Elena hanya ingin menguji. Setelah terbuai kata-kata manis dari seorang duda bernama Rd. Arya Arsya yang memiliki nama asli Panji Asmara. Elena melancarkan ujian kesetiaan kecil, yaitu mengirim foto pribadinya yang tak jujur.
Namun, pengakuan tulusnya disambut dengan tindakan memblokir akun whattsaap, juga akun facebook Elena. Meskipun tindakan memblokir itu bagi Elena sia-sia karena ia tetap tahu setiap postingan dan komentar Panji di media sosial.
Bagi Panji Asmara, ketidakjujuran adalah alarm bahaya yang menyakitkan, karena dipicu oleh trauma masa lalunya yang ditinggalkan oleh istri yang menuduhnya berselingkuh dengan ibu mertua. Ia memilih Ratu Widaningsih Asmara, seorang janda anggun yang taktis dan dewasa, juga seorang dosen sebagai pelabuhan baru.
Mengetahui semua itu, luka Elena berubah menjadi bara dendam yang berkobar. Tapi apakah dendam akan terasa lebih manis dari cinta? Dan bisakah seorang janda meninggalkan jejak pembalasan di jantung duda yang traumatis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elena A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan dari Kedalaman Laut
Rasa plastik keras dari micro-SD itu masih mengganjal di tenggorokan Elena, perih dan menyesakkan, tapi tidak ada apa-apanya dibanding sesak di dadanya melihat Panji yang sudah tak bergerak. Di depannya, kapal selam hitam besar itu muncul ke permukaan bagai monster purba, memecah gelombang dan membuat perahu kecil Elena terombang-ambing hebat.
"Apa-apaan ini?!" teriak Handoyo dari kapal perangnya. Suaranya yang tadi tenang kini pecah oleh kepanikan.
Palka kapal selam itu terbuka. Beberapa pria berseragam taktis tanpa atribut negara keluar dengan senapan mesin yang jauh lebih canggih dari milik anak buah Handoyo. Salah satu dari mereka melangkah maju, memegang megafon.
"Bapak Handoyo. Bapak sudah melanggar wilayah privasi proyek phoenix. Tarik mundur pasukan Bapak atau kami anggap ini sebagai deklarasi perang terhadap konsorsium internasional," suara pria itu berat dan berwibawa.
Elena terpaku menatap logo di badan kapal selam itu. Sebuah sayap elang yang melingkari kunci, logo firma audit suaminya, tapi dengan tambahan lingkaran merah yang belum pernah dilihat sebelumnya.
"Elena! Cepat, naik ke sini!" pria itu berseru langsung padanya.
Tanpa pikir panjang, dengan sisa tenaga yang seolah ditarik dari inti jiwanya, Elena menarik tubuh Panji. Dia tidak peduli lagi soal keselamatannya sendiri, dia hanya ingin Panji selamat. Para pria dari kapal selam itu dengan sigap membantu menarik mereka berdua ke atas dek logam yang dingin.
Begitu Elena menginjakkan kaki di atas kapal selam, seorang pria membuka helm taktisnya. Elena nyaris jatuh pingsan melihat wajah di balik helm itu.
"Mas... Budi?" bisik Elena lirih.
Tapi pria itu menggeleng. Wajahnya memang sangat mirip dengan Budi, tapi dia lebih muda dan memiliki bekas luka bakar di lehernya. "Aku adiknya Budi, Elena. Namaku Bram. Mas Budi sudah menceritakan segalanya tentangmu. Maaf kami terlambat."
"Aa Panji... selamatkan Aa Panji!" Elena berteriak sambil menunjuk tubuh Panji yang tergeletak lemas.
Tim medis segera bergerak cepat, membawa Panji masuk ke dalam perut kapal selam. Elena ingin ikut, tapi Bram menahannya.
"Tunggu, Elena. Handoyo tidak akan melepaskanmu begitu saja."
Benar saja. Di seberang sana, Handoyo sudah kehilangan akal sehatnya. "Aku tidak peduli siapa kalian! Tembak! Hancurkan mereka semua!"
Hujan peluru kembali pecah. Kapal selam itu mulai menyelam perlahan untuk menghindari tembakan besar, sementara senapan otomatis mereka membalas dengan akurasi mematikan. Elena ditarik masuk ke dalam lorong sempit dengan bau oli dan besi.
Di dalam ruang medis yang steril, Elena duduk lemas di lantai. Dia bisa melihat melalui kaca kecil bagaimana dokter sedang berjuang memasang alat bantu napas pada Panji. Mesin pendeteksi jantung berbunyi tit... tit... tit... yang sangat lambat. Setiap detakan itu terasa seperti jarum yang menusuk jantung Elena.
"Kenapa kalian punya kapal selam?" tanya Elena pada Bram yang berdiri di sampingnya. "Suamiku... dia cuma seorang auditor."
Bram menghela napas, menyandarkan senjatanya ke dinding. "Suamimu, almarhum Mas Adrian, bukan sekadar auditor, Elena. Dia adalah kepala intelijen finansial untuk jaringan yang ingin menumbangkan orang-orang seperti Handoyo. Dia tahu dia akan dibunuh, makanya dia menyiapkan proyek phoenix, sebuah protokol perlindungan untukmu dan Panji jika suatu saat rahasia ini terbongkar."
Elena menatap tangannya yang masih merah karena darah Panji. "Dia merahasiakan ini dariku selama bertahun-tahun... untuk melindungiku?"
"Dia sangat mencintaimu, Elena. Dia tidak ingin kamu hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Tapi dia meninggalkan aset ini untuk saat-saat seperti sekarang."
Tiba-tiba, pintu ruang medis terbuka. Dokter keluar dengan wajah yang sangat lesu.
