Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sihir yang Terjelaskan Logika
Hayama berjalan terhuyung di tengah puing dan debu yang perlahan mengendap. Nafasnya berat, langkahnya gontai namun teguh. Setiap langkah meninggalkan jejak darah di lantai marmer yang berkilau nan memantulkan cahaya keemasan. Ia yakin, serangan brutal tadi cukup untuk menjatuhkan bahkan makhluk sekuat elf sekalipun.
Ia menatap ke arah singgasana para pemimpin tiap ras. Sang Virgo masih berdiri tenang di udara, cahaya dari timbangan emasnya bergetar lembut. Presiden menatapnya tanpa berkedip, seolah ingin memberi penghormatan dalam diam.
Namun beberapa menit telah berlalu. Hening.
Sang Virgo tak kunjung mengangkat timbangan ke udara tanda pertandingan belum diakhiri.
Alis Hayama berkerut. “Kenapa belum diakhiri pertandingan ini…?” suaranya serak, nyaris tak terdengar. Ia menoleh perlahan—
Dan dunia tiba-tiba meledak oleh cahaya putih keperakan.
Bayangan sesosok tubuh berlari menembus kepulan asap, cepat, lebih cepat dari kilat.
“Corona Vitae!”
Sebuah kilau menembus dada kiri Hayama. Rasa panas dan tajam menghantam sekujur tubuhnya. Refleks yang ditempa selama bertahun-tahun membuatnya sedikit memiringkan tubuh yang menyebabkan pedang jarum Elysiara itu tidak menembus jantung, melainkan bahu kirinya.
“Arkkk!!” seruan tertahan meluncur di antara giginya yang terkatup rapat. Darah menetes deras membasahi pakaian hitamnya.
Caelendir mendekat, matanya berkilau seperti kristal terkutuk. “Aku meleset? Tapi bagaimana dengan ini...,”
Ia memutar pedangnya perlahan. Suara logam yang beradu dengan daging terdengar menyakitkan. Hayama bergetar hebat, rahangnya mengeras menahan jeritan.
“Sakit?” Caelendir tersenyum. Sebuah senyum dingin yang tak lagi menyiratkan kebangsawanan, hanya kebuasan yang lahir dari rasa puas.
“Bahkan aku sudah melupakan rasa itu selama berpuluh tahun.”
Hayama menoleh pelan. Wajah sang elf kini berlumuran darah dari dahi hingga dagu. Namun, matanya tetap tajam, keemasan, seperti mata singa yang belum pernah kalah.
Hayama mengerahkan sisa tenaga, menepuk pergelangan tangannya — poof! — bom asap meledak di antara mereka, menutup pandangan dengan asap tebal beraroma mesiu dan abu.
Caelendir berteriak di tengah kabut, suaranya menggema keras memenuhi arena.
“Menghilang lagi?! Apakah hanya itu kemampuanmu, Manusia?! Tunjukkan dirimu!”
Namun Hayama telah bersembunyi di balik salah satu pilar kristal, tubuhnya menekuk dalam kesakitan. Nafasnya berat, matanya menatap darah di tangannya sendiri. Ia sadar, pertarungan ini sudah jauh melewati batas kemampuan manusia.
Ia berpikir cepat, tapi setiap detik yang berlalu hanya membuat cahayanya memudar dan dunia di sekitarnya semakin terang. Terlalu terang.
“Kalau begitu…” suara Caelendir menggema, kini bernada dingin dan penuh kemarahan. “Aku akan menghapus semua bayangan yang ada di sini!”
Tubuh sang elf mulai bersinar lembut. Ia mengangkat pedangnya ke langit, menari dalam gerakan lambat yang menyerupai ritual kuno. Langkah demi langkah membentuk lingkaran cahaya di sekelilingnya. Rambut keperakannya berkilau seperti serabut cahaya mentari pagi.
Beberapa detik berlalu. Ia berhenti, memejamkan mata, dan menempatkan pedang jarum itu di depan dadanya.
“Aurora Sancta: Helio Kikyo.”
Pupil Hayama menyipit tajam. Instingnya menjerit. Serangan ini bukan sembarang jurus.
Tiba-tiba, cahaya meledak. Arena memancar seakan berubah menjadi lautan matahari. Pilar-pilar kristal menyala bagaikan lentera suci, dan dari tubuh Caelendir, muncul puluhan bayangan diri. Ilusi-ilusi semu yang menirukan gerakannya dengan sempurna.
