"Tidak ada pengajaran yang bisa didapatkan dari ceritamu ini, Selena. Perbaiki semua atau akhiri kontrak kerjamu dengan perusahaan ku."
Kalimat tersebut membuat Selena merasa tidak berguna menjadi manusia. Semua jerih payahnya terasa sia-sia dan membuatnya hampir menyerah.
Di tengah rasa hampir menyerahnya itu, Selena bertemu dengan Bhima. Seorang trader muda yang sedang rugi karena pasar saham mendadak anjlok.
Apakah yang akan terjadi di dengan mereka? Bibit cinta mulai tumbuh atau justru kebencian yang semakin menjalar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LyaAnila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 21 : Pulang dengan Pikiran Kacau
Knop pintu kamar kost Selena berputar perlahan. Setelah memasukkan kunci, suara klik kecil itu terdengar aneh di pendengarannya, seolah tempat ini bukan lagi ruang yang sama seperti yang ia tinggalkan beberapa hari yang lalu. Segera ia mengunci pintunya kembali dan Selena berdiri mematung cukup lama di belakang pintu yang sudah terkunci rapat.
Tubuhnya masih lemas. Langkahnya masih terhuyung-huyung. Baju yang dikenakannya pun basah kuyup. Karena ia tadi baru keluar mengambil pesanan makanan nya di depan gerbang kost nya. Kebetulan gerbang kostnya ada yang memakai kanopi, tapi tidak semuanya terjangkau kanopi.
Terlihat, kamarnya yang belum diterangi penerangan karena dia suka sekali tidur dengan kondisi lampu mati. Ia berjalan terlebih dahulu ke dapur mini untuk meletakkan makanan yang sudah ia beli tadi untuk ia konsumsi.
"Sejak sakit, gue nggak bisa makan makanan kesukaan. Makannya harus yang netral. Tidak boleh pedas-pedas. Arghhh. Kemana seblak yang merah merona itu," gumam Selena sambil menuangkan sup ayam yang masih hangat ke mangkuk.
Tak lupa, ia mengambil nasi sisa kemarin dan beberapa lauk kering yang cocok untuk menemani makan sup. Setelah semuanya selesai, ia kembali ke sofa mininya. Segera ia melahap makanan itu tanpa sisa. Mungkin karena ia merindukan makanan yang ada rasa-rasanya.
Drett..... Drett..... Drett.....
Gawai yang diletakkan di sampingnya mendadak berdering. Ia tak langsung mengangkat panggilan itu karena ia masih trauma. Takut-takutnya itu adalah panggilan dari si anonim. Dia pun melihat siapa yang sedang menghubungi dia.
Ternyata sang adik lah yang menghubunginya. Merasa aman dengan seseorang yang menghubunginya, Selena segera mengangkat panggilan tersebut. Belum sempat Selena menyapa, di seberang sana Selena sudah di bombardir oleh beragam pertanyaan yang membuat kepalanya pening.
"Mbakkkk. Gimana kabar mbak Selen. Udah lama Yudha nggak denger kabar mbak Selen. Mbak Selen baik-baik aja kan. Mbak Selen nggak kangen Yudha kah? Yudha kangen sama mbak Selen tau," tanya Yudha yang cerewet. Dia adalah adik bungsu Selena.
Selena pun terpaksa mengulas senyum pada Yudha, supaya ia tidak mengetahui bagaimana hancurnya dirinya di perantauan.
"Halo dedek sayang. Apalah kamu ini, tentu saja mbak rindu kamu to. Gimana kabar mu, ibu sama mbak Lina. Baik-baik saja kan?" Selena menanyakan kabar adik tengahnya yang sedang di perantauan juga sama seperti dia.
"Ndk tau. Mbak Lina lagi sakit katanya mbak. Ibu sama Yudha disini baik mbak. Tapi, kenapa mbak tanya kabar mbak Lina sama Yudha. Kan mbak Selen yang dekat sama mbak Lina, Yudha yo ndak tau to mbak," suara Yudha yang dibuat imut itu sebenarnya membuat Selena rapuh.
Bagaimana tidak, ia kembali teringat bagaimana kecelakaan itu merenggut masa depannya. Tangan kirinya patah dan terpental kurang lebih seratus meter dari gerbang sekolahnya.
"Owh ya, mbak Lena lupa dek," Selena menepuk jidatnya karena ia melupakan adiknya yang memang sedang berkuliah di Semarang bersamanya.
"Adek Yudha sama ibu baik-baik saja kan dirumah? Doakan mbak Lena sama mbak Lina disini ya. Doakan mbak Lena segera gajian supaya mbak Lena bisa membelikan dek Yudha sepatu dan tas sekolah baru," lagi dan lagi. Selena berbohong tentang keadaannya di perantauan. Dia terpaksa berbohong lagi karena takut mengkhawatirkan ibunya dan adiknya yang ada di rumah.
"Ya sudah mbak. Mbak Selena sama mbak Lina hati-hati ya di Semarang. Kalau ada waktu, mbak berdua bisa pulang ya, Yudha kangen main sama mbak," tambahnya.
"Yudha mau makan dulu ya mbak. Dadaa, sampai ketemu lagi entah kapan mbak," ucap Yudha dengan melambaikan tangannya. Selena ikut melambaikan tangan dan Yudha mengakhiri panggilannya dengan senyuman yang berhasil menyejukkan hati Selena.
Setelah panggilan video itu berakhir, mata Selena memerah. Ingin sekali ia bercerita dengan keluarganya, namun ia takut nanti kalau dikira lemah karena bercerita dengan keluarganya. Alhasil, semua rasa sakit dan hinaan yang diterimanya ditelan mentah-mentah oleh dirinya sendiri.
******
Selena tak melanjutkan kegiatan makannya karena ia masih kepikiran tentang adiknya, Selina. Meskipun mereka berbeda empat tahun, ayah ibunya tetap memberikan nama kakak adek itu seolah-olah mereka kembar. Padahal bedanya empat tahun.
"Ah telfon Lina lah. Kangen juga sama dia. Padahal udah satu kota, masih aja susah buat ketemunya," gumam Lena.
Ketika akan menelfon Selina, tiba-tiba telfon dari Rani duluan yang masuk. Buru-buru ia mengangkat panggilan Rani.
"Napa Ran?"
"Ege. Lu udah sampai belum. Kalau udah sampai kost, tu laptop jangan dibuka dulu pliess. Isinya mematikan banget," kata Rani diujung panggilan .
"Udah. Gue udah tengok. Tuh di meja, masih nyala. Entahlah, gue lihatnya juga tambah pening," balas Selena.
Ada keheningan di antara mereka. Lalu, Rani mengatakan sesuatu lagi yang sedikit menenangkan hati Selena.
"Ya udah Len. Nggak usah dipaksain, lu inget kata dokter Raka. Jangan terlalu terforsir sama masalah lu sekarang," Rani memperingatkan Selena.
Selena hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Setelah dipastikan Rani bahwa Selena mematuhi peraturan dokter, ia mematikan sambungan telfonnya.
******
Selena segera membereskan sisa makanan nya tadi dan ia masukkan ke kulkas, supaya bisa dimakan kalau ia lapar tengah malam.
Selesai merapikan semuanya, ia perlahan mendekat ke laptopnya, di turunkan nya layar nya setengah supaya ia tidak memandangnya terus-menerus.
Setelah dirasa sudah cukup rapi, Selena pun membaringkan tubuhnya di atas kasur dan berusaha menutup matanya.
"Kenapa sih hidup gue sekarang kerikilnya banyak banget," gumamnya.
"Gue pengen nulis dengan tenang aja. Nyalurin hobi dan stress gue. Kalau kek gini mah bisa-bisa gue stress karena nulis," tambahnya.
Hening....
Terdengar suara hujan deras yang turun di luar jendelanya.
Pikirannya kembali melanglang buana ke wajah orang yang menyebabkan kekacauan di hidupnya. Ia masih bingung kenapa lagi-lagi ketika ia sudah menaruh kepercayaan padanya, malah dia pergi begitu saja.
******
Selena menarik napas panjang seraya berkata
"Ah, mungkin memang harus kek gini," bisiknya. "Kan orang yang datang di hidup lu hanya datang untuk merusak aja, terus seenaknya mereka mencampakkan dirimu begitu saja jika kesenangan nya terpenuhi."
Namun entah mengapa, kebencian yang ia pendam untuk Bhima yang dulunya berkobar-kobar, sekarang pupus seolah-olah Tuhan menginginkan dirinya untuk kembali dekat dengan Bhima. Namun dengan cepat pikiran itu ditepisnya.
"Apaan sih Len. Lu cuma kebawa suasana aja. Toh nyatanya dia sekarang ninggalin lu. Kan selama ini lu berjuang sendirian. Buktinya berhasil kan. Percayalah. Kali ini, masalah ini akan selesai."
"Untuk saat ini, sepertinya lu harus istirahat. Besok mulai hari yang baru lagi," gumam Selena yang menyemangati dirinya sendiri.
Ia menarik selimut dan seolah menutupi tubuhnya sampai batas lehernya, berusaha memejamkan matanya. Tak lupa, pendingin ruangan sudah dia atur supaya tidak kedinginan tengah malam.
******