar negeri dan memutuskan untuk pulang ke kampungnya. Tanpa dia tahu ternyata suaminya menikah lagi diam-diam dengan mantan kekasihnya di masa sekolah. Suami Mursyidah membawa istri mudanya itu tinggal di rumah yang dibangun dari uang gaji Mursyidah dan bahkan semua biaya hidup suaminya dan juga istrinya itu dari gaji Mursyidah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERGI KE KOTA
Mobil berjalan melambat, pak Paiman menoleh ke belakang melihat pada Mursyidah yang tengah melamun.
"Non, ini jalan ke rumah suaminya ya? Apa mau mampir ke sana juga?"
"Eh nggak lah pak! Nanti di ujung sana kita belok kanan!" Mursyidah cepat melihat keluar, jangan sampai mobil pak Paiman bablas sampai ke rumah Gunadi.
Tidak sampai sepuluh menit mereka sampai di depan rumah Kinasih. Wanita yang sedang menyuapi anaknya itu terkejut melihat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya dan lebih terkejut lagi saat melihat Mursyidah yang keluar dari mobil tersebut.
"Aliya!" Pekik Kinasih, lalu menutup mulutnya dengan tangannya.
"Lho, kok kamu kaget melihat aku. Jadi nggak kita main ke mall?" Mursyidah menepuk lengan sahabatnya tersebut.
"Jadi beneran nih ngajaknya?"
"Iyalah.... ajak mbok sama anakmu sekalian!" sahut Mursyidah.
"Makasih ya Aliya... kalau gitu aku sama Cahaya ganti baju dulu, sekalian manggil mbokku di belakang."
Kinasih masuk ke dalam rumah meninggalkan Mursyidah yang berdiri sendirian di teras rumah, sementara pak Paiman menunggu di dalam mobil. Mursyidah mengamati sekelilingnya. Sepi, tidak ada Nurdin yang selalu duduk mengerjakan sesuatu di teras itu. Entah kemana kakak Kinasih tersebut.
"Eeeh...ada tamu!"
Mbok Sarni muncul dari dalam rumah. Wanita itu membawa daun pandan yang sudah jemur untuk dibuat anyaman. Mursyidah tersenyum dan bergegas menyalami ibu sahabatnya itu.
"Mbok sehat?" tanya Mursyidah. Mbok Sarni menganggukkan kepalanya.
"Alhamdulillah sehat. Ini kok Asih nggak menyuguhkan kamu minum? Apa dia tidak tahu kamu datang?"
"Nggak usah mbok saya cuma sebentar, mau mengajak Asih main ke kota. Ayo, mbok juga boleh ikut, kebetulan saya menyewa mobil jadi mbok nggak repot naik turun kendaraan umum," tawar Mursyidah pada Mbok Sarni, ibu Kinasih.
"Terima kasih Aliya... ndak usahlah mbok ikut, mbok sudah tua, lagi pula mbok juga banyak pekerjaan. Biarlah Kinasih dan anaknya saja yang ikut," tolak mbok Sarni.
Kinasih dan anaknya keluar dari dalam rumah dan sudah berganti pakaian. sahabat Mursyidah itu mengenakan kemeja warna hijau yang sudah mulai lusuh serta rok panjang hitam semata kaki. Rambut panjangnya yang dikepang satu terjalin rapi ke belakang. Seandainya bersih dan terawat, Kinasih pasti akan terlihat cantik dan menarik. Sayangnya kesulitan hidup membuatnya tidak bisa menampilkan pesonanya.
"Loh mbok di sini toh? Ayo ganti baju mbokke dalam sana! Aliya mengajak kita jalan-jalan ke kota."
Kinasih menarik tangan ibunya yang sedang bekerja merapikan anyaman daun pandan. Mbok Sarni menggelengkan kepalanya dan melepaskan tangannya yang dipegang oleh Kinasih.
"Kamu dan anakmu sajalah yang pergi, mbok biar jaga rumah sambil mengerjakan pekerjaan mbok ini. Lagi pula masmu juga belum pulang dari ladang, nanti kalau dia pulang siapa yang menyiapkan makannya. Udah, pergilah sana, biar mbok di rumah!" ucap Mbok Sarni tersenyum lembut pada Kinasih dan Mursyidah.
Mursyidah dan Kinasih tidak bisa memaksa Mbok Sarni untuk ikut, akhirnya mereka pun berpamitan pada Mbok Sarni. Mursyidah mengajak Kinasih masuk ke dalam mobil dan juga anak sahabatnya itu. Mbok Sarni berdiri di dekat pagar bambu yang sudah mulai banyak yang lepas, mengawasi Mursyidah dan Kinasih yang masuk ke mobil. Setelah pintu tertutup, mobil pun melaju perlahan meninggalkan mbok Sarni yang masih berdiri dan melambaikan tangan. Dalam hatinya wanita tua itu menangisi nasib malang anak-anaknya. Nurdin yang cacat dan Kinasih yang ditinggal suami dan hidup menderita dengan anaknya yang masih kecil
Sementara itu di waktu yang sama di kediaman
Gunadi....
Keluarga itu juga sedang bersiap-siap hendak berangkat ke kota. Sudah lebih dari seminggu ini istri Gunadi ribut ingin pergi ke kota dan berbelanja di mall.
"Ya udah kalau mas nggak mau ngasih aku duit, beliin aja aku baju yang aku mau. Kalau nggak aku pulang ke rumah orangtua aku sekarang, aku nggak mau tinggal di sini lagi!"
Begitulah bunyi ancaman yang dilontarkan oleh Astuti beberapa hari yang lalu. Dengan terpaksa Gunadi mengabulkan permintaan istrinya tersebut. Gunadi tidak mau memberikan uang simpanannya yang hanya tinggal lima juta saja. Akhirnya pria itu memutuskan untuk menemani istrinya berbelanja ke kota.
Sialnya bukan hanya istrinya saja yang akan pergi, ibunya dan kakaknya pun tidak mau ketinggalan.
Rukmini yang tahu anak dan menantunya akan berangkat langsung bersiap-siap. Wanita itu sudah berada di depan rumah Gunadi sebelum pasangan suami-istri itu keluar rumah.
Samirah yang melihat ibunya sudah berpakaian rapi dan membawa tas, mengikuti ibunya itu dari belakang. Saat mengetahui bahwa ibunya akan ikut dengan Gunadi pergi ke kota, dia pun tidak mau kalah dan memaksa ingin ikut. Jadi terpaksalah Gunadi membawa serta ibu dan kakaknya tersebut.
"Karena ibu sama mbak Mirah juga ikut, sebaiknya kita naik angkot saja!" putus Gunadi.
"Kenapa naik angkot Gun? Ibu kan nggak kuat kalau harus naik turun angkot. Kamu sewa teksi aja!" tolak Rukmini. Wanita itu mengeluhkan kakinya yang sakit kalau harus naik turun dan berganti-ganti kendaraan umum.
"Taksi mahal bu, lagi pula tidak bisa pesan mendadak begini. Mereka pasti menolak masuk ke sini kecuali mereka mengantarkan penumpang sebelum nya. Udahlah naik angkot saja!" Tegas Gunadi.
Astuti keluar dari rumah sambil menggendong anaknya. Rukmini yang melihat menantunya keluar langsung mengadu.
"Ti, masa suamimu mau naik angkot pergi ke kota?"
"Naik angkot?"
Astuti melihat Gunadi dengan alis yang berkerut dan tatapan tidak suka.
"Kan bisa naik motor mas, kita boncengan. Celia biar aku pangku di belakang," ujarnya sembari membetulkan posisi anaknya yang dalam gendongan.
"Motor mana bisa. Masalahnya ibu dan mbak Mirah juga ikut."
"Ibu dan ." Astuti tidak meneruskan kata-katanya.
Matanya memandang tidak suka pada Samirah, lalu mendengus kasar.
"Jadi maunya gimana ini?" tanya Gunadi. Pria itu berusaha menahan kesal di hatinya. Ketiga wanita yang ditanya oleh Gunadi itu saling berpandangan.
"Pokoknya ibu nggak mau naik angkot! Kali ibu nggak kuat. Ibu juga capek" Rukmini.
"Aku juga nggak mau!" ujar Samirah.
"Ish... Siapa juga yang mau naik angkot?!" Sahut Astuti.
Gunadi memijit pelipisnya yang terasa berdenyut, pusing dengan ulah ketiga wanita yang ada di hadapannya.
"Jadi pergi atau nggak? Kalau nggak aku pergi ke kios sekarang?" Gunadi berjalan mendekati motornya tanpa peduli pada istri, ibu dan juga kakaknya.
"Mas!"
"Gun!"
"Gunadi!"
Astuti, Rukmini dan Samirah meneriakkan Gunadi bersamaan. Gunadi berbalik menghadap ketiga wanita tersebut.
"Aku nggak mau ditunda lagi, pokoknya harus pergi sekarang. Nggak tau kalau ibu," ujar Astuti yang berjalan menyusul Gunadi.
"Ambil kunci motormu dek, kita berangkat pake dua motor saja!" Perintah Gunadi pada istrinya.
"Pake dua motor?" Astuti mencebik tidak suka.
"Iya, nanti biar mbak Mirah yang bawa motormu dan berboncengan sama ibu."
"Apa! Kakakmu itu kan belum begitu bisa bawa motor. Bisa-bisa nanti motorku nyemplung ke selokan di depan.
Nggak, nggak! Aku nggak mau motorku rusak. Motorku kan masih baru!" sanggah Astuti.
"Ya sudah, kalau gitu kamu yang boncengin mbak Mirah, biar ibu sama mas," ujar Gunadi memberi saran.
"Emoh! Ndak mau aku diboncengin sama istrimu. Yang ada nanti dia jatuhkan aku ke jalan!" Kali ini Samirah yang menolak. Dia yakin adik iparnya itu akan menurunkannya di tengah jalan dengan berbagai alasan.
Yang ada nanti dia tidak jadi sampai ke mall di kota.
"Jadi maunya gimana? Kalau nggak ada kata sepakat... batal pergi ke kotanya. Aku mau ganti baju dan tidur!" ancam Gunadi. Pria itu sudah mulai terpancing emosi. Kepalanya saat ini sudah pusing memikirkan berapa uang yang akan keluar saat nanti menemani ibu dan istrinya itu berbelanja.
"Ya udah deh, kamu boncengin kakakmu mas. Biar ibu sama aku!" cetus Astuti akhirnya. Meskipun dia tidak suka dia terpaksa merelakan suaminya yang memboncengi sang kakak ipar. Biarlah, daripada tidak jadi berangkat. Nanti saat berbelanja dia akan uang suaminya itu, kalau bisa uang kakak iparnya juga. Astuti tersenyum dalam hati.
aku suka cerita halu yg realitis.