Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Trauma yang membungkam
Perjalanan pulang di atas Vespa butut itu terasa bagaikan melintasi kabut tebal yang menyiksa. Tidak ada lagi nyanyian sember Zoya yang memekakkan telinga, atau keluhan manja soal jok yang keras. Hanya ada deru mesin tua yang membelah malam, dan cengkeraman tangan Zoya yang terasa kaku serta sedingin es di pinggang Bram.
Ketika skuter itu akhirnya mati di pelataran rumah mewah Zoya, keheningan di antara mereka sudah mengeras seperti semen.
Bram menyandarkan Vespa dengan standar ganda, lalu menuntun Zoya masuk. Rumah besar itu gelap dan senyap, seolah dinding-dindingnya ikut menyerap duka tuannya.
"Bi Inem!" panggil Bram. Suaranya menggema, memantul kosong di ruang tamu yang luas. Hening.
Bram mendudukkan Zoya di sofa ruang tengah, lalu melangkah cepat memeriksa dapur dan kamar Bi Inem. Kosong.
Di atas meja makan, secarik kertas note kuning tertempel di bawah gelas. Tulisan tangan yang terburu-buru berbunyi: "Non Zoya, Bibi izin pulang kampung mendadak 2 hari, saudara Bibi sakit keras. Maaf ya Non."
Bram meremas kertas itu hingga lumat di genggamannya. Sial. Waktu yang sangat tidak tepat.
Ia kembali ke ruang tengah dan mendapati sofa itu sudah kosong. Telinganya yang terlatih menangkap suara langkah kaki seret di lantai atas. Bram mendengus pelan, lalu bergegas menaiki tangga, mengikuti jejak gadis itu tanpa suara.
Pintu kamar Zoya terbuka setengah. Bram mendorongnya pelan.
Di dalam, Zoya duduk di tepi ranjang besarnya. Kakinya menggantung lemas, tatapannya terpaku pada dinding kosong di seberangnya. Ia tampak begitu kecil di ruangan yang terlalu besar itu.
Bram berdiri di ambang pintu. Ada kecanggungan yang jarang ia rasakan. Ia terbiasa mematahkan tulang orang, bukan merekatkan kepingan hati yang pecah. Ia melangkah masuk, lalu duduk di kursi belajar Zoya yang berhadapan dengan kasur, menjaga jarak aman.
"Lupakan apa yang kau lihat tadi," ucap Bram datar. Niatnya menasihati, tapi kalimat itu keluar kaku, seperti instruksi lapangan. "Dunia memang busuk, Zoya. Kau hanya kebetulan melihat sisi yang biasanya tersembunyi. Menangis tidak akan mengubah fakta bahwa orang itu sudah mati."
Zoya tidak bergeming. Bahkan kedipan matanya pun terlihat lambat, seolah nyawanya tertinggal di tempat lain.
Bram menggeram frustasi dalam hati. Kata-katanya tumpul, tidak berguna. Ia merasa gerah. Kemeja flanel peninggalan Pak Jupri yang ia pakai terasa mencekik leher. Ia melepas kemeja itu dan melemparnya asal keatas kursi di sebelahnya, menyisakan kaos hitam polos yang melekat ketat di tubuhnya.
"Saya ambilkan air," gumam Bram, lebih kepada dirinya sendiri. Ia butuh alasan untuk keluar dari atmosfer menyesakkan di kamar itu. Ia butuh jeda dari tatapan kosong gadis itu.
Bram turun ke dapur, menuang segelas air dingin. Pikirannya berkecamuk. Bayangan mata mati gadis yang biasanya secerah matahari itu menghantuinya. Ini pertama kalinya ia melihat Zoya seolah tak berjiwa, dan fakta bahwa ia gagal mencegah trauma itu meninggalkan rasa pahit di lidahnya.
Lima menit berlalu. Bram kembali menaiki tangga dengan segelas air di tangan.
"Minum ini, lalu tidur. Besok pagi kau akan—"
Kalimat Bram terputus di tenggorokan.
Pemandangan di hadapannya membuat darah di tubuh Bram berdesir, lebih dingin dari angin malam yang baru saja menampar mereka. Zoya tidak lagi duduk di tepi kasur. Ia berdiri di tengah ruangan, tepat di bawah sorot lampu kamar yang temaram.
Kedua tangannya tergantung lurus di sisi tubuh, namun ada sesuatu yang salah. Sangat salah.
Di tangan kirinya, Zoya menggenggam sebuah pisau. Pisau dapur ukuran sedang.
Itu pisau yang diambil Bram semalam dari dapur untuk berjaga-jaga. Pisau yang dengan ceroboh ia tinggalkan sembarangan di kamar itu.
"Zoya..." suara Bram tercekat, nyaris tak terdengar.
Mata Bram turun ke lengan kanan gadis itu.
Darah.
Merah pekat mengalir deras, bukan lagi tetesan kecil. Kali ini alirannya menganak sungai, menuruni lengan putih yang gemetar, menetes-netes jatuh membasahi lantai kayu parket yang mahal. Sebuah sayatan panjang menganga di sana.
Zoya tidak menangis. Ia hanya menatap Bram dengan mata yang masih sama kosongnya, namun kini ada gurat kepuasan ganjil di wajah pucatnya. Rasa sakit fisik itu akhirnya mengalahkan bising di kepalanya.
Otak logis Bram macet sesaat. Ia membawa pisau itu untuk melindungi rumah dan penghuninya dari ancaman eksternal, terutama untuk memastikan tidak ada bajingan yang bisa menyentuh gadis itu. Namun kini, senjata pertahanan itu justru menjadi alat yang nyaris membunuh gadis yang dijaganya.
Gelas di tangan Bram nyaris tergelincir, namun tidak jatuh. Ia tidak gemetar, refleks tubuhnya terlalu terlatih untuk kesalahan amatir seperti itu. Namun jiwanya... jiwanya baru saja terpeleset jatuh ke dalam jurang sarkasme yang gelap.
Ia menaruh gelas itu pelan di atas meja rias. Terlalu pelan, hingga nyaris tak bersuara.
Hebat, Bram, batinnya, sebuah tawa kering dan tak terdengar bergema di kepalanya. Kecerobohan mu baru saja menyuguhkan senjata di atas piring perak untuk 'iblis' yang ada di dalam kepala bocah itu.
Rasa bersalah itu tidak meledak. Tidak. Rasa itu datang seperti kabut tipis yang menyusup, sebuah bentuk ironi yang menjijikkan. Ia merasa seperti pemadam kebakaran yang datang membawa bensin, lalu terkejut saat apinya membesar melahap bangunan.
Bram melangkah maju. Wajahnya kembali menjadi topeng batu yang dingin, menyembunyikan caci maki yang ia tujukan pada kebodohannya sendiri.
Ia meraih pergelangan tangan kanan Zoya. Cengkeramannya kuat namun terkontrol, menekan titik nadi untuk memperlambat pendarahan tanpa menyakiti gadis itu lebih jauh.
"Lepaskan," perintah Bram rendah. Matanya tidak menatap wajah Zoya, melainkan menatap tajam pada bilah pisau dapur yang kini berlumuran darah. Pisau itu seolah sedang mengejeknya.
Zoya tidak melawan. Jemarinya melemas, dan pisau itu jatuh.
Trang.
Bunyi logam beradu dengan lantai kayu terdengar begitu nyaring dan menyakitkan di ruangan sunyi itu.
Bram menendang pisau itu jauh ke kolong tempat tidur dengan ujung sepatunya, seolah benda itu adalah sampah menjijikkan.
"Duduk," titah Bram sambil menuntun Zoya kembali ke tepi kasur.
Ia berlutut di depan gadis itu, bukan untuk memohon ampun, tapi untuk membereskan kekacauan yang telah ia fasilitasi. Tanpa ragu, ia merobek ujung kaos hitam yang dikenakannya, melilitkannya dengan cekatan pada lengan Zoya yang terluka. Kain hitam itu segera berubah warna menjadi pekat basah.
Zoya masih diam, menatap kosong pada perban darurat di lengannya.
"Saya membawanya untuk berjaga-jaga," gumam Bram, suaranya serak dan rendah, nyaris seperti sedang berbicara pada lukanya sendiri. "Saya pikir musuhnya ada di luar pagar rumah ini."
Ia mendongak, menatap manik mata Zoya yang redup. Sudut bibir Bram terangkat sedikit, membentuk senyum miring yang penuh kepahitan dan penyesalan.
"Ternyata saya salah. Saya justru mempersenjatai musuhmu. Musuh di dalam kepalamu."
Bram menarik napas panjang, aroma amis darah bercampur dengan aroma manis stroberi kamar itu menyesakkan rongga dadanya. Ia bangkit berdiri, lututnya berbunyi pelan.
"Tidur," perintah Bram. Kali ini suaranya datar, tanpa emosi, kembali ke mode otomatis. Mode di mana ia mematikan perasaannya agar bisa berfungsi.
Zoya menurut. Tidak ada perlawanan. Gadis itu menaikkan kakinya ke atas kasur, lalu merebahkan tubuhnya miring membelakangi Bram. Ia meringkuk seperti janin, memeluk lututnya sendiri, seolah berusaha melindungi sisa-sisa dirinya yang belum hancur. Balutan kain hitam sobekan kaos Bram terlihat mencolok di lengan putihnya, sebuah tanda gelap dari malam yang panjang ini.
Bram menatap punggung kecil itu sejenak, lalu tangannya bergerak menarik selimut tebal hingga menutupi bahu Zoya.
"Bi Inem tidak ada. Malam ini, saya yang jaga di depan pintu," ucap Bram kaku. Ia merasa perlu mengatakannya, meski ia ragu Zoya mendengarnya.
Zoya tidak menyahut. Hanya bahunya yang terlihat naik turun perlahan, menandakan ia masih bernapas.
Bram berbalik. Matanya tertuju pada noda darah di lantai parket. Ia tidak bisa membiarkannya. Ia berjalan ke kamar mandi dalam, mengambil beberapa lembar tisu dan membasahinya. Dengan gerakan efisien, ia berjongkok dan membersihkan noda merah itu hingga tak berbekas. Ia menghapus jejak kesakitan Zoya, sama seperti ia biasa menghapus jejak pekerjaannya di lapangan. Bersih. Rapi. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Setelah memastikan lantai itu bersih, Bram berjalan menuju saklar lampu.
Klik.
Kamar itu menjadi gelap, hanya diterangi cahaya bulan yang menerobos malu-malu dari celah tirai jendela.
Alih-alih keluar menuju pintu seperti yang ia katakan tadi, Bram justru berjalan kembali ke kursi belajar tempat ia memberi penyemangat kosongnya tadi.
Ia menghempaskan tubuhnya di sana. Kursi itu berdecit pelan menahan berat tubuhnya yang penuh otot dan dosa.
Ia tidak akan pergi. Meninggalkan Zoya sendirian dengan kondisi mental serapuh itu sama saja dengan meninggalkan granat yang pinnya sudah ditarik.
Bram menyandarkan kepalanya, matanya menatap langit-langit kamar yang gelap. Di keheningan itu, ia bisa mendengar suara napas Zoya yang perlahan menjadi teratur.
Malam ini, si pembunuh bayaran tidak akan tidur. Ia akan menjadi anjing penjaga. Duduk dalam diam di sudut ruangan yang gelap, memastikan mimpi buruk tidak berani mendekati gadis kecil yang sedang terluka di atas ranjang itu.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup Bram yang keras, ia berharap ia bisa membunuh rasa sakit, semudah ia membunuh musuh-musuhnya.