Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dufan
Perjalanan menuju Ancol siang itu tidak diiringi oleh senyapnya kabin mobil ber-AC, melainkan deru mesin tua yang batuk-batuk. Vespa Super tahun 70-an peninggalan almarhum Pak Jupri itu bergetar hebat di setiap tarikan gas, seolah memprotes beban dua manusia yang menungganginya di tengah terik Jakarta.
Bagi Bram, perjalanan ini terasa seperti ujian kesabaran tingkat tinggi. Bukan karena kemacetan Jakarta yang sudah menjadi kawan lamanya, melainkan karena "konser tunggal" yang digelar Zoya di boncengan belakang.
"BERAKIT-RAKIT KE HULU! BERENANG-RENANG KE TEPIAN!" Zoya berteriak tepat di telinga Bram, suaranya berusaha mengalahkan suara knalpot yang bising dan deru angin. Helm bogo kedodoran yang dipakainya mengetuk-ngetuk punggung Bram setiap kali gadis itu bergoyang mengikuti irama lagunya sendiri. "SAKIT-SAKIT DAHULU! SUSAH-SUSAH DAHULU! BARU KEMUDIAN... KE DUFAN!"
Bram hanya menyunggingkan senyum tipis, sangat tipis hingga tak terlihat dari spion bulat yang berkarat. Ia mengendalikan skuter tua itu dengan satu tangan yang santai, meliuk di antara celah sempit Metromini dan trotoar. Bagi Bram, mengendalikan besi tua ini jauh lebih mudah daripada menjinakkan bom, dan ia sudah kenyang pengalaman dengan keduanya.
"Pak! Ini pantat Zoya udah tepos nih kena jok keras!" protes Zoya saat berhenti di lampu merah. "Kenapa nggak naik taksi aja sih? Warisan Pak Jupri ini antik sih antik, tapi bikin encok!"
"Biar kamu masuk angin," jawab Bram singkat, nada suaranya datar namun menyiratkan ledekan.
"Dih, Bapak stress," cibir Zoya.
Sesampainya di gerbang Dunia Fantasi, Bram memarkirkan Vespa butut itu di antara deretan motor sport masa kini. Ia turun dengan gerakan luwes, membuka helm, dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Sepasang matanya terlihat santai, padahal sebenarnya, mata itu tidak pernah tidur.
Atmosfer seketika berubah drastis. Matahari bersinar tanpa ampun, musik karnaval berdentum dari segala penjuru, dan lautan manusia berwarna-warni membanjiri jalan setapak berbatu bata. Bram merasa seperti ikan hiu yang dipaksa masuk ke kolam bola anak-anak. Terlalu banyak distraksi. Terlalu berisik. Terlalu banyak titik buta.
"Pegangan," perintah Bram singkat.
"Dih? Modus," cibir Zoya, meski jemarinya dengan patuh meraih ujung kemeja flanel Bram. "Tenang aja Pak, Zoya nggak bakal ilang. Paling cuma nyasar ke hatinya abang gulali."
Bram tidak menanggapi, ia hanya menarik pelan Zoya agar tetap dalam jangkauannya. Di balik sikap acuh tak acuhnya, radar di kepala Bram bekerja otomatis. Ia melihat tanpa perlu menoleh. Ia mendengar tanpa perlu memasang telinga.
"KORA-KORA! AYO PAK!"
Tanpa aba-aba, Zoya menarik lengan Bram, menyeret sang pembunuh bayaran membelah kerumunan menuju perahu raksasa yang sedang berayun mengerikan di kejauhan.
"Tunggu—"
"Nggak ada tunggu-tungguan! Antreannya lagi dikit!"
Lima menit kemudian, Bram mendapati dirinya duduk di barisan paling belakang perahu Kora-Kora. Di sampingnya, Zoya sudah mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi, wajahnya berseri-seri penuh antisipasi akan adrenalin.
"Siap-siap teriak ya, Pak! Keluarkan semua beban hidup Bapak!" seru Zoya.
Mesin hidrolik mulai mendesis dan menderu. Perahu raksasa itu mulai berayun perlahan, lalu makin tinggi... membelah angin, hingga mencapai titik puncak kemiringan sembilan puluh derajat.
"WUUHUUUUUUUUUU!" Teriakan Zoya melengking, berpadu harmonis dengan jeritan ratusan pengunjung lainnya yang menyerahkan diri pada gravitasi.
Namun, Bram tidak berteriak. Ia bahkan tidak berkedip. Ia duduk tenang, punggungnya bersandar nyaman seolah sedang duduk di sofa ruang tamu. Ia menikmati angin kencang yang menampar wajahnya.
Tetapi, di titik puncak ketinggian itu, saat dunia di bawah sana terlihat kecil, mata tajam Bram menangkap sesuatu.
Di dekat penjual minuman, berdiri seorang pria dengan kaos polo hitam dan topi yang menutupi separuh wajah. Pria itu tidak mendongak menatap wahana dengan takjub seperti pengunjung lain. Ia berdiri dengan kuda-kuda yang seimbang, tangannya menyilang di dada sebuah posisi siaga yang memungkinkan seseorang menarik senjata atau mengejar target dalam hitungan detik. Matanya terkunci lurus ke arah Bram.
Bram mengenali sorot mata itu. Dingin. Penuh perhitungan. Efisien.
Itu bukan amatir. Itu profesional. Mungkin seorang rekan seprofesi, atau lawan dari masa lalu yang dibayar mahal. Cara pria itu membaur dengan kerumunan tanpa menarik perhatian menunjukkan jam terbang yang tinggi. Pria di bawah sana menyadari Bram melihatnya. Ia tidak panik, hanya sedikit menggeser posisinya ke area titik buta CCTV dengan gerakan halus. Namun, alih-alih waspada atau memberi kode bahaya, Bram justru menyeringai kecil.
Boleh juga, batin Bram santai. Tapi caramu berdiri masih terlalu kaku, Nak.
Bram memutuskan untuk tidak bereaksi. Ia tidak perlu menarik Zoya keluar atau membuat keributan. Ia tahu persis level kemampuannya sendiri. Selama si penguntit profesional itu belum mencabut senjata, Bram menganggapnya hanya sebagai ornamen tambahan di taman hiburan ini. Bram punya seribu satu cara untuk mematahkan leher orang itu nanti, jika memang diperlukan. Tapi sekarang? Sekarang waktunya gadis cerewet di sebelahnya ini bersenang-senang.
Saat perahu itu meluncur turun dengan kecepatan tinggi membuat perut serasa diaduk-aduk, Zoya di sebelahnya berteriak histeris, "BIBI TOLONG JANTUNG ZOYA KETINGGALAN DI ATAAAS!!"
Bram tetap diam, wajahnya sedatar tembok beton. "Ambil lagi nanti pas naik," gumamnya santai.
Begitu perahu berhenti dan pengaman besi berbunyi klik terbuka, Zoya langsung lemas. Ia turun dengan kaki gemetar seperti jeli begitu menapak tanah.
"Gila..." Zoya memegangi perutnya, wajahnya pucat tapi dihiasi seringai lebar. "Seru banget... Pak? Bapak nggak mual? Kok muka Bapak lempeng banget kayak papan setrikaan?"
Bram berdiri tegak, merapikan kerahnya yang sedikit pun tidak berantakan. "Tidak," jawab Bram singkat.
Matanya sekilas melirik ke arah tempat si penguntit tadi berdiri yang kini sudah menghilang tanpa jejak, mungkin sedang mencari posisi baru. Bram tidak peduli.
"Hebat ih. Terus sekarang kita kemana? Hysteria?"
"Tidak," Tolak Bram tenang.
"Eh kok nggak—”
"Beli minum sana. Mukamu pucat."
“Oke, Bapak yang bayar ya!"
Mereka berjalan santai membelah keramaian. Bram dengan tangan di saku celana, melindungi Zoya bukan dengan ketegangan yang kaku, melainkan dengan aura dominasi yang tenang. Ia tahu ada serigala lain yang mengintai di belakang, tapi Bram adalah singa tua yang tahu pasti bahwa hutan ini dan gadis ini masih di bawah kendalinya.
...***...
Penyiksaan itu berlanjut. Zoya tentu tak menghiraukan penolakan pria itu ia menyeret Bram begitu saja ke wahana selanjutnya. Hysteria.
"Pokoknya Bapak harus naik ini! Kalau nggak, Zoya aduin ke Bi Inem kalau Bapak takut ketinggian!" ancam Zoya.
"Ketinggian adalah kawan lama saya saat terjun payung di malam buta. Mainan ini tidak ada apa-apanya," balas Bram dingin.
Ketika kursi mereka ditembakkan ke puncak menara, Zoya menendang-nendang udara dengan gugup. Namun di sebelahnya, Bram hanya mengatupkan rahang. Matanya tetap terbuka lebar, memindai cakrawala dari ketinggian. Bagi Bram, momen di puncak menara Hysteria bukan untuk dinikmati, melainkan kesempatan emas untuk memetakan jalur pelarian dan memastikan posisi si penguntit tadi.
Tepat pukul 15.00, ketika matahari mulai melunak, baterai energi Zoya akhirnya mencapai batasnya.
Gadis itu tak lagi melompat. Langkahnya melambat, menyeret kakinya menuju wahana Bianglala sebagai penutup. "Kali ini yang santai aja, Pak. Biar jantung Bapak nggak copot, kasihan kan udah tua," ledeknya dengan suara yang sudah agak parau.
Di dalam kabin sempit yang merayap naik perlahan, keheningan akhirnya menyergap. Di bawah sana, ribuan manusia tampak kecil seperti semut yang berkerumun. Zoya menempelkan wajahnya ke kaca, matanya berbinar memantulkan bias cahaya matahari yang mulai meredup.
"Wah... cantik banget ya, Pak," gumam Zoya pelan, uap napasnya membekas tipis di kaca. "Dari sini, masalah Zoya rasanya jadi kecil banget. Kayak semut-semut itu."
Bram tidak melihat ke luar jendela. Tatapannya terkunci pada profil wajah Zoya. Ada kepolosan murni di sana yang menyentuh sisi kemanusiaan Bram yang telah lama terkubur. Dorongan aneh untuk merapikan anak rambut gadis itu muncul, namun tangannya tertahan kaku.
"Dunia memang terlihat lebih baik dari kejauhan," sahut Bram datar. "Tapi saat kau turun, realitas akan kembali menggigit.”
Setelah turun dari Bianglala, mereka berjalan gontai menuju sebuah bangku besi panjang yang menghadap ke arah danau buatan. Area ini agak menjauh dari hiruk-pikuk jalur utama, memberikan jeda yang dibutuhkan telinga mereka.
Bram duduk lebih dulu, merenggangkan kaki panjangnya dan mengatur napas. Sementara Zoya menghempaskan tubuhnya di samping Bram, menyandar lemas sambil memeluk tas selempang kecilnya.
"Capek?" tanya Bram singkat.
"Baterai Zoya habis, Pak. Lowbat. Butuh dicas," gumam Zoya, matanya menatap kosong ke depan.
Hening menyelimuti mereka berdua, hanya ditemani suara riak air danau dan lamat-lamat teriakan pengunjung dari kejauhan.
Mata Zoya kemudian terpaku pada sebuah keluarga kecil yang melintas. Seorang ayah sedang menggendong anak perempuannya di pundak, sementara ibunya menyuapi arum manis ke mulut si anak. Tawa mereka terdengar renyah, kontras dengan kesunyian yang tiba-tiba melingkupi Zoya.
Zoya menopang dagu dengan kedua tangannya, tatapannya lekat mengikuti keluarga itu sampai menghilang di tikungan. Bahunya yang biasa tegak menantang dunia, kini terlihat merosot kecil.
"Pak..." panggil Zoya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh angin.
"Hm?"
"Makasih ya udah nemenin Zoya ke Dufan." Zoya memainkan ujung tali tasnya, tidak berani menatap Bram. "Zoya udah lama mau ke sini tapi... nggak ada yang bisa Zoya ajak. Ngajak Bi Inem, dia sibuk ngurus rumah. Ngajak teman sekolah... mereka punya agenda masing-masing sama keluarga mereka."
Ia tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar kering. "Nggak asik kan kalau jadi nyamuk di antara kebahagiaan orang lain?"
"Andai Zoya punya keluarga kayak mereka," ucap Zoya tiba-tiba, kakinya yang menggantung diayun-ayunkan pelan, ujung sepatunya menggesek paving block dengan ritme yang menyedihkan. "Punya gandengan kiri-kanan. Lengkap. Mungkin Zoya bisa kesana-kemari sama mereka, nggak perlu maksa Bapak nemenin Zoya kayak gini."
Bram menoleh sedikit. Cahaya redup membuat wajah Zoya terlihat sendu. Topeng keceriaan bocah itu seolah retak, memperlihatkan lubang besar di hatinya.
"Kamu punya keluarga," sahut Bram datar, namun matanya menatap intens.
Zoya menoleh cepat. "Siapa?"
"Bi Inem," jawab Bram, mencoba memberikan logika praktis. "Dia merawatmu."
Zoya tersenyum kecut, tak menampik perkataan laki-laki itu. "Iya. Bi Inem itu the best. Dia yang masakin, ngomelin, mijitin Zoya dari bayi sampai segede ini. Cuma ada Bi Inem sama Zoya di rumah segede itu."
Gadis itu menunduk, menatap sepatu kets-nya yang kotor terkena debu taman.
"Tapi Bi Inem kan dibayar buat ada di situ, Bi Inem juga bukan…" Zoya menggantung kalimatnya, lalu menggeleng cepat. "Bi Inem pernah bilang, katanya Zoya tuh nggak sendirian di dunia ini. Katanya Zoya masih punya keluarga lain. Darah daging Zoya sendiri."
Zoya menoleh menatap Bram. Matanya yang bulat tampak berkaca-kaca, namun bibirnya memaksakan cengiran lebar. Sebuah senyum yang justru terlihat sangat menyakitkan.
"Tapi lucu ya, Pak? Sampai detik ini, Zoya nggak tau mereka siapa. Nggak tau mukanya kayak gimana. Nggak tau mereka masih hidup atau udah jadi hantu."
Tawa kecil keluar dari mulutnya, namun terdengar sumbang dan retak. "Mungkin Zoya emang anak pungut kali ya? Atau anak yang jatoh dari langit kayak bidadari salah alamat?"
"Kadang Zoya mikir... apa Zoya seburuk itu sampai mereka nggak mau nengok Zoya sekali aja?" Ia menepuk dadanya pelan.
Bram terdiam. Rahangnya mengeras hingga urat lehernya menonjol. Sebagai orang yang sudah lama bergelut di dunia hitam, mencari silsilah keluarga gadis ini adalah perkara mudah baginya. Namun, mendengar pengakuan itu langsung dari bibir gadis yang biasanya hanya tahu cara membuat onar, rasanya berbeda. Kata-katanya bukan sekadar keluhan, tapi jeritan sunyi dari seorang anak yang merasa tidak diinginkan.
Ada rasa nyeri asing yang menyusup di dada kiri Bram. Ia tidak melihat Zoya sebagai anomali yang mengganggu saat ini, melainkan sebagai seorang gadis kecil yang berdiri sendirian di tengah keramaian dunia, yang dingin.
Tembok pertahanan Bram goyah hebat. Logikanya berteriak untuk tetap profesional, tapi nuraninya bergerak lebih cepat.
Secara impulsif, tangan Bram terangkat. Kaku dan ragu-ragu.
Ia menepuk puncak kepala Zoya dua kali. Pelan. Canggung. Namun ada kehangatan yang nyata di sana. Gerakan itu terasa seperti usaha seorang prajurit yang seumur hidupnya hanya memegang senjata keras, kini harus menyentuh benda rapuh; hati-hati dan takut merusak, namun tulus ingin menenangkan badai.
"Kamu berisik," gumam Bram, suaranya rendah dan serak. Nadanya jauh dari kata tajam, bahkan terdengar terlalu lembut untuk ukuran dirinya yang biasa dingin. "Selama kamu berisik, kamu tidak sendirian."
"Selagi bibimu ada di sisimu, itu sudah cukup. Jangan tamak," lanjut Bram. "Apa bibimu tidak cukup buatmu?”
Kata-kata itu menampar kesadaran Zoya dengan lembut. Gadis itu terdiam, meresapi kalimat Bram. Kesedihan di wajahnya perlahan berganti menjadi tekad yang membara.
"Cukup. Sangat cukup," jawab Zoya tegas. "Zoya udah janji sama diri Zoya... siapapun yang nyakitin Bi Inem, akan berhadapan sama Zoya.”
Hening sejenak menyelimuti mereka.
Tiba-tiba, Zoya tertegun. Ia mendongak cepat, matanya mengerjap-ngerjap kaget, merasakan kehangatan dari tangan besar dan kasar yang baru saja mendarat di ubun-ubunnya. Kesadaran itu menghantamnya terlambat.
"Pak..." Zoya menyentuh kepalanya sendiri bekas tepukan Bram tadi. "Bapak barusan... nge-puk-puk Zoya?"
Sadar akan tindakannya yang melanggar batas profesional, Bram buru-buru menarik tangannya kembali seolah tersengat listrik. Ia memasukkannya ke saku celana dan membuang muka ke arah danau dengan cepat.
"Ada nyamuk di rambutmu," elak Bram cepat, kembali memasang topeng dinginnya, meski telinganya sedikit memerah. "Sudah. Saya mau cari makan dulu, kamu diam disini."
Bram berdiri tegak, memunggungi Zoya untuk menyembunyikan rasa salah tingkah dan gejolak aneh di dadanya. Ia melangkah pergi dengan kaku.
Di belakangnya, senyum tulus perlahan terbit di wajah Zoya, menghapus kabut sedih tadi. Kali ini, senyum itu nyata.
"Dasar Pak Genderuwo Tsundere!" seru Zoya riang, suaranya kembali bertenaga. "Bilang aja mau ngehibur Zoya! Pake alesan nyamuk segala! Nyamuk Dufan kan takut sama Bapak!"
Bram terus berjalan tanpa menoleh, menyembunyikan senyum tipis sangat tipis yang tidak akan pernah ia akui pada siapa pun.