"Nona Elena," dokter itu menghela napas. "Kondisi Pak Arya sangat kritis. Luka dalamnya terlalu parah. Kami butuh transfusi darah segera, tapi golongan darahnya sangat langka, AB negatif. Dan persediaan kami tidak cukup untuk operasi besar yang harus dilakukan sekarang."
Elena langsung berdiri. "Ambil darahku! Aku AB negatif!"
"Elena, kamu baru saja mengalami trauma fisik dan mental yang hebat," Bram memperingatkan. "Memberikan darah dalam jumlah banyak sekarang bisa membahayakan nyawamu."
"Aku nggak peduli!" bentak Elena, air matanya tumpah lagi. "Dia sudah memberikan segalanya untuk melindungiku. Dia ditusuk, diculik, dan hampir mati karena mencoba membersihkan namaku. Ambil saja darahku, ambil semuanya kalau perlu, asalkan dia hidup!"
Dua jam kemudian, Elena terbaring di samping tempat tidur Panji. Selang plastik menghubungkan lengan mereka, menyalurkan cairan merah kehidupan dari tubuh Elena ke tubuh Panji. Pandangan Elena mulai kabur. Kepalanya terasa sangat ringan, dan telinganya berdengung.
Dia menatap wajah Panji yang masih pucat di bawah masker oksigen.
"Aa Panji... jangan pergi," bisik Elena, suaranya nyaris hilang. "Aku sudah menelan bukti itu. Kalau kamu mati, kebenaran itu akan ikut mati di dalam perutku. Kamu harus bangun... kita harus selesaikan ini."
Elena merasakan jemari Panji bergerak sedikit. Sangat pelan, tapi itu ada.
Bram masuk ke ruangan dengan wajah tegang. "Elena, ada masalah. Handoyo tidak berhenti mengejar. Dia menggunakan koneksinya di angkatan laut untuk mengepung jalur keluar kita. Kita terjebak di dasar laut, dan cadangan oksigen kapal ini mulai menipis karena ada kebocoran di palka belakang akibat tembakan tadi."
Elena mencoba bangkit, tapi kepalanya berputar hebat. "Berapa lama... waktu yang kita punya?"
"Tiga puluh menit sebelum kita semua kehabisan napas. Dan Handoyo meminta negosiasi. Dia tahu kamu ada di sini. Dia ingin kamu keluar ke permukaan sendirian, membawa isi perutmu itu, atau dia akan mengirim koordinat kita dengan bom laut."
Elena menatap Panji, lalu menatap Bram. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Ini adalah titik di mana dia harus berhenti menjadi korban.
"Bram... bisakah kamu membedah perutku sekarang?" tanya Elena dengan nada bicara yang sangat tenang, saking tenangnya hingga membuat Bram bergidik.
"Apa maksudmu?!"
"Keluarkan micro-SD itu. Berikan pada tim IT kalian. Kirimkan isinya ke seluruh stasiun televisi dan media sosial secara serentak sekarang juga. Jangan tunggu aku keluar. Biarkan dunia melihat wajah asli Handoyo sebelum dia sempat membunuh kita."
"Tapi tanpa alat bedah yang tepat di tengah guncangan ini, kamu bisa mati karena pendarahan, Elena!"
"Aku sudah memberikan setengah darahku untuk Aa Panji," Elena tersenyum pahit, meneteskan air mata terakhirnya. "Kalau aku mati sekarang, setidaknya aku mati sebagai orang yang mengakhiri semuanya. Tolong, Bram. Lakukan demi Mas Adrian. Demi Aa Panji juga."
Bram ragu, tapi dia melihat tekad yang tak tergoyahkan di mata Elena. Dia mengambil pisau bedah laser dari meja medis. Di layar monitor luar, terlihat kapal perang Handoyo menjatuhkan bom laut pertama. Guncangan hebat menghantam kapal selam, membuat lampu-lampu berkedip merah.
"Maafkan aku, Elena," bisik Bram.
Tepat saat ujung pisau bedah itu menyentuh kulit perut Elena, pintu ruang medis terbanting terbuka. Seorang pria dengan seragam yang sama dengan Bram masuk dengan terengah-engah.
"Tunggu! Ada pesan masuk dari frekuensi terenkripsi Mas Adrian!" seru pria itu.
Elena yang setengah sadar mendengarnya. Pesan dari suaminya? Yang sudah meninggal lima tahun lalu?
Layar monitor di ruang medis tiba-tiba berganti menampilkan rekaman video yang auto-play. Di sana, almarhum suaminya, Adrian, duduk di meja kerjanya yang lama.
"Halo, Elena. Jika kamu melihat video ini, artinya kamu sudah berada di dalam kapal selam Phoenix dan kamu sedang dalam kondisi terjepit. Ada satu hal yang tidak kukatakan pada siapa pun, bahkan pada Budi atau Bram. Micro-SD yang kamu telan itu... itu bukan berisi bukti Proyek Garuda. Itu adalah kunci aktivasi untuk..."
Suara ledakan bom laut kedua memutus audio video tersebut. Kapal selam itu miring drastis. Elena merasakan sakit yang luar biasa di perutnya, bukan karena pisau, tapi karena micro-SD itu tiba-tiba terasa panas, seolah ada perangkat elektronik yang aktif di dalam tubuhnya.
"Elena! Tubuhmu... ada sinyal frekuensi keluar dari perutmu!" teriak Bram sambil menatap layar radar yang menggila.
Di luar sana, di atas permukaan laut, puluhan rudal tiba-tiba muncul dari cakrawala, tapi targetnya bukan kapal selam mereka. Rudal-rudal itu mengunci kapal perang Handoyo dengan presisi yang mengerikan, seolah-olah tubuh Elena adalah suar navigasi bagi kehancuran Handoyo.