Hayama terdiam, tubuhnya tegang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Ia tak tahu yang mana lawan sejati, dan tak ada bayangan di tanah untuk membantunya menebak arah. Cahaya menyilaukan menelan pandangannya sepenuhnya.
“Ini…” desisnya, pelan tapi jelas terdengar oleh mikrofon roh di tribun penonton. “Lebih buruk dari yang kubayangkan.”
Tribun kubu mitologi bergemuruh. Para elf berdiri, mata mereka membulat melihat tarian suci yang jarang disaksikan oleh mata fana.
“Jurus itu? Tak salah lagi?” seru salah seorang elf berpakaian ungu tua, tangannya bergetar menutupi mulutnya.
Seorang elder elf yang duduk di kursi kehormatan mengangguk pelan, matanya memantulkan cahaya keemasan dari arena. “Itu Aurora Sancta: Helio Kikyo... tarian suci yang memanggil bantuan Sang Surya untuk meminjamkan cahaya padanya. Ia membentuk pantulan dari jiwa dan niat sang pengguna. Bayangan yang hidup bukan dari kegelapan, melainkan dari cahaya itu sendiri...”
Bisik-bisik decak kagum menyebar di antara mereka. Namun tiba-tiba, dari tribun seberang, kubu manusia, terdengar suara yang tegas memotong kekaguman itu.
“Itu bukan sihir,” ucap seorang pria tua dengan pakaian militer, berdiri sambil memandang arena dengan raut penuh kekhawatiran
Kubu elf serentak menoleh. “Apa maksudmu, Manusia?” tanya salah seorang dengan nada menuntut.
Pria itu menatap lurus, matanya tajam di balik kerutan usia. “Itu fatamorgana.”
“Fatamorgana?”
Seketika suasana tribun menegang. Bahkan Sang Virgo yang duduk di tengah dua singgasana, menoleh pelan. Matanya yang ungu berkilau lembut mendengar istilah itu diucapkan.
Pria itu melanjutkan, dengan suara dalam dan penuh pengetahuan:
“Fatamorgana adalah ilusi optik. Sebuah pantulan yang terjadi ketika cahaya menembus lapisan udara dengan suhu berbeda. Ketika udara panas naik dan udara dingin turun, sinar yang lurus dibiaskan, dibelokkan, yang membuat mata kita melihat sesuatu yang tidak nyata. Ia bukan bayangan, bukan pula roh, tapi cahaya yang menipu pandangan.”
Ia menghela napas, suaranya menurun namun masih terdengar jelas di seluruh arena.
“Jika jurus itu memanipulasi cahaya, maka yang kita lihat sekarang bukanlah tiruan sihir... tapi permainan optik dalam skala yang tak manusiawi.”
Kata-kata itu menimbulkan riuh di tribun. Para elf yang tadinya berbangga kini saling berpandangan, wajah mereka menegang. Antara terkejut dan tersinggung.
“Manusia ini... mengerti tentang struktur sihir cahaya kami?” desis seorang elf perempuan, suaranya setengah bergetar.
“Tak mungkin... sihir Aurora Sancta sudah dipelajari selama ribuan tahun oleh bangsa elf. Mereka tidak mungkin memahami bagaimana cahaya itu dipelintir menjadi bentuk hidup!” ujar elf lainnya, suaranya bergetar karena rasa tak percaya.
Namun elder elf yang sebelumnya bicara kini menatap ke arah tribun manusia dengan pandangan dalam, seolah baru memahami sesuatu.
“Jadi... di dunia mereka, ‘Aurora Sancta’ hanyalah fenomena cahaya? Tanpa mantra, tanpa roh, tanpa dewa?”
Salah satu ilmuwan manusia yang duduk di bangku depan berdiri, menunduk sopan sambil menjawab, “Benar. Namun prinsipnya sama, Tuan Elf. Hanya saja... dia,” ia menunjuk ke arah Caelendir di arena, “telah mengubah fenomena alam itu menjadi senjata.”
Keheningan melingkupi arena beberapa detik.
Sang Virgo menatap ke arah mereka dengan tatapan tajam namun penuh rasa ingin tahu. Di sisinya, Ancient One menautkan jari-jarinya, wajahnya menampilkan senyum tipis yang sulit dibaca. Antara kagum dan menguji.
“Bahkan di tengah medan cahaya, manusia masih mampu membaca hukum alam,” Presiden bergumam lirih.